Jika seorang pelatih seperti Maradona berkomentar (walaupun) dengan ringan bahwa kemenangan tim tango berkait (walau hanya sedikit) dengan gelang di tangannya (www.lintasberita.com), maka sejatinya ini adalah bahaya akut. Ketika percaya pada tahayul gelang kecil tersebut, pada saat yang sama Maradona bisa jadi menganggap spele unsur latihan (dan tidak maksimal) karena menyandarkan kemenangannya pada gelang.
Hal serupa terjadi ketika Gelandang Jerman Bastian Schweinsteiger berharap bahwa Jogi akan memakai kaos biru itu lagi (http://id.sports.yahoo.com). Ketika Jogi benar-benar memakai kaos tersebut maka bisa jadi Schweinsteiger cs bermain bola dengan kurang maksimal karena percaya bahwa ada hal mistis yang akan melindungi tim jerman dari kekalahan. Dampaknya kita lihat bersama, performa Tim Panser tidak maksimal, dan Jerman kalah atas Spanyol.
Pelajaran buat Kita
Muhammadiyah, tahayul, mitos dan Piala Dunia 2010 memberi kita satu benangmerah, yaitu rasionalitas, kerja keras dan prestasi. Jika kita menengok kembali prestasi Indonesia saat ini, terutama di bidang olahraga, maka kita akan tersadar bahwa fenomena tahayul sungguh membahayakan. Jamak kita dengar bersama bahwa pada beberapa pertandingan kesebelasan-kesebelasan di Indonesia masih menggunakan tahayul dan mistik, misalnya pawang hujan, dukun dan sebagainya. Kita masih menjawab tantangan alam dengan hal tidak rasional, bukan dengan kerja keras dan teknologi. Jika tim sebesar Argentina dan Jerman saja bisa hancur pada PD 2010 karena kesalahan kecil berupa tahayul dan mitos, maka bagaimana tim kecil seperti Indonesia?
Jogja, 9 Juli 2010
(mohon maaf, topik lama, baru posting)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H