Sejarah memang memiliki sisi romantisme nya sendiri, terutama bagi mereka yang mempunyai kenangan di sana atau dekat dengan kenangan itu. Dan tempat yang saya kunjungi ini mengantarkan romantisme masalah lalu yang begitu pekatnya, tentunya kepada mereka yang dekat dengan sejarahnya atau paling tidak ada rasa kedekatan secara emosional di sana.
Rasa itu tidak terlalu merekah di batin saya, tentunya. Saya jauh dari kisah-kisah dibalik lokasi, orang-orang dan lingkungannya. Namun, bagi orang-orang Eropa khususnya yang berasal dari Negeri Belanda, Sejarah mengalir dalam aliran darah, karena memang mereka menjadi target utama pasar.
Tempat yang saya kunjungi ini bernama Towilfiets, berada di Desa Bantar, Kecamatan Sentolo, Kulon Progo, Kota Yogyakarta. Penjajahan, pergerakan, kemerdekaan dan revolusi menjadi bagian periode penting sejarah Jogja, yang hingga saat ini sisa-sisanya masih dapat diindera.
Mas Towil sang pemilik Towilfiets akan mengajak para wisatawan untuk melihat-lihat lingkungan dan aktivitas masyrakat yang dulu pernah menjadi lokasi persinggahan moyang orang-orang Eropa ini. Saya membayangkan, mungkin ketika berkeliling Desa mereka bergumam di dalam hati, "Owhh seperti ini jajahan buyutku", tentunya dalam bahasa Belanda.
Berkeliling desa tentunya tidak berjalan Kaki, tetapi dengan mengayuh Sepeda Ontel seperti yang suka moyang mereka dulu lakukan. Bedanya, jika dulu Seorang Belanda menjadi sebab raut ketakutan pribumi terpancar, kini malah mendatangkan
senyuman.
Nama Towilfiets sendiri merupakan gabungan dari nama Mas Towil dan fiets yang dalam bahasa Belanda berarti sepeda. Seperti namanya, pria bernama lengkap Muntowil ini telah mengoleksi puluhan bahkan mungkin ratusan sepeda onthel dirumahnya. Siapa sangka, pedal sepada ontel yang telah tua turut membantu menggerakan roda ekonomi.
Towilfiets tak hanya mengisi kantong-kantong Mas Towil sebagai pendiri, melainkan juga berdampak pada ekonomi masyarakat  Desa Bantar. Konsepnya 'Wisata Desa', bukan 'Desa Wisata, karena apa yang dipamerkan memang milik masyarkat.
Â
Apa yang dipamerkan ke pengunjung seperti aktivitas masyarakat di sawah, memetik dan menikmati secara langsung buah rambutan, mangga, jambu, Â pisang, melon, nanas coklat yang ditanam masyarkat, menyaksikan pembuatan tenun tradisional, pembuatan tempe, pembuatan pecut, pembuatan kerajinan tas dan masih banyak lagi adalah kegiatan sudah berjalan dengan sendirinya selama bertahun-tahun, Â tidak perlu diada-adakan dan tidak dibuat-buat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H