"Motivasi dan arahan Prof. Dr. Babun Suharto selaku pimpinan Universitas Islam Negeri (UIN) K.H. Achmad Siddiq atau populis disingkat UIN KHAS Jember, mendorong anak-anak yang tergabung dalam dalam organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sunan Ampel, menjadi semangat untuk lebih berintegritas dalam penyambutan mahasiswa baru tahun 2022 ini"
Ditangan dingin Profesor Babun Suharto inilah, akselerasi lembaga pendidikan berbasis Islam, dengan begitu cepatnya, sudah menjadi Universitas, yang semula bernama Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Jember, kini sudah menjadi Universitas Islam Negeri Jember atau disingkat (UIN) K.H Achmad Siddiq.
Almarhum K.H. Achmad Siddiq merupakan ulama dan tokoh perjuangan di kabupaten Jember, sehingga pemberian nama UIN KHAS Jember, di nisbatkan atas nama sang tokoh.
Setiap tahun penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di UIN KHAS tidak lepas dari riuh dan arahan dari kakak kelas untuk bisa bergabung dengan sebuah organisasi baik ekstra maupun Intra kampus.
Di UIN KHAS organisasi Ekstra ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat ini HMI sudah berdiri dua komisariat, yang pertama komisariat tertua yakni Komisariat Sunan Ampel, dan yang kedua Komisariat Al-Fatih yang beberapa tahun yang lalu berdiri.
Disamping ada PMII dan HMI, di UIN KHAS juga sudah mulai berkembang organisasi ekstra lainnya, seperti Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Organisasi ekstra inilah yang kerap bersinggungan dan saling berebut panggung untuk mengajak calon mahasiswa baru untuk bisa berkabung pada organisasinya masing-masing, bahkan kerap kali bertautan hingga menyebabkan kekisruhan.
Menjaga kondusifitas dikampus hijau antar mahasiswa yang kerap berbeda pandangan, kerap memicu kegaduhan, sehingga ketersinggungan satu sama lain, dan rasa toleransi antar organisasi baik ekstra maupun Intra perlu untuk disadari betul.
Penerimaan Mahasiswa Baru dan Rekrutmen Calon Anggota Yang berintegritasÂ
Ada yang bilang HMI bukan sekedar sekelompok mahasiswa yang cukup berkelompok saja, namun HMI juga bisa menjadi Harapan Masyarakat Indonesian walaupun tidak bisa dipungkiri ditubuh HMI sudah banyak mencetak kader dan tokoh baik di daerah maupun ditingkat Nasional.
Cara pandang dan cara berpikir inklusifitas inilah, tercetak sebuah keberagaman di tubuh HMI, sehingga tidak heran jika tokoh jebolan HMI mulai dari "Iblis sampai malaikat ada", karena sejatinya di organisasi Kader tersebut selalu diajarkan cara berpikir inklusif yang mampu menerima akan suatu perbedaan dan latar belakang dari masing-masing Mahasiswa, selama Mahasiswa tersebut berkeyakinan Islam.
Sekedar Saran bagi Himpunan Mahasiswa Islam, tetap berpegang pada prinsip, yakni memprioritaskan kualitas, karena dengan kualitas secara otomatis kuantitas akan didapatkan.
Bergabung di organisasi yang didirikan oleh tokoh sekaligus Pahlawan Nasional Lafran Pane pada 05 Februari 1947 tersebut memang cukuplah berat, karena organisasi khususnya HMI sebagai second university harus terintegrasi dengan kampus yang merupakan pintu pertama bagi calon Mahasiswa Baru untuk bisa mengenyam pendidikan diperguruan Tinggi.
Artinya bahwa tidak perlu saling berebut supaya Calon Mahasiswa Baru bisa ikut ataupun bergabung dengan HMI. Bahwasanya asas demokrasi dan penentuan pilihan untuk masuk disebuah organisasi hakekatnya tidak ada paksaan, karena bergabung di organisasi ekstra membutuhkan kesadaran dan kesalehan, baik kesalehan sosial maupun kesalehan individual.
Doktrinasi dan pertanggung jawaban sebagai insan AkademisÂ
Masing-masing organisasi baik ekstra maupun Intra kampus memiliki visi dan misi yang berbeda, serta memiliki tujuannya masing-masing.
Masing-masing organisasi pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga target dan fokus untuk dicapai menjadi skala prioritas untuk dilakukan.
Begitupun dengan Himpunan Mahasiswa Islam, sesuai dengan Pasal 4, yakni Visi HMI adalah "Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggung jawab atas Terwujudnya masyarakat Adil dan Makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT" menjadi Fondasi bagi sebuah pergerakan didalam himpunan.
Dan tujuan dari himpunan itu sendiri tidak pernah lepas dari dua aspek yang sudah menyatu, yakni Kebangsaan dan Keislaman, sehingga dua hal tersebut harus terintegrasi dan menjadi doktrinasi dalam setiap langkah.
Maka jangan sampai salah adanya upaya mendoktrinasi, harus tetap terukur, terarah, dan memiliki target tujuan yang hendak dicapai.
Apakah tidak boleh mendoktrin ? Sah-sah saja melakukan doktrinasi senyampang bisa dipertanggung jawabkan, sebab kekuatan doktrinasi pada mahasiswa yang masih cukup polos juga bisa membahayakan dan juga bisa menyerang aspek psikologis, sehingga tetap harus terukur dan terarah.
Dengan demikian sebagai insan akademis, tidaklah perlu melakukan rekrutmen dengan cara-cara premanisme yang bisa merusak citra lembaga, tetaplah sebagai insan akademis yang membiasakan diri untuk membuka ruang diskusi dalam setiap menghadapi berbagai persoalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H