Pendahuluan
Kompleksitas permasalahan manusia senantiasa menyangkut kebermaknaan hidup yang berhubungan dengan persoalan keberadaan. Filsafat sebagai wadah untuk mencari kebenaran hakiki dalam kehidupan sudah mewarnai jawaban atas kegelisahan hidup manusia terutama menyangkut keberadaan yang disebut aliran eksistensialisme. Aliran tersebut ingin mengungkap keberadaan manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri.
Istilah Eksistensialisme
 Istilah eksistensialisme berasal dari kata Jerman Existentialismus (1919), yang menggantikan istilah Existentialforhold (1849), yang pada akhirnya berasal dari penulis Denmark Sren Kierkegaard (1813-1855). Kierkegaard menulis tentang Existents-Forhold (1846) yang berarti "keadaan eksistensi". Kata eksistensialisme mengalami perkembangan, pada tahun 1690-an, istilah tersebut berarti "yang berkaitan dengan keberadaan," yang berasal dari bahasa Latin Akhir existentialis/exsistentialis, yang akar katanya berasal dari kata existentia/exsistentia. Dalam logika, eksistensialis berarti "menyatakan atau mengungkapkan fakta tentang keberadaan," kata tersebut pertama kali digunakan pada tahun 1819, sementara dalam filosofi mulai digunakan pada tahun 1937, yang merujuk pada karya-karya dari penulis Denmark, misalnya Kierkegaard (Etymonline).
Heidegger menyatakan bahwa dalam tulisannya bahwa istilah 'keberadaan' (Existenz), sebagai penunjuk dari keberadaan, akan dialokasikan hanya untuk Dasein." Heidegger melanjutkan dengan mengatakan bahwa "esensi" (Wesen) dari Dasein terletak pada keberadaannya, dan ia menjelaskan ini dengan menyatakan bahwa esensi Dasein tidak dibentuk oleh sifat-sifat, tetapi oleh kemungkinan cara-cara keberadaannya. "Manusia memiliki esensi yang membuatnya menjadi 'di sana,' yaitu, ruang terbuka bagi keberadaan". Kita telah melihat bahwa "keberadaan" diambil oleh eksistensialis dalam arti dasarnya sebagai "berdiri keluar." Klaim eksistensialis adalah bahwa kita seharusnya tidak hanya memikirkan manusia sebagai "eksistensial" dalam pengalaman-pengalaman langka seperti penglihatan atau trance, tetapi manusia itu sendiri "eksistensial" dalam keberadaannya. Kita juga bisa mengatakan bahwa manusia itu "transenden" dalam keberadaannya (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement).
Konteks Kemunculan Eksistensialisme
Eksistensialisme hadir pada dua konteks penting yakni sejarah filsafat dan sejarah manusia. Dalam sejarah manusia, eksistensialisme berkembang menghadapi absurditas yakni perang dan penderitaan eropa selama abad ke-19 dan ke-20. Selama itu, manusia ditempatkan sebagai objek yang bebas untuk di reduksi, seakan-akan tidak memiliki martabat kemanusiaan. Mulai dari itu manusia mendapat posisi sebagai subjek dalam jaringan sejarah, budaya dan masyarakat yang akhirnya menciptakan kondisi menerima kebebasan (Critchley: 64). Filsafat eksistensialis menandai transisi baru dari interpretasi pengetahuan sebagai objektifikasi menuju pemahaman yang lebih berfokus pada partisipasi atau penyatuan dengan subjek, dan bekerja sama dengan subjek tersebut. Secara tradisional, kebenaran dianggap sebagai kesesuaian antara isi pikiran (seperti penilaian atau ide) dan fakta di dunia yang "diwakili" oleh penilaian atau ide tersebut (Macquarrie: Existentialism: An Introduction, Guide and Assement).
Membicarakan eksistensialisme, seperti kebanyakan pelajar filsafat barat harus memulai dari Immanuel Kant, bapak idealisme Jerman. Karya-karyanya melahirkan J.G Fichte, Friedrich Schelling dan Hegel. Ketiganya berusaha mempertahankan iman sebagai sesuatu yang logis. Pemikiran filosofis tersebut di gugat oleh para filosof eksistensial seperti Kierkegaard yang menurutnya iman tidaklah logis yang akhirnya membuat manusia menderita kecemasan karena tidak dapat yakin akan apa pun, tentang makna apa pun. Konsep kecemasan itu termuat dalam karya nya the concept of anxiety dan juga tulisan dari Nietzsche. Jadi, dapat dikatakan eksistensialisme muncul sebagai respon atas kondisi abad 19 dan 20 yang menjadikan manusia sebagai objek sehingga tidak memiliki kebebasan dan kritik atas filsafat idealisme Jerman yang mempertahankan kelogisan iman.
Ciri-Ciri Filsafat Eksistensialisme dan Eksistensialisme (Ali, 2019: 223-224)
Di antara ciri filsafat eksistensialisme adalah:
- Muncul dari 'pengalaman' eksistensial yang terkait dengan 'pengalaman pribadi'.
- Eksistensi menjadi objek pencarian utama. Eksistensi tersebut adalah cara mengada manusia.
- Eksistensi: sama sekali aktualistis, bebas 'menciptakan' dirinya sendiri.
- Manusia dianggap sebagai 'subjektivitas' murni, bukan sebagai manifestasi suatu proses hidup kosmis yang bersifat mekanistis.
- Manusia adalah tidak sempurna dan realitas yang terbuka.
- Kaum eksistensialis tidak mengakui distingsi antara subjek dan objek.
Sedangkan ciri eksistensialisme adalah:
- Pengalaman hidup disebabkan oleh kesadaran manusia.
- Eksistensialisme mendekati masalah dari perspektif 'pelaku' dari pada perspektif 'pengamat'.
- Eksistensialisme melawan idealisme yang tidak memperdulikan 'pengalaman' eksistensial dan meremehkan individu dengan menenggelamkannya ke dalam Yang Absolut.
- Eksistensialisme menentang 'fungsionalisme' impersonal, maksudnya tidak boleh mereduksi manusia ke dalam fungsi-fungsi.
- Eksistensialisme mencoba menjawab masalah pengalaman akan Tuhan.
- Eksistensi adalah cara mengada manusia.