Liga mana yang paling anda suka? Premier Inggris, Serie A Italia, La Liga Spayol, Ligue 1 Prancis, Bundesliga Jerma? Lihat dulu, anda menjadi penggemar sepakbola sejak kapan. Bagi anda yang lahir dan mulai gandrung bola sejak 90-an, kemungkinan besar anda menjawab Serie A sebagai liga terbaik, tapi bagi yang baru di era setelah 2000-an mungkin anda menjawab Premier Inggris sebagai yang terbaik. Bahkan bagi anak remaja yang baru melihat bola tahun 2010-an bisa saja mereka menjawab La Liga, Bundesliga maupun Ligue 1 sebagai liga terbaik. Bahkan ada beberapa orang yang menjawab ISL sebagai yang paling seru. Hal tersebut sangat bergantung kapan anda melihat dan mendapatkan informasi tentang bola.
[caption id="attachment_364238" align="aligncenter" width="300" caption="Grande Partita http://soomaalidamaanta.net/ciyaaraha/falanqeynta-kulanka-derbiga-serie-a-juventus-vs-roma/"][/caption]
Informasi dan tontonan yang menjadi modal fanatisme salah satu liga eropa selalu terkait dengan peran media massa era tersebut. Jika hampir seluruh liga sekarang kita bisa saksikan lewat TV lokal, TV kabel atau live streaming, berbeda dengan era 90-an dan 2000-an yang notabene Serie A dan Premier Inggris saja. Berita media cetak juga sangat berbatas tentang ulasan siaran langsung liga di TV nasional. Sehingga penggemar bola juga tidak terlepas dari liga tersebut. Anda tidak akan menemukan seorang muda yang mendukung PSG atau Monaco saat tahun 98 misalnya. Sama halnya anda akan terheran-heran jika menemukan seseorang yang hanya menggilai satu klub lokal macam Arema, Persib, Persija dan lainnya pada tahun 90-an, tapi hal tersebut biasa anda temukan di era fanatisme ISL seperti sekarang.
[caption id="attachment_364236" align="aligncenter" width="300" caption="Selebrasi gol Juventus http://bola.kompas.com/read/2014/10/05/23552948/3.Penalti.1.Kartu.Merah.Juventus-Roma.2-2"]
Berbicara tentang liga yang (termasuk paling awal) di gemari penduduk republik ini, yaitu Serie A. lama sekali saya tidak menyaksikan grande partita liga ini. Mungkin hampir lima tahun saya alpa menyaksikan laga-laga besar liga ini, sejak era calciopoli bertubi-tubi meluluhlantakan Serie A di mata saya.
Anda pasti ingat betapa Italia belum lama ini sepi dengan bintang kelas dunia (meskipun justru hal tersebut berimbas baik pada tim nasionalnya tahun 2006) karena mavia sepakbola. Saya pun sering berseloroh pada semua teman yang menggilai klub Serie A dengan guyonan “ngapain anda melihat Serie A, wong orang Italia sendiri saja tidak mau melihatnya. Lihat saja bangku stadion selalu melompong di semua laga. Itu namanya dibohongi orang Italia”. Guyonan tersebut saya arahkan betapa memang liga italia setelah era calciopoli tidak menarik lagi, karena suasana stadion tidak mampu membentuk aura pemacu adrenalin bagi khalayak yang menonton lewat TV. Artinya selain faktor menurunnya kepercayaan bintang sepakbola dunia bergabung Serie A, faktor kepercayaan masyarakat Italia sendiri belum pulih dengan minimnya supporter yang dating di stadion, berbeda dengan liga inggris, spayol, jerman bahkan ISL.
Belum lagi faktor lain, seperti infrastruktur sepakbola italia yang jauh tertinggal dengan liga lainnya. Hitung saja, berapa klub italia yang mandiri memiliki stadion seperti klub Inggris, spayol dan Jerman misalnya. Belum lagi, kedewasaan supporter (yang sudah tidak seberapa) klub Italia tidak sebanding dengan liga lain, anda boleh tengok betapa hampir seluruh stadion di Italia masih menggunakan pembatas dengan supporter, berbeda dengan liga Inggris dan Spayol.
Entah angin seperti apa yang membawa saya kembali antusias dengan Serie A. Tadi malam, saya kembali tertarik menyaksikan laga besar antara dua tim dengan poin sama di puncak klasemen, Juventus Vs AS Roma di Juventus Stadium. Mungkin ini karena banyaknya berita positif tentang kebangkitan tim-tim italia di eropa, atau harapan kecil saya yang tidak suka dengan kemapanan dan hegemoni salah satu tim di kompetisi. Namun sayangnya saya dibuat kembali kecewa dan semakin tidak mempercayai kapasitas FIGC (PSSI-nya Italia) sebagai regulator sepakbola yang baik.
Lihat saja laga tadi malam, kabar angina yang menyebutkan hegemoni Juventus bukan hanya di kekayaan mereka yang melimpah sebagai klub Italia, pelatih brilian, atau permainan yang ciamik. Tetapi hegemoni tersebut sangat terlihat bagaimana dia tetap mampu menang dengan berbagai cara. Termasuk cara-cara di luar lapangan yang hanya dapat dilakukan oleh kekuatan super.
Tulisan ini hanya sedikit unek-unek saya yang tidak ada tendensi apapun, karena secara pribadi (dulu) saya menyebut diri saya laziale (pendukung SS Lazio). Artinya secara historis saya seharusnya sangat membenci AS Roma, karena dulu seringsekali mereka membantai SS Lazio dengan skor telak diluar dugaan. Belum lagi persaingan sebagai siapa yang terbaik di ibukota, hampir selalu Elang ibukota tak berdaya di depan serigala Roma.
Padahal saat pembukaan laga, saya sangat antusias dengan stadion Juve serta para suporternya yang memenuhinya. Sedikit ada penyesalan ketika liga ini bergairah kembali namun saya alpa menyaksikannya. Profesionalisme klub (terbukti dengan memiliki stadion sendiri), fanatisme supporter (penuhnya bangku stadion) serta banyaknya bintang kelas dunia yang bermain merupakan sedikit bukti yang bolehlah merayu kita kembali mengarahkan atensi ke Serie A. Sayangnya diakhir laga, pikiran awal tadi kembali buyar seperti supporter yang keluar dari stadion. Dua penalty hantu membuyarkan persepsi apik yang coba saya bangun ulang tentang Serie A. Apalagi dua penalty hantu tersebut muncul setelah saya melihat adegan pemilik Juve menyalakan cerutunya.
Sama dengan jenis olahraga lainnya, sepakbola merupakan perpaduan antara kekuatan fisik dan mental yang melahirkan kemampuan skill dan kecerdasan taktikal. Kolaborasi skill dan taktikal bergulat akan terlihat dalam kemampuan penampilan (performance) dalam lapangan. Fisik dan skill mumpuni takkan berarti apapun dalam penampilan jika taktik tidak jitu dan mentalnya tidak tangguh. Begitu juga sebaliknya. Kesemuanya dapat digali secara objektif lewat keilmuan, itulah mengapa lahir sport science. Sebetulnya ada factor kelima diluar fisik, mental, taktik dan skill yang bisa merubah hasil akhir sebuah pertandingan, dialah keberuntungan (biasa disebut dewi fortuna). Sayangnya belum ada satupun pendekatan ilmiah yang dapat membedah keberuntungan.
Pengetahuan saya tentang empat aspek olahraga dan satu aspek lainnya ternyata dimentahkan lewat pertandingan semalam. Jelas penalty hantu tersebut bukan suatu keberuntungan. Jikapun keberuntungan, kenapa wasit professional sekelas negari bola Italia mampu untuk mengulangi kesalahan berkali-kali dalam satu pertandingan? Itukah yang disebut hegemoni Juve? atau benarkah memang Juve seringkali menang dengan skor tipis diluar dugaan pengamat sport science? Itulah mengapa Juve hanya jumawa di Italia tapi nihil di Eropa? Ataukah italia belum kapok dengan mavia bola? Silahkan saksikan seluruh pertandingan Juve Vs Roma semalam dan analisa sendiri.
Sambil menganalisanya, sepertinya saya membutuhkan kepulan asap layaknya Agnelli semalam. Salam sportivitas….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H