Mohon tunggu...
Akhmad Fawzi
Akhmad Fawzi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam

Membaca, Menulis, Merenung, dan Melamun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena KDRT: Bukti Ketidaksiapan Mental dan Kekurangan Pengetahuan

13 Agustus 2024   22:47 Diperbarui: 13 Agustus 2024   22:50 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ramai diperbincangkan mengenai KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh selebgram bernama Cut Intan Nabila oleh suaminya baru-baru ini. Pasca lahiran yang seharusnya mendapat ribuan kasih sayang, justru mendapat perlakuan keras. KDRT merupakan kasus yang setiap tahunnya ada di Indonesia, apa yang dialami Cut Intan Nabila bukan yang pertama kalinya. 

Namun, itu bukanlah hal yang dianggap biasa, justru sangat menimbulkan pertanyaan sekaligus permasalahan pada pernikahan oleh orang-orang Indonesia yang selalu timbul kasus KDRT dari berbagai kalangan. Salah satu penyebabnya yaitu menjadikan harta atau pekerjaan itu modal utama dalam menikah, sementara kesehatan mental dan pengetahuan membina rumah tangga dianggap nomor sekian. Atas itulah tulisan  yang berasal dari dorongan hati ini digoreskan karena tidak tega dan tidak kuat melihat perempuan yang begitu mulia nan baik mendapat perlakuan keras dan kasar oleh suaminya sendiri.

Dengan menaiknya demografi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri terutama dibidang pemberdayaan manusia melalui pendidikan guna melahirkan manusia Indonesia yang berpengetahuan dan beradab. Dengan dialokasikan anggaran pendidikan 20% membuat pendidikan manusia Indonesia masih belum merata, konsekuensinya akan banyak manusia Indonesia yang tidak mengenal dirinya apalagi dunianya sehingga cenderung berbuat semaunya berdasarkan keinginannya. 

Salah satunya fenomena KDRT, secara fikih jelas tidak boleh melakukan kekerasan kepada orang yang dicintainya. Orang yang didalam dirinya tumbuh rasa cinta maka akan memperlakukan kekasihnya dengan kasih sayang. Hemat saya, fenomena KDRT disebabkan salah satunya karena kekurangan bahkan kekosongan pengetahuan dan ketidaksiapan mental dalam menghadapi masalah rumah tangga secara psikologis.

Fakta ditengah masyarakat, mereka yang sudah memiliki pekerjaan dan gaji tetap cenderung didorong untuk segera menikah karena dianggap sudah mapan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Dalam fikih, kesiapan dan kesanggupan materi menjadi hal penting bagi yang akan mengarungi dunia rumah tangga, tapi itu bukan hal mutlak dan satu-satunya. 

Ada hal utama selain itu, ialah kesiapan mental dan kepunyaan pengetahuan tentang membina rumah tangga. Jiwa manusia yang senantiasa berubah membuat manusia harus melatih jiwanya dengan terus mengontrol perkembangan mentalnya agar tidak dikuasai oleh nafsu yang mengakibatkan dirinya dirugikan. 

Nah, mereka yang melakukan KDRT dikarenakan ketidaksiapan mental saat dilanda permasalahan dan kekurangan pengetahuan tentang membina rumah tangga. Pada akhirnya, dirinya dikuasai oleh daya emosionalnya sehingga terwujud perlakuan keras dan kasar kepada pasangannya.

Adagium latin berbunyi "Radix Malorum est Cupiditas" atau akar kejahatan adalah nafsu. KDRT bagian dari kejahatan karena mencederai martabat manusia dan memperlakukan manusia layaknya hewan beringas. Akar semua itu adalah nafsu. Manusia yang dikuasai oleh nafsu buruknya seperti amarah akan bersikap kasar dan barbar layaknya sifat amarah tiada ampun. Karena itu, bagi yang ingin menikah latihlah kesiapan mental dengan penuhilah diri kalian melalui pengetahuan tentang rumah tangga. Sebagaimana kata Buya Hamka, pengetahuan merupakan makanan bagi ruhani seseorang.

Faktor lainnya timbul KDRT yang berketerusan karena menilai laki-laki yang telah berlaku kasar pun dianggap pemimpin rumah tangga yang mesti dimuliakan. Q.S An-Nisa ayat 34 menyebut laki-laki adalah pemimpin atas wanita. Namun, jika pemimpinnya seperti itu pantaskah disebut pemimpin apalagi untuk memimpin? 

Akal sehat kita akan menolak sepertinya. Makna pemimpin dalam ayat tersebut ialah pemimpin yang menghargai, menyayangi, menjaga wanita yang ia sayangi bukan malah memukul dan menendang kepada kekasihnya. Pemimpin pada ayat tersebut bukanlah pemimpin yang otoriter, merasa dirinya paling berkuasa lalu melemahkan yang dianggap bawahannya, pemimpin dalam ayat tersebut bukanlah mandor yang selalu menjadi tuan atas budaknya. Atas itulah, pemaknaan pemimpin mesti dilihat kembali dengan akal dan hati yang jernih.

Perempuan mesti berdaya dengan tidak menganggap mutlak penilaian pemimpin kepada laki-laki yang telah berbuat KDRT kepada dirinya. Jika diperlakukan kasar oleh suaminya, seorang istri mesti menjaga dirinya dari perlakuan keras suaminya karena menjaga diri bagian dari maksud diadakannya syariat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun