Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesal

11 Juli 2024   19:35 Diperbarui: 15 Juli 2024   11:47 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Ilustrasi sumber: pixabay.com

Oleh: Akhmadi Swadesa
   
     "Oding, kayu bakar kita sudah hampir habis ini, harus cepat kau cari," kata Jainah, ibunya si Oding. Mengingatkan.
     "Iya, Ma. Bentar saya ke hutan, cari kayu bakar," sahut Oding.
     "Oh ya, bagaimana dengan surat-surat lamaran kerja yang kamu kirimkan ke instansi pemerintah dan swasta itu?"
     "Belum ada yang berkenan, Ma. Memang tiga hari lalu saya dapat panggilan dari salah satu instansi pemerintahan...."
     "Lho, mantap kalau begitu. Terus?"
     Oding menggelengkan kepalanya dengan wajah lesu. Lalu dia ceritakan kejadian tiga hari yang lalu itu. Oding, karena dipanggil tentu saja, datang ke kantor lembaga pemerintah yang tidak perlu disebutkan namanya di sini. Tiba di kantor itu, Oding langsung disuruh menghadap wakil pimpinan.
     "Saudara yang bernama Oding Dansadimeja?" tanya wakil pimpinan.
     "Betul sekali, Pak," jawab Oding, semangat.
     "Benar saudara ada masukkan surat lamaran ke instansi kami ini kan? Ya. Benar. Tentu saja. Kami sudah periksa dan pelajari surat lamaran anda. Saudara baru setahun lalu tamat SMA. Masih muda. Saudara sudah siap bekerja?"
     "Kalau diterima, sudah pasti siap, Pak." Oding tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Bibirnya tersenyum-senyum.
      Wakil pimpinan manggut-manggut. Katanya kemudian: "Terus terang, sebenarnya instansi ini belum membutuhkan penambahan pegawai atau karyawan. Tapi berhubung ada salah satu karyawan di sini yang seminggu lalu tewas disambar petir ketika sedang angon sapi kesayangannya di padang rumput yang terbuka, maka kami butuh karyawan baru untuk menggantikan posisinya. Tugas pertamanya pada pagi hari, adalah membuka pintu kantor, lalu memasang dan menaikkan bendera, dan sore menurunkannya. Membersihkan ruangan kantor, membuatkan minuman atau membelikan gorengan atau makanan apalah untuk para pegawai atau karyawan yang sedang bekerja. Terakhir menjadi tugasnya pula menutup pintu kantor dan menguncinya...Karena saudara masih baru dan belum berpengalaman, maka gaji yang akan saudara terima masih dibawah UMR. Bagaimana, saudara Oding?"
      Oding terkejut. Senyumnya lenyap. Benar-benar dah ini, pikirnya.  "Ogah, Pak. Saya mau cari kerja di tempat lain aja.   Terima kasih," cetusnya sepontan, dan setelah berkata begitu, Oding langsung ngacir.
     Begitulah yang diceritakan Oding kepada ibunya. Perempuan paruh baya itu tertawa saja. Lantas kembali mengingatkan Oding untuk segera mencari kayu bakar di hutan di belakang rumah mereka.
     Kalau hujan turun dalam beberapa hari ini, sementara stok kayu bakar di rumah sudah menipis, alamat ibunya bakal kalang kabut karena tidak bisa memasak. Jadi mumpung beberapa hari ini cuaca selalu panas, lebih baik Oding banyak-banyak mencari kayu bakar di hutan. Apalagi belum ada ajakan bekerja jadi kuli bangunan atau kerja memanen kelapa sawit karena memang buah kelapa sawit sekarang belum siap panen.
     Oding mengambil parang kesayangannya dan segera memasuki hutan. Setelah memperoleh kayu bakar kering dengan ikatan besar, seperti biasa dia segera memikulnya di pundak dan berjalan pulang. Dan kembali Oding lewat jalan lain yang melalui tanah ladang Sarwati. Hampir seminggu tidak melihat gadis hitam manis itu, Oding merasa kangen juga dengan teman baiknya itu. Meskipun gadis itu akan segera menikah dengan karyawan perusahaan kelapa sawit  dari desa seberang.
     Oding menampak Sarwati sedang memetik lombok di pinggiran tanah ladangnya sambil bersenandung kecil.
     "Hhm!-hhm!" usik Oding, tersenyum. "Bahagia benar nampaknya si calon pengantin baru!"
      Sarwati cepat menoleh. Begitu tahu siapa yang menegurnya, gadis itu langsung tertawa.
     "Eh, Bang Oding. Kirain siapa."
     "Sendirian, Sar?"
     "Sama mama dan abah. Itu mereka di pondok."
     Sarwati menunjuk ke sana. Mata Oding mengikuti. Benar saja. Nampak di atas pondok yang tinggi itu, yang hanya beratap daun nipah dan tak berdinding, kedua orangtua Sarwati sedang bercakap.
     "Kalau begitu, aku langsung pulang aja, Sar. Kebetulan kayu bakar di rumah sudah hampir habis," kilah Oding.
     "Lho, nggak ngobrol-ngobrol dulu, Bang?"
     "Kapan-kapan aja, Sar. Dan semoga lancar dan sukses perkawinanmu nanti ya?"
     Sarwati tertawa berderai. Dan Oding buru-buru melangkah meninggalkan tanah ladang itu sambil memikul kayu bakarnya, ogah dia ketemu bapak Sarwati yang temperamental itu.
     "Bagaimana ini kamu, Oding. Sudah selesai SMA tapi kuliah tidak, kerja juga belum. Jangan sering-sering ketemu anak saya Sarwati kalau masih pengangguran," begitu kata bapak Sarwati tempo hari.
     "Ya, Pak. Kami hanya berteman kok," kata Oding. Sebel.
     "Tapi kamu suka sama Sarwati kan? Jangan bohong kamu. Sebentar lagi juga Sarwati jadi istri orang."
     "Iya, Pak."
     "Jangan lagi kamu sering ngajak Sarwati ngobrol ya? Nanti pacarnya cemburu dan kamu bisa berbahaya."
     "Huh! Siapa takut!" kata Oding dalam hati.
     Kekesalan pada diri Oding rasanya telah menumpuk tinggi. Kesal ditawari kerja jadi OB, dan kesal dengan orangtua Sarwati yang melarang dia berteman dekat dengan anak gadisnya itu. Padahal Sarwati adalah bekas teman sekolahnya juga waktu di SMA dulu.
     Oleh karena itu, Oding kemudian berencana mencari pengalaman baru. Melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan orang pada umumnya.
     Dia jadi ingat tentang hutan bambu di sebelah utara itu. Selama ini Oding hanya mendengar dari mulut orang-orang tua di desa itu mengenai keangkeran hutan bambu tersebut. Menurut cerita mereka kawasan itu memang terkenal angker, karena dihuni oleh hantu-hantu dan dedemit serta memedi.
     Hutan bambu itu boleh dikata sebagai pembatas antara desa Oding dan kampung seberang. Di situ ada jalan setapak yang menghubungkan kedua kampung tersebut. Dan letak jalan itu tepat memintas rumpun-rumpun bambu. Di sekitar situ tak ada rumah barang satu pun, cuma semak belukar serta hutan yang sudah tidak perawan. Siang hari keadaannya memang sunyi, apalagi malam hari. Jarang ada orang yang mau melintas di jalan setapak itu. Suasananya yang terasing memang beralasan untuk menyebut tempat itu angker. Bila angin bertiup kencang, terdengar daun-daun bambu gemerisik, juga gesekan antara batang bambu yang satu dengan batang bambu lainnya menimbulkan bunyi yang aneh serta terasa ngilu bagi yang mendengarnya.
     Oding sebenarnya sudah beberapa kali lewat di situ siang hari, dan syukur dia tak bertemu hantu atau dedemit. Barangkali lantaran masih ada matahari makhluk halus tak berani tampakkan diri. Tapi itu hanya dugaan Oding. Sebab dia sendiri merupakan anak muda yang kurang begitu percaya pada hal-hal yang berbau misteri.
     Menurut cerita-cerita orang tua, di rumpun-rumpun bambu itu berdiam para dedemit, yang konon sesekali menampakkan diri pada malam hari dalam wujud yang menakutkan. Tanda-tanda jika sang dedemit akan muncul, biasanya akan terdengar lebih dulu bermacam-macam bunyi disertai angin ribut yang hanya berputar-putar di sekitar rumpun bambu itu. Setelah itu barulah dedemit itu muncul, dan orang yang melihatnya bisa mati mendadak atau lari tunggang langgang sambil terkencing-kencing.
     Dan setelah beberapa lama Oding menyimak cerita-cerita yang menurutnya tak masuk akal itu, sekarang tiba-tiba saja timbul niatnya ingin membuktikan kebenaraannya. Benar nggak sih? Oleh sebab itulah sore ini dia datang ke rumah Datuk Brotowali, seorang pakar hal-hal gaib di kampung ini.
     Oding berterus terang akan maksudnya, dan orangtua berwajah tirus dan berjanggut panjang itu sangat mendukung meski rada-rada bimbang kelihatannya. Mungkin beliau khawatir terhadap keselamatan Oding.
     “Dedemit penghuni rumpun bambu itu begitu kejam, Nak Oding,” kata Datuk Brotowali serius tanpa tengok wajah pemuda tampan itu. “Memang dia tidak memakan manusia, namun karena penampakkannya dengan tampang menakutkan, bisa bikin orang jadi gila,” lanjut pakar dunia lelembut itu.
     “Ah, masa iya, Datuk. Tapi kalau memang benar begitu, saya ingin membuktikannya. Tidak apa-apa kan Datuk?”
     “Terserah Nak Oding saja. Yang penting informasinya sudah Datuk sampaikan. Nah, kapan kamu mau pergi ke sana?” tanya Datuk Brotowali sambil menarik selembar bulu ayam dari mangkok perak butut, lantas dengan sikap cuek orang tua itu mengilik-ngilik lubang telinganya dengan bulu ayam itu, hingga matanya merem-melek sangking enaknya.
     “Sekarang kan hari Kamis, berarti nanti malam, malam Jum’at. Jadi menurut saya sebaiknya nanti malam saja saya berangkat ke sana,” kata Oding dengan jumawa.
     “Ah, itu baik sekali, Nak Oding. Datuk yakin, dedemit atau hantu senang menampakkan diri pada malam Jum’at. Entah mengapa. Nak Oding sudah benar-benar bulat tekadnya?” tanya Datuk Brotowali lagi.
     “Sudah, Datuk. Dan segala resiko dalam bentuk apa pun akan saya hadapi.”
     “Bagus kalau begitu. Namun perlu juga Datuk bekali kamu dengan sebuah benda bertuah yang dapat membuat dedemit atau hantu itu tidak keterlaluan mengusikmu. Benda ini sudah beberapa kali menyelamatkan diriku atas gangguan para makhluk gaib.”
     Datuk Brotowali meraih sebuah guci antik yang menurut dugaan Oding pastilah buatan abad ke tujuh belas. Dan dari guci tersebut Datuk mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi cairan kuning mirip air seni, dan di dalam cairan itu lagi ada sebilah kecil besi putih berujung lancip seperti jarum. Beliau keluarkan itu besi, lantas dibungkus dengan kain warna merah. Datuk kemudian komat-kamit baca mantera, lalu meniupkannya tiga kali ke bungkusan kecil itu, yang lantas beliau serahkan kepada Oding.
     “Bawalah benda ini, Nak Oding. Simpan baik-baik, jangan sampai hilang. Datuk doakan semoga petualanganmu berhasil, dan tidak membawa malapetaka bagi dirimu. Selamat berangkat!” Datuk mengulurkan tangan menyalami Oding.
     Malam jam sepuluh Oding pun berjalan menuju hutan bambu di sebelah utara itu. Sendirian saja. Tiba di sana keadaan gelap gulita. Dan tanpa disadari Oding, bulu kuduknya merinding. Namun dikuat-kuatkannya hatinya agar tetap tegar menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kemudian sekeras-kerasnya Oding berteriak mengucapkan kata-kata ini:
     “Hai, dedemit atau setan atau hantu atau iblis, jika memang benar kalian ada, ayo keluarlah! Tampakkan diri kalian di hadapan anak muda yang bernama Oding ini! Ayo! Muncullah!”
     Alam tetap tenang. Tidak ada hal- hal yang menunjukkan bahwa di situ ada hantunya. Oding tertawa dalam hati. Ternyata cerita orang-orang tua di kampung itu, selama ini, hanya isapan jempol belaka!
     “Ayo, cepat perlihatkan sosok kalian yang katanya menakutkan itu di hadapanku sekarang juga!”
     Setelah mengucapkan kata-kata itu, Oding terkejut luar biasa. Tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang. Rumpun-rumpun bambu di situ bagai mengamuk. Gemerisik dan riuh sekali. Oding mulai gemetaran. Pandangan dia tajamkan. Dan cahaya terang, tanpa diketahui sumbernya dari mana, seketika muncul di sekitar rumpun-rumpun bambu itu. Pun berbagai macam bunyi gemerincing menyertainya, seperti pada sebuah pesta suku-suku primitif di pedalaman Papua Nugini. Kini tempat itu tidak gelap gulita lagi, tapi terang benderang. Oding benar-benar terpukau dibuatnya. Dia ingin lari namun tak bisa. Seluruh tenaganya seolah lenyap tak bersisa. Seluruh bulu di tubuhnya tegak berdiri!
     Dan detik berikutnya, nampak jelas oleh Oding, rumpun-rumpun bambu itu serempak bergerak merunduk perlahan-lahan, menutupi jalan setapak itu. Gerakannya bagai seorang gadis remaja menguraikan rambutnya yang panjang. Kini pun bukan bunyi gemerincing saja yang terdengar, tapi juga suara tawa terbahak-bahak yang datang dari segala penjuru. Bukankah para hantu dan dedemit memang hobinya tertawa? Hahaha!
     Sekarang baru Oding yakin bahwa dia tengah berhadapan dengan peristiwa mistis.
     Tiba-tiba Oding ingat pada benda bertuah dari Datuk Brotowali. Dia rogoh saku celana dan bajunya, mencari-cari. Namun tidak ditemukan. Dia cari lagi dan cari lagi dengan seksama, tetap saja hasilnya nihil. Beberapa detik kemudian Oding baru ingat, benda tersebut tertinggal di atas lemari butut di kamarnya di rumah. Oh, nasiiib! Bakal celaka diri ini jadinya, gumam Oding.
     Sedang dalam kepanikan seperti itu, mendadak rumpun bambu tersibak, dan sebuah gumpalan hitam yang nampak lunak melayang keras ke arah Oding. Lelaki muda itu tersentak dan ingin menghindar, sayang tak sempat. Gumpalan hitam misterius itu telah lebih dulu menghantam tubuhnya hingga terpental beberapa meter jauhnya. Namun bersamaan dengan itu terjadi perubahan yang sangat drastis sekali. Tempat itu menjadi gelap dan sunyi seperti semula. Oding jadi heran karenanya. Beberapa jenak dia tercenung dalam posisi telentang di tanah tanpa bergerak-gerak. Rasa takut masih mencekamnya. Dia berniat harus segera tinggalkan tempat itu.
     Oding mencoba bangkit. Tapi tak bisa. Tenaganya benar-benar hilang. Dan yang paling aneh adalah, Oding merasakan seakan ribuan lintah mengerubuti tubuhnya, dan merayap-rayap dalam setiap aliran darahnya. Setelah berusaha bangkit dan tak pernah berhasil, akhirnya Oding menyerah dan kembali tersungkur ke tanah, hingga kantuk menyerangnya dan dia tertidur diselimuti kepekatan malam....***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun