Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembunuhan Anak (Lagi), Siapa atau Apa yang Salah?

23 Februari 2015   22:05 Diperbarui: 4 April 2017   18:11 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi, di Malang seorang ayah kandung (DN) membunuh anaknya (KR). Alsannya anak tersebut memulai pertengkarang dengan kakak kandungnya (DM) karena ingin bertukar baju baru pembelian bibinya pada tanggal 22 Februari 2015. Baca selengkaapnya disini: http://www.jpnn.com/read/2015/02/22/288687/Ayah-Tega-Siksa-Anak-Kandungnya-Berumur-7-Tahun-Sampai-Meninggal dan juga http://www.malang-post.com/component/content/category/48?layout=blog

Saya tidak akan menyebutkan alasannya sepele sedang ataupun berat. Karena untuk alasan apapun, anak memiliki hak untuk tidak disiksa dengan alasan apaapun. Seringkali saya juga menyayangkan penulisan berita tentang kasus kriminal berat pembunuhan yang menyantumkan kata-kata alasan “sepele” sebagai judul ataupun muatan berita.

Dalam berbagai kasus pembunuhan anak, saya menemukan benang merah terkait pembunuhan yaitu distress orang tua yang secara kognitif diakumulasikan kepada anak-anaknya. Maksud saya, sebagian besar pembunuhan anak adalah akibat akumulasi tekanan kehidupan (masalah) baik secara internal ataupun sosial yang dialami orang tua mereka. Berikut adalah beberapa kasus pembunuhan anak yang berkaitan dengan tekanan (stressor) berlebih kehidupan orang tua mereka:


  1. Kisah mengharukan AQSW tahun 2006 di Bandung yang membunuh ketiga anaknya karena menganggap kehidupan kedepan sangat berat untuk ketiga anaknya. Bagi model kognitif AQSW, kehidupan yang semakin susah dalam berbagai hal akan membuat ketiga buah hatinya hidup menderita. Dia tidak menyadari bahwa setiap manusia memiliki potensi adaptasi yang memungkinkannya untuk memiliki kehidupannya masing-masing.  http://www.indosiar.com/ragam/paranoid--kisah-ibu-bunuh-tiga--anak-kandung_52479.html
  2. Kejadian Ibu Tiri yang membunuh anaknya karena stressor ketidakbahagiaan kehidupan rumah tangganya dengan bapak kandung si anak pada tahun 2013. RS yang tamatan sarjana agama mengakumulasikan keputusasaannya kepada anak tirinya. Keputusasaan tersebut akibat akumulasi pernikahan yang diawali dengan tindakan zina (terpaksa menikah) sampai harapan kehidupan yang lebih baik setelah menikah tidak tercapai. Hal tersebut membuat RS mengakumulasikan emosi negatifnya setiap saat mendapatkan alasan yang logis untuk memberikan hukuman kepada anak RZ yang masih berusia 3 tahun. http://batampos.co.id/18-12-2013/rosalina-ibu-pembunuh-ngaku-nikah-dengan-ayah-rizky-karena-diperawani-achen/
  3. MY melakukan pembunuhan kepada anak hasil hubungan nikah siri dengan AS tahun 2013. Akumulasi tekanan MY menuju puncaknya setelah dia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai satpam. http://www.radar-karawang.com/2013/01/tega-bapak-cekik-anak-kandung-hingga.html

Tiga kasus diatas saya ambil sebagai sedikit dari banyaknya kasus mengerikan tentang bagaimana anak diperlakukan salah. Kasus terakhir yang saya sebutkan di awal tulisan ini menandakan bagaimana anak-anak merupakan subyek empuk sasaran kekerasan dan kejahatan. Selain anak-anak, mereka yang berumur lanjut (lansia) dan wanita merupakan dua subjek lain yang dianggap paling rawan dalam kejahatan.



Tentang model kepribadian

Model kepribadian individu pada lingkungan anak dan juga tekanan (stressor) pada mereka masing-masing akan sangat menentukan keselamatan anak. Orang tua dengan model kepribadian introvert misalnya, akan cenderung untuk menutup rapat masalahnya. Eysenck (1950) pernah menyatakan seorang individu yang bertipe kepribadian introvert memiliki orientasi kehidupan terarah ke dalam dirinya, sehingga nilai-nilai seubjektif berperan penting dalam pengambilan keputusan. Model pengambilan keputusan yang cenderung subjektif menjadikan orang-orang introvert bisa saja terpantik masalah yang oleh orang lain dianggap sepele. Masalah-masalah kecil seperti pertengkaran anak, anak menangis, anak tidak menuruti perintah akan menjadi faktor pencetus yang dapat meledakkan tumpukan masalah sebelumnya. Yang perlu dicatat, faktor pencetus (biasanya) adalah faktor yang dianggap biasa, kecil, tidak berpengaruh dan sepele.

Dalam kasus DN, pertengkaran antara korban dan kakak korban ketika berebut baju baru pembelian bibinya menjadi faktor pencetus yang mengantarai kepribadian dan juga masalah DN saat itu. Model kepribadian DN seperti apa, saya tidak mengetahui secara jelas, namun dalam beberapa berita yang beredar, DN terkenal pria pendiam dan agresif, itu terbukti karena dalam riwayatnya DN pernah juga menganiaya ibu kandungnya sampai mendapat jahitan di kepala. Maslaah DN juga tidak kalah pelik, dia adalah duda yang mengaku ditinggal istrinya secara sepihak karena istrinya lebih memilih orang lain yang dianggap lebih mapan. Sebagai duda, DN menjadi pengasuh tunggal kedua anak perempuan yang akan memasuki masa remajanya. Model kepribadian tersebut ditambah dengan masalah-masalah berat yang tengah dialami DN membuat DN seperti bom waktu yang menunggu sedikit saja pencetus untuk meledakkannya. Mengapa sampai terjadi pembunuhan? Saya yakin DN (mungkin) tidak memiliki niat untuk membunuh KR. Pukulan bertubi-tubi lebih dari 20 kali merupakan ledakan emosi negatif yang dicurahkan DN sebagai akumulasi masalah lain yang sebenarnya lebih besar. Disinilah terjadi distorsi kognitif oleh DN, karena dia menganggap tindakan (khilaf) tersebut hanya sebagai hukuman atas perilaku KN. Dia lupa bahwa KN adalah anak kecil dan memiliki ketahanan tubuh lemah. Ayunan pukulan bertubi-tubi (mungkin saja) melegakan kondisi emosi DN saat itu, tapi setelah sesaat melakukannya DN mulai mengevaluasi tindakannya dan merasa sangat bersalah. Luapan emosi (terutama negatif) seringkali akan datang bertubi-tubi tanpa mampu dikontrol oleh pola kognitif saat kita melakukan tindakan, orang awam menyebut hal tersebut sebagai khilaf.

Pola pengasuhan

Pola pengasuhan merupakan cara-cara yang ditempuh orangtua untuk merawat, membesarkan, memperlakukan, berkomunikasi, membimbing, mengarahkan, memperhatikan, mengekspresikan kasih sayang juga rasa aman (fisik dan non fisik), memberi pengukuhan (memberi kesenangan dan memberi hukuman atau kritikan) dan membentuk anak sedemikian rupa. Setiap budaya memiliki karakteristik pengasuhannya sendiri, pun dengan kelemahan dan kelebihannya masing-masing.

Pada kasus DN, dengan model kepribadian pendiam tetapi agresif serta penuh dengan tekanan masalah baik dalam kehidupan rumah tangga dan ekonomi menyebabkan tidak banyak pilihan untuk DN untuk mengembangkan gaya pengasuhan. Perasaan sebagai single parent dan keterbatasan ekonomi mendekatkan DN pada pilihan gaya authoritarian parenting style (APS). APS merupakan gaya pengasuhan yang mementingkan kepatuhan anak dan membatasi kebebasan anak. Segala keterbatasan DN mengembangkan pola berpikir bahwa hukuman adalah cara yang mudah, cepat, murah dan sangat membantu untuk  mendidik anak-anaknya. Tidak ada pilihan lain bagi DN untuk tidak memilih gaya kaku dan menghukum. Kebanyakan orang tua yang memilih gaya ini menganggap waktu mereka terlalu sedikit untuk sekedar berdialog dalam menentukan pilihan anak. Mereka juga menganggap kapasitas ekonomi terbatas telah menutup kemungkinan mereka memilih gaya pengasuhan lainnya.

Pentingnya lingkungan yang waras

Kesejahteraan dan tercapainya hak-hak anak sangat bergantunng pada lingkungan sekitar yang waras. Saya menyebutnya waras sebagai istilah yang mewakili dua dimensi kesehatan, baik sehat fisik/jasmani maupun sehat rohani/psikologis. Tidak seperti masa perkembangan jenjang remaja dan dewasa, masa bayi dan anak-anak merupakan masa rentan dari berbagai sudut, mengingat bayi dan anak belum mampu menginterpretasikan realitas secara menyeluruh. Artinya mereka masih sangat membutuhkan lingkungan (terutama keluarga) untuk  menjembatani kebutuhannya, terutama kebutuhan untuk tumbuh, berkembang dengan selamat.

Keberadaan anak dalam lingkungan waras menjadi sangat penting, lagi-lagi mengingat mereka adalah subjek rawan terjadinya kekerasan. Ledakan emosional biasanya memilih obyeknya dengan cepat. Rentang waktu yang singkat inilah yang membuat anak-anak menjadi sasaran terdekat dan aman. Saya katakan aman mengingat anak belum memiliki model kognitif (inisiatif) untuk memprediksi bahaya. Sehingga mereka tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menghindar ataupun melawan.

Disinilah pentingnya lingkungan diluar keluarga berperan dalam keselamatan anak. Kasus DN merupakan satu dari banyak kasus dimana orang tua melakukan kejahatan terhadap anak tanpa sepengetahuan tetangga atau orang lain. Kasus (mungkin) akan berkata lain jika korban hidup dalam keluarga utuh atau berdekatan denganorang lain saat kejadian. Faktor pencetus (pertengkaran KN dengan DM) akan menjadi lain jika disana ada ibu kandung, nenek-kakek atau tetangga disamping kedua nak tersebut. Kehadiran orang lain akan menjadi alat evaluasi kognitif pelaku untuk memperlambatnya menuju eksekusi emosional.

Edukasi dan pendampingan orang tua

Secara konseptual, kebijakan negara untuk melindungi anak terlihat sudah sangat baik. Namun terdapat jarak antara konsep yang ideal dengan implementasinya di lapangan. Banyak lembaga negara yang harusnya secara integratif mampu menanggulangi masalah-masalah seperti kasus DN kedepan. Dengan catatan, pola kerja berbagai lembaga tersebut tidak hanya sekedar formatif seperti mendata, memberikan bantuan dan bersifat responsif saja (menunggu kasus keluar). Secara kasat mata, tugas-tugas BKKBN, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polri (UPPA), Program Keluarga Harapan Dinas Sosial (PKH), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA) dan lembaga lain seharusnya mampu menangani kasus-kasus semacam ini. Namun seringkali mereka terkendala oleh minimnya petugas penyuluh dan konseling sampai akar rumput. Sehingga program kerja selama satu periode hanya cukup untuk melakukan pendataan dan kampanye formal.

Program seperti edukasi dan pendampingan orang tua tentang bagaimana mengasuh dengan tepat disini menjadi hal mendesak diluar pendataan, biro konsultasi dan pemberian bantuan secara finansial. Jika banyak lembaga belum mampu menerapkan program preventif yang melindungi anak-anak dari kejahatan, kenapa tidak kita mulai dari keluarga kita masing-masing. Biro konsultasi misalnya akan cenderung dianggap formal dan normatif. Bekal kebudayan kita membatasi masyrakat dengan pengetahuan rendah datang ke biro konsultasi. Itulah mengapa biro konsultasi puskesmas menjadi kurang relevan. Dalam kasus DN, mungkin saja dia tidak tahu bahwa masalahnya justru menjadi bumerang yang akhirnya merenggut nyawa anak kesayangannya. DN juga tidak akan punya waktu untuk berkonsultasi, atau bahkan dia takut untuk berkonsultasi karena tidak punya uang.

Inisiasi untuk membentuk kelompok pengasuhan saya rasa akan sangat membantu terealisasinya program pemerintah kedepan. Inisisai tersebut bisa dimulai dari manapun, bisa dari lingkup RT, sekolah, rekan kerja dan apapun. Berbagi pengetahuan tentang memahami masalah dan bagaimana mengatasinya akan menjadi jalur komunikasi kreatif dan berguna untuk semua orang tua. Dengan kelompok pengasuhan, kita akan meminimalisir masalah sebelum dia menumpuk dan menunggu kesempatan meletus (pelampiasan).

Mari berbagi pengetahuan untuk melindungi anak-anak bangsa ini. Pengalaman boleh saja berbeda dan tidak mungkin di share, tapi pengetahuan bisa kan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun