Mohon tunggu...
Akhmad Fawzi
Akhmad Fawzi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam

Membaca, Menulis, Merenung, dan Melamun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Soren Aabye Kierkegaard, Si Bapak Eksistensialisme

8 Januari 2025   23:29 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:29 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Kompleksitas permasalahan manusia senantiasa menyangkut kebermaknaan hidup yang berhubungan dengan persoalan keberadaan. Filsafat sebagai wadah untuk mencari kebenaran hakiki dalam kehidupan sudah mewarnai jawaban atas kegelisahan hidup manusia terutama menyangkut keberadaan yang disebut aliran eksistensialisme. Aliran tersebut ingin mengungkap keberadaan manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri.

Istilah Eksistensialisme

 Istilah eksistensialisme berasal dari kata Jerman Existentialismus (1919), yang menggantikan istilah Existentialforhold (1849), yang pada akhirnya berasal dari penulis Denmark Sren Kierkegaard (1813-1855). Kierkegaard menulis tentang Existents-Forhold (1846) yang berarti "keadaan eksistensi". Kata eksistensialisme mengalami perkembangan, pada tahun 1690-an, istilah tersebut berarti "yang berkaitan dengan keberadaan," yang berasal dari bahasa Latin Akhir existentialis/exsistentialis, yang akar katanya berasal dari kata existentia/exsistentia. Dalam logika, eksistensialis berarti "menyatakan atau mengungkapkan fakta tentang keberadaan," kata tersebut pertama kali digunakan pada tahun 1819, sementara dalam filosofi mulai digunakan pada tahun 1937, yang merujuk pada karya-karya dari penulis Denmark, misalnya Kierkegaard (Etymonline).

Heidegger menyatakan bahwa dalam tulisannya bahwa istilah 'keberadaan' (Existenz), sebagai penunjuk dari keberadaan, akan dialokasikan hanya untuk Dasein." Heidegger melanjutkan dengan mengatakan bahwa "esensi" (Wesen) dari Dasein terletak pada keberadaannya, dan ia menjelaskan ini dengan menyatakan bahwa esensi Dasein tidak dibentuk oleh sifat-sifat, tetapi oleh kemungkinan cara-cara keberadaannya. "Manusia memiliki esensi yang membuatnya menjadi 'di sana,' yaitu, ruang terbuka bagi keberadaan". Kita telah melihat bahwa "keberadaan" diambil oleh eksistensialis dalam arti dasarnya sebagai "berdiri keluar." Klaim eksistensialis adalah bahwa kita seharusnya tidak hanya memikirkan manusia sebagai "eksistensial" dalam pengalaman-pengalaman langka seperti penglihatan atau trance, tetapi manusia itu sendiri "eksistensial" dalam keberadaannya. Kita juga bisa mengatakan bahwa manusia itu "transenden" dalam keberadaannya (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement).

Konteks Kemunculan Eksistensialisme

Eksistensialisme hadir pada dua konteks penting yakni sejarah filsafat dan sejarah manusia. Dalam sejarah manusia, eksistensialisme berkembang menghadapi absurditas yakni perang dan penderitaan eropa selama abad ke-19 dan ke-20. Selama itu, manusia ditempatkan sebagai objek yang bebas untuk di reduksi, seakan-akan tidak memiliki martabat kemanusiaan. Mulai dari itu manusia mendapat posisi sebagai subjek dalam jaringan sejarah, budaya dan masyarakat yang akhirnya menciptakan kondisi menerima kebebasan (Critchley: 64). Filsafat eksistensialis menandai transisi baru dari interpretasi pengetahuan sebagai objektifikasi menuju pemahaman yang lebih berfokus pada partisipasi atau penyatuan dengan subjek, dan bekerja sama dengan subjek tersebut. Secara tradisional, kebenaran dianggap sebagai kesesuaian antara isi pikiran (seperti penilaian atau ide) dan fakta di dunia yang "diwakili" oleh penilaian atau ide tersebut (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement).

Membicarakan eksistensialisme, seperti kebanyakan pelajar filsafat barat harus memulai dari Immanuel Kant, bapak idealisme Jerman. Karya-karyanya melahirkan J.G Fichte, Friedrich Schelling dan Hegel. Ketiganya berusaha mempertahankan iman sebagai sesuatu yang logis. Pemikiran filosofis tersebut di gugat oleh para filosof eksistensial seperti Kierkegaard yang menurutnya iman tidaklah logis yang akhirnya membuat manusia menderita kecemasan karena tidak dapat yakin akan apa pun, tentang makna apa pun. Konsep kecemasan itu termuat dalam karya nya the concept of anxiety dan juga tulisan dari Nietzsche. Jadi, dapat dikatakan eksistensialisme muncul sebagai respon atas kondisi abad 19 dan 20 yang menjadikan manusia sebagai objek sehingga tidak memiliki kebebasan dan kritik atas filsafat idealisme Jerman yang mempertahankan kelogisan iman.

Ciri-Ciri Filsafat Eksistensialisme dan Eksistensialisme (Ali, 2019: 223-224)

Di antara ciri filsafat eksistensialisme adalah:

  • Muncul dari 'pengalaman' eksistensial yang terkait dengan 'pengalaman pribadi'.
  • Eksistensi menjadi objek pencarian utama. Eksistensi tersebut adalah cara mengada manusia.
  • Eksistensi: sama sekali aktualistis, bebas 'menciptakan' dirinya sendiri.
  • Manusia dianggap sebagai 'subjektivitas' murni, bukan sebagai manifestasi suatu proses hidup kosmis yang bersifat mekanistis.
  • Manusia adalah tidak sempurna dan realitas yang terbuka.
  • Kaum eksistensialis tidak mengakui distingsi antara subjek dan objek.

Sedangkan ciri eksistensialisme adalah:

  • Pengalaman hidup disebabkan oleh kesadaran manusia.
  • Eksistensialisme mendekati masalah dari perspektif 'pelaku' dari pada perspektif 'pengamat'.
  • Eksistensialisme melawan idealisme yang tidak memperdulikan 'pengalaman' eksistensial dan meremehkan individu dengan menenggelamkannya ke dalam Yang Absolut.
  • Eksistensialisme menentang 'fungsionalisme' impersonal, maksudnya tidak boleh mereduksi manusia ke dalam fungsi-fungsi.
  • Eksistensialisme mencoba menjawab masalah pengalaman akan Tuhan.
  • Eksistensi adalah cara mengada manusia.

Sren Aabye Kierkegaard: Bapak Eksistensialisme 

Sren Kierkegaard (1813-1855) sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme modern dan merupakan filsuf Eropa pertama yang dianggap sebagai seorang eksistensialis (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement). Ia lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di kota Copenhagen, Denmark. Ayahnya bernama Mikhael Pederson Kierkegaard yang sudah berumur 56 tahun dan ibunya Ane Srendatter Lund yang sudah berusia 45 tahun. Sosok Sren Kierkegaard digambarkan sebagai manusia temperamental, emosinya meledak-ledak dan melankolis. Catatan hariannya penuh dengan perasan negatif khas manusia seperti kecemasan, kebosanan, ketakutan dan keputusasaan (Garot, 2017: 22-23). Karakter tersebut tampak diturunkan oleh ayahnya yang menderita kelaparan, kedinginan dan kesepian sehingga ia berdiri diatas bukit lalu mengangkat tangannya ke langit dan mengutuk Tuhan. Nyatanya, setelah itu ia lihat kemuliaan berkat Tuhan dengan melimpahkan kekayaan dan anak-anak yang mengagumkan. Sebab itu, ia merasa berdosa, jiwanya gelisah karena telah mengutuk Tuhan padahal Tuhan telah begitu banyak memberikan kemuliaanya kepada nya. Alasan itulah ia mulai mematuhi syarat-syarat Kristianitas (Lowrie, 1944: 22, 70 & 71).

Pengalaman hidupnya yang memengaruhi karakter filosofisnya adalah saat ia bertemu dengan Regina Olsen, putri pejabat terpandang. Regina pada saat itu berumur 15 tahun dan dalam setahun atau dua tahun pertemuan keduanya hanya beberapa kali saja. Setelah ia menyelesaikan disertasi filsafatnya yang berjudul On the Concept of Irony with Continual Reference to Socrates pada bulan September 1840, beberapa minggu ia bertunangan dengan Regina yang sudah berumur 17 tahun. Setahun setelah bertunangan, Kierkegaard tiba-tiba mengembalikan cincin pertunangannya kepada Regina dan mengakhiri pertunangan tersebut. Tak ada yang tahun alasan Kierkegaard membatalkan pertunangan tersebut, karena ia tidak memberitahukan kepada siapa pun. Tetapi ada beberapa kemungkinan alasan seperti kesukaran personal yang sulit disampaikan kepada Regina dan kekhawatiran pada dirinya akan ada takdir lain baginya (Garot, 2017: 27).

Setelah pertunangannya batal, Kierkegaard menjadi sangat produktif dalam menulis, berikut karyanya pasca pertunangan tersebut: Either/Or (Februari 1843), Fear and Trembling (Oktober 1843), Repitition (Oktober 1843), The Concept of Dread (1844), Fragments of Philosophy (1844), Stages on Life's Way (1845) dan Concluding Unscientific Postcript (1846). Dalam karya-karyanya tersebut, Kierkegaard banyak menggunakan nama samaran agar pembaca tidak memikirkan bahwa karyanya ini identik dengan pengalaman hidupnya. Peristiwa penting lainnya yang memengaruhi kehidupannya ialah ejekan dan sindiran dari tabloid kontroversial yang sering menyerang para elite di Copenhagen yaitu tabloid The Corsair.  Permasalahan tersebut bermula dari Moller (orang yang berpengaruh pada tabloid The Corsair) yang meresensi bukunya Kierkegaard yaitu Guilty dimana ia menuliskannya menggunakan nama samaran. Moller kadangkala menjadi editor tabloid tersebut suka menyerang siapa pun yang tulisannya menggunakan nama samaran (Dru, 1958: 25-26).

Serangan ejekan dan sindiran terus-menerus tersebut membuat Kierkegaard frustasi hingga ia pun menghadapi The Corsair dengan keterbukaan tidak lagi menggunakan nama samaran ketika membahas eksistensi Kristianitas setelah menuliskan buku psikologi agama yang membuatnya bertekad mendedikasikan sisa kehidupannya untuk keadaan Gereja di Denmark yang sudah menjadi sekular dan duniawi, maksudnya mereka yang beragama tidak mampu menggapai inti beragama itu sendiri (Garot, 2017: 29-30). Pada tahun 1835, dalam perjalanannya ia seperti mendapat ilham yang meneguhkan kehidupannya, ia mengatakan: apa yang kurang padaku adalah suatu gambaran jelas tentang apa yang harus ku perbuat, bukan tentang apa yang harus ku ketahui. Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam bagi ku dan kehidupan ku. Pengertian itu harus diresap ke dalam hidup ku dan itulah yang ku anggap sekarang maha penting. Kehidupan konkretnya itu dipilih sebagai titik tolak baginya tentang makna keberadaan manusia (Weij, 2017: 160-161).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun