Sren Aabye Kierkegaard: Bapak EksistensialismeÂ
Sren Kierkegaard (1813-1855) sering dianggap sebagai bapak eksistensialisme modern dan merupakan filsuf Eropa pertama yang dianggap sebagai seorang eksistensialis (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement). Ia lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di kota Copenhagen, Denmark. Ayahnya bernama Mikhael Pederson Kierkegaard yang sudah berumur 56 tahun dan ibunya Ane Srendatter Lund yang sudah berusia 45 tahun. Sosok Sren Kierkegaard digambarkan sebagai manusia temperamental, emosinya meledak-ledak dan melankolis. Catatan hariannya penuh dengan perasan negatif khas manusia seperti kecemasan, kebosanan, ketakutan dan keputusasaan (Garot, 2017: 22-23). Karakter tersebut tampak diturunkan oleh ayahnya yang menderita kelaparan, kedinginan dan kesepian sehingga ia berdiri diatas bukit lalu mengangkat tangannya ke langit dan mengutuk Tuhan. Nyatanya, setelah itu ia lihat kemuliaan berkat Tuhan dengan melimpahkan kekayaan dan anak-anak yang mengagumkan. Sebab itu, ia merasa berdosa, jiwanya gelisah karena telah mengutuk Tuhan padahal Tuhan telah begitu banyak memberikan kemuliaanya kepada nya. Alasan itulah ia mulai mematuhi syarat-syarat Kristianitas (Lowrie, 1944: 22, 70 & 71).
Pengalaman hidupnya yang memengaruhi karakter filosofisnya adalah saat ia bertemu dengan Regina Olsen, putri pejabat terpandang. Regina pada saat itu berumur 15 tahun dan dalam setahun atau dua tahun pertemuan keduanya hanya beberapa kali saja. Setelah ia menyelesaikan disertasi filsafatnya yang berjudul On the Concept of Irony with Continual Reference to Socrates pada bulan September 1840, beberapa minggu ia bertunangan dengan Regina yang sudah berumur 17 tahun. Setahun setelah bertunangan, Kierkegaard tiba-tiba mengembalikan cincin pertunangannya kepada Regina dan mengakhiri pertunangan tersebut. Tak ada yang tahun alasan Kierkegaard membatalkan pertunangan tersebut, karena ia tidak memberitahukan kepada siapa pun. Tetapi ada beberapa kemungkinan alasan seperti kesukaran personal yang sulit disampaikan kepada Regina dan kekhawatiran pada dirinya akan ada takdir lain baginya (Garot, 2017: 27).
Setelah pertunangannya batal, Kierkegaard menjadi sangat produktif dalam menulis, berikut karyanya pasca pertunangan tersebut: Either/Or (Februari 1843), Fear and Trembling (Oktober 1843), Repitition (Oktober 1843), The Concept of Dread (1844), Fragments of Philosophy (1844), Stages on Life's Way (1845) dan Concluding Unscientific Postcript (1846). Dalam karya-karyanya tersebut, Kierkegaard banyak menggunakan nama samaran agar pembaca tidak memikirkan bahwa karyanya ini identik dengan pengalaman hidupnya. Peristiwa penting lainnya yang memengaruhi kehidupannya ialah ejekan dan sindiran dari tabloid kontroversial yang sering menyerang para elite di Copenhagen yaitu tabloid The Corsair. Â Permasalahan tersebut bermula dari Moller (orang yang berpengaruh pada tabloid The Corsair) yang meresensi bukunya Kierkegaard yaitu Guilty dimana ia menuliskannya menggunakan nama samaran. Moller kadangkala menjadi editor tabloid tersebut suka menyerang siapa pun yang tulisannya menggunakan nama samaran (Dru, 1958: 25-26).
Serangan ejekan dan sindiran terus-menerus tersebut membuat Kierkegaard frustasi hingga ia pun menghadapi The Corsair dengan keterbukaan tidak lagi menggunakan nama samaran ketika membahas eksistensi Kristianitas setelah menuliskan buku psikologi agama yang membuatnya bertekad mendedikasikan sisa kehidupannya untuk keadaan Gereja di Denmark yang sudah menjadi sekular dan duniawi, maksudnya mereka yang beragama tidak mampu menggapai inti beragama itu sendiri (Garot, 2017: 29-30). Pada tahun 1835, dalam perjalanannya ia seperti mendapat ilham yang meneguhkan kehidupannya, ia mengatakan: apa yang kurang padaku adalah suatu gambaran jelas tentang apa yang harus ku perbuat, bukan tentang apa yang harus ku ketahui. Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam bagi ku dan kehidupan ku. Pengertian itu harus diresap ke dalam hidup ku dan itulah yang ku anggap sekarang maha penting. Kehidupan konkretnya itu dipilih sebagai titik tolak baginya tentang makna keberadaan manusia (Weij, 2017: 160-161).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI