"Jika bukan karena kasus polisi dengan polisi, sebagai pelaku dan korban, kemungkinan 1x24 jam peristiwa tersebut sudah tuntas sampai ke akar-akarnya, tetapi konsteknya berbeda, karena antar polisi bukanlah kasus yang biasa"
Seringkali kita mendengar akan tiga hal yang tidak asing di telinga kita, yakni tentang Tahta, harta dan wanita, kerap membuat lupa akan segalanya.
Dari berbagai sumber berita yang menyebar baik online maupun ofline sudah cukup banyak yang menduga-duga akan motif terjadinya eksekusi terhadap Brigadir Nofriasnyah Joshua Hutabarat alias Brigadir J.
Mulai adanya dugaan pelecehan seksual, cerita skandal Ferdi Sambo yang disampaikan pada istrinya Putri Candrawati, soal situs judi, dan masih banyak lainnya yang di duga banyak diketahui oleh Brigadir J, sehingga Alm. Brigadir J harus dilenyapkan dari muka bumi ini untuk menghilangkan jejak kejahatan.
Seorang penegak Hukum seperti Kadiv Propam non aktif Irjen Ferdi Sambo yang memiliki pangkat yang tinggi di jajaran Polri, harus kalap dan lupa diri hingga harus melenyapkan orang yang sangat dia sayangi karena sudah dianggap anaknya sendiri.
Sayang seribu sayang, hari nurani sudah tergadaikan pada hawa nafsu syetan, hingga dengan mudahnya menghilangkan nyawa seseorang seperti tanpa beban dosa.
Mungkinkah perilaku yang demikian di sebut psikopat, yang perlu diperiksakan ke dokter spesialis untuk menemukan unsur kelainan ? Mungkin saja itu bisa terjadi.
Karir yang cemerlang, namun disalahgunakanÂ
Untuk mencapai pada posisi seperti Irjen Ferdi Sambo, cukup banyak dan masih antri, bukan hanya ratusan tapi sampai ratusan orang yang ingin menduduki jabatan seperti sang Jenderal.
Butuh waktu yang lama dan proses panjang untuk meraih kursi yang sedang diduduki oleh Ferdi Sambo.
Semuanya menjadi kandas, sebab perilaku tidak manusiawi yang dilakukan oleh Ferdi Sambo Cs.Â
Interogasi dan penyiksaan jelas sudah dilakukan, pasalnya waktu Ekhumasi terdapat luka sayatan, dan penganiayaan lainnya terhadap Brigadir J, sebelum ia ditembak kepalanya.
Karir Irjen Ferdi Sambo terbilang cukup cemerlang, sebab Ferdi sambo sudah memiliki jaringan dan kedekatan dengan pejabat publik yang bisa mengkatrol dirinya.
FS, RR, dan KM dijatuhi pasal 340 subsider 338 juncto dan pasal 55-56 KUHP, sementara Barada E hanya di jatuhi pasal 338 junto, 55-56 KUHP, yakni pasal pembunuhan.
Menjadi cukup menarik untuk ditelisik, sebab terkuaknya kasus kematian Brigadir J yang dilakukan oleh oknum polisi pangkat teri, sampai pangkat buaya, tidak hanya soal pelecehan seksual, dan kasus skandal lainnya yang dianggap hanya conten dewasa, dan hanya penyidik saja yang boleh tahu.
Akankah masyarakat Indonesia secara umum dianggap seperti anak dibawah umur, sehingga tidak boleh tahu yang sebenarnya atas motif kematian Brigadir J, lantas bagaimana dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menginstruksikan atau memerintahkan untuk mengusut kasus tersebut sampai pada akar-akarnya dan dibuka ke publik dengan jujur dan transparan, dan jangan di tutup-tutupi.
Jika Kapolri Listyo Sigit Prabowo tidak membuka motif pembunuhan Brigadir J secara terang benderang, sama saja "Kapolri melawan perintah Presiden".
Ada Unsur Kemanusiaan yang harus dipertanggung jawabkanÂ
Kematian Brigadir Joshua, bukan lagi soal agama, suku, ras, etnis, atau apapun namanya, tapi hal tersebut menyangkut humanisme atau kemanusiaan.
Teka teki silang terus berkembang, 4 tersangka pelaku pembunuhan Brigadir J sudah ditetapkan, namun motif belum juga disiarkan, Menkopolhukam Mahfud MD memasrahkan Konstruksi motif pada Kapolri dan jajarannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Karena memang benar adanya kematian Brigadir J, menyangkut skenario kriminalitas yang terjadi di tubuh polri.
Bahasa Kasarnya ada sekelompok Mafia yang berseragam atas nama penegak hukum, sehingga sorotan tajam masyarakat untuk terus memburu motif dibalik eksekusi Brigadir J, menjadi fenomena buruk sepanjang sejarah di institusi Polri.
Lebih dari 30 hari lamanya, pendalaman dan penyelidikan untuk membongkar motif pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdi Sambo Cs, masih menuai persepsi liar, sementara dugaan skenario tembak menembak yang dipicu adanya pelecehan seksual terhadap Istri Ferdi Sambo kini terbantahkan dengan pasal 340 Subsider, Junto 338, pasal 55-56 KUHP, sehingga sangat kecil kemungkinan kasus tersebut di picu oleh pelecehan seksual.
Kini rekaman CCTV detik-detik Brigadir J yang hendak di eksekusi mulai terkuak ke publik, sehingga tensi masyarakat atas kasus kematian Brigadir J, semakin percaya bahwa telah terjadi skenario masif yang tak terbantahkan.
Maka jangan ditutup-tupi, dan buka seterang-terrangnya serta transparansi ke publik untuk menjaga Marwah Institusi Polri yang kita hormati.
Aspek humanisme inilah yang harus di pertanggung jawabkan oleh para mafia yang berseragam penegak hukum, sehingga Marwah Institusi Polri tidak terciderai oleh segelintir orang yang bisa merusak sistem dan tatanan bernegara.
Apakah Polri masih ragu untuk mengungkap Motifnya ?
Penulis kira, polri dalam konstek ini timsus yang bertugas melakukan penyelidikan untuk mengungkap kasus kematian Brigadir J dengan sebenar-benarnya tidaklah ragu, apalagi Polri sudah berjanji akan melakukan jumpa pers dan mengumumkan motif dibalik peristiwa kematian Brigadir J.
Lantas kemudian ada bahasa, "jika motif pembunuhan terhadap Brigadir J di ungkap ke publik sangat kasian pada para pihak, sehingga yang boleh tahu hanya penyidik saja".
Sementara masyarakat melalui suara Presiden Jokowi sebagai Wakil rakyat di eksekutif, menghendaki motif pembunuhan itu dibuka secara terang benderang dan jangan di tutup-tutupi.
Meski Menkopolhukam menyatakan bahwa motif dibalik eksekusi Brigadir J, ada unsur yang hanya boleh di konsumsi orang dewasa saja, dan biarkan Polri yang merekonstruksi dan menyampaikan ke Publik.
Sementara masyarakat sudah canggih dan kritis terhadap kasus kejanggalan kematian Brigadir J, tentu saja hal tersebut sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia.
Meski sejenak masyarakat mulai mengerti apa motif dibalik semua itu, mulai dari adanya dugaan skandal, perjudian, jual beli barang haram, perdagangan manusia pun sampai mulai terkuak ke publik, meski belum ada pernyataan resmi dari Kapolri.
Mafia berseragam cokelat harus di adili dengan seadil-adilnya sesuai dengan perbuatan yang sudah dilakukan, karena Marwah Polri sangatlah penting adanya, ketimbang hanya membela segelintir orang di tubuh Polri.
Kini tugas dan tanggung Jawab Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri berserta jajarannya untuk menuntaskan Kasus mafia di tubuh polri hingga bersih, dan menjadi suatu pelajaran bagi kita semua, bahwa peristiwa kematian Brigadir J, yang merupakan tumbal atas keserakan dan kesewenang-wenangan kekuasaan, tidak lagi terjadi di tubuh Polri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H