Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bromocorah (Bagian 2)

5 Juli 2024   19:17 Diperbarui: 7 Juli 2024   11:28 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

Oleh: Akhmadi Swadesa

     Gordon tersentak dari pikirannya yang ngelantur ke mana-mana, ketika istrinya Silmah batuk-batuk kecil yang sepertinya disengaja.
     "Ada apa lagi, Sil? Apakah ada yang perlu kamu tanyakan?" tanya Gordon seraya mematikan puntung rokoknya di asbak di atas meja.
     "Ini, Bang. Uang belanja udah semakin menipis nih. Perlu tambahan. Khawatir Abang nanti akan lama di Borneo," kata  Silmah, tersenyum-senyum manja. "Maksudku, sebelum berangkat nanti uang belanja harus Abang beri tambahan lagi. Bukan apa-apa, Bang. Buat belanja dapur aja dan sekaligus untuk keperluan lainnya."
     "Baiklah. Nanti kuberi lagi tambahan uang belanja. Kebetulan malam ini aku juga akan pergi melakukan beberapa tagihan kepada beberapa orang pelanggan yang kerap ambil barang denganku," kata Gordon, berbohong.
     Silmah tersenyum senang. Gordon menarik napas panjang, namun dia juga tersenyum. Dalam hati dia merasa maklum dengan Silmah. Berbeda dari kedua istrinya yang sudah meninggalkannya dulu itu, yang merupakan perempuan-perempuan kampung yang sederhana dan biasa saja, Silmah ini dia peroleh dari tempat, yang menurut masyarakat beradab, sama sekali tidak baik.
     Beberapa bulan setelah ditinggal oleh istrinya yang kedua, Gordon merasa sendiri dan kesepian. Dia yang selalu bepergian ke kota-kota yang jauh, membuat kondisi rumah yang ditinggalkan jadi tak terurus dan berantakan. Kepalanya pusing melihat keadaan rumah seperti itu, tatkala dia baru pulang dari tempat-tempat yang jauh itu. Dia harus cari perempuan lagi untuk dijadikan istri, sekaligus untuk mengurus rumahnya itu.
     Pada sebuah perjalanan petualangannya, Gordon akhirnya sampai di sebuah daerah yang merupakan kawasan terkenal sebagai pertambangan batu bara. Di beberapa jalan utama di kawasan itu, di kiri-kanan jalan, banyak berdiri warung-warung kopi yang juga menjual berbagai jenis minuman dan makanan ringan lainnya.
     Namun yang menarik adalah para penunggu warung-warung itu. Mereka semua adalah para perempuan dengan penampilan yang khas untuk mengundang perhatian mata para lelaki yang lewat.
     Gordon pun singgah pada sebuah warung dan memesan segelas kopi. Dua orang wanita, yang satu sudah agak tua mungkin berumur lima puluh tahun, sedangkan yang satunya lagi masih tergolong muda berusia sekitar tiga puluhtahunan, menyambutnya sambil tertawa-tawa ramah. Bibir mereka merah karena gincu, dan mereka juga merokok. Mereka lantas menanyakan apakah Gordon orang baru di situ, dan Gordon mengiyakan.
     "Bisnis apa, Bang?" tanya perempuan yang lebih muda.
      Dengan jujur Gordon mengaku, bahwa dia seorang pedagang keliling yang menjual batu-batu cincin serta berbagai merek jam tangan.
      Kedua perempuan itu tertawa lagi sembari berbisik-bisik. Perempuan yang tua kemudian mencibir dan membuang muka.
     "Lumayan nggak hasilnya jualan barang-barang seperti itu?" tanya perempuan muda.
     "Lebih daripada lumayan. Dari berjualan inilah saya bisa beli rumah dan sudah dua kali beristri, meski sekarang sudah pisahan," kata Gordon, tertawa.
     "Wah, hebat juga ya? Jadi sekarang Abang sendiri dong ya?" pancing perempuan yang muda sambil mengerling ke arah temannya yang sudah nampak tua itu. Tapi kembali perempuan yang agak tua itu mencibirkan bibirnya yang merah bergincu dan agak dower karena disuntik silikon.
     "Jangan lama-lama duduk ngopi di sini, Mas, kalau nggak main," katanya. Ketus.
     "Apa?" tanya Gordon, kaget.
     "Maksud bos saya ini, Abang jangan ngobrol aja, waktu kami banyak terbuang percuma kalau Abang nggak segera eksen," kata yang muda, yang kalau diperhatikan Gordon dengan sungguh-sungguh, wajahnya menarik juga.
     Perempuan yang lebih tua itu berdiri dari duduknya dan masuk ke ruang dalam. Kesempatan itu dipergunakan oleh yang muda untuk memajukan sedikit wajahnya ke dekat Gordon, lalu berbisik: "Di sini dia bos saya. Mucikariku. Dia bakal marah dan jengkel kalau ada tamu cuma ngopi dan ngobrol doang...."
     "Oh, gitu. Jadi saya harus bagaimana?" tanya Gordon, blo'on.
    "Ya, ngamar sama aku, Bang. Bayarnya nanti sama bosku itu."
     Begitulah pada mulanya. Gordon hampir tiga bulan berada di kawasan itu. Warung itu telah menjadi langganannya. Dan perempuan yang muda itu, yang ternyata bernama Silmah, semakin lengket dengannya, karena Gordon juga orangnya kagak pelit dan royal. Si mucikari, perempuan yang lebih tua itu pun, yang semula menganggap enteng Gordon, menjadi sangat respek terhadap Gordon, lantaran lelaki tinggi besar itu selalu membayar lebih dari tarif yang sudah disepakati, setelah dia berkencan dengan Silmah.
     Suatu hari, di antara orang-orang yang mampir di warung-warung yang secara iseng diberi nama "warung kopi pangku," karena lelaki yang mampir ke situ boleh ngopi sambil memangku dan berkencan dengan perempuan-perempuan yang menjadi penjaga warung itu -- ramai dari mulut ke mulut membicarakan tentang perampokan uang yang terjadi di sebuah penginapan.
     "Siapa uangnya yang dirampok?"
     "Staf tata usaha perusahaan anu. Uang perusahan puluhan juta yang dia bawa dalam sebuah ransel, raib tanpa bekas."
     "Bagaimana bisa terjadi? Selama ini kan aman-aman saja kalau menginap di penginapan itu?"
     "Ya, siapa yang tahu kapan dia dirampok? Kita juga nggak ada yang tahu. Sudah nasibnya."
     "Anehnya, menurut keterangan orang yang bersangkutan, tidak ada bekas rampok memasuki kamar tempat dia nginap. Semuanya tetap rapi dan seperti tidak ada yang disentuh. Tapi dia sangat terkejut ketika memeriksa bawah tempat tidur, tempat dia menaruh ransel berisi uang itu, ternyata ransel itu sudah tidak ada."
     "Daun pintu dan jendelanya juga tidak ada bekas dicongkel atau dirusak. Semua keadaannya baik."
     "Bagaimana dengan kamera cctv-nya?"
     "Belum ada kamera cctv. Karena selama ini pemilik penginapan merasa aman-aman saja, merasa belum perlu pasang cctv."
     "Semua kamar orang yang menginap di situ sudah diperiksa, tapi tidak juga ditemukan."
      Begitulah pembicaraan orang-orang mengenai perampokan yang terjadi di penginapan itu.
      "Aku juga menginap di penginapan itu, tapi tidak ada hal-hal yang mencurigkan kulihat," kata Gordon kepada Silmah. Tenang sekali sikapnya, seolah peristiwa semacam itu sudah biasa dia saksikan. "Kasihan sekali orang itu, uang perusahaan yang dia bawa, digondol maling."
     "Mau bagaimana lagi, sudah nasibnya, Bang," sahut Silmah yang dengan nyaman duduk di pangkuan Gordon. Sementara sang mucikari yang menyaksikan itu hanya tersenyum-senyum senang.
     "Oh ya, bagaimana dengan rencanamu, Mas Gordon, yang ingin menjadikan Silmah sebagai istrimu yang sah? Jadi nggak?" tanya sang mucikari.
     "Tentu saja," sahut Gordon sambil mencium pipi Silmah. "Berapa saya harus keluar biaya untuk mengeluarkan Silmah dari tempat ini, Bu?"
     "Karena sampeyan selama ini sangat baik dan selalu memberi lebih kepada kami berdua di sini, sampeyan cukup bayar ke saya sepuluh juta aja. Setelah itu sampeyan boleh bawa Silmah keluar dari sini, dan jadi istri sampeyan."
     Tanpa menawar Gordon langsung mengiyakan. Pikirnya sepuluh juta itu jumlah yang kecil saja, jika dibandingkan dengan jumlah uang yang berhasil dia rampok dari penginapan yang menghebohkan itu.
     Demikianlah sejarahnya Silmah, mengapa akhirnya dia bisa diboyong Gordon keluar dari warung kopi pangku -- yang merupakan tempat prostitusi terselubung itu -- dan dijadikan istri yang sah olehnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun