"Saat ini media sosial sedang digemparkan dengan berita Herry Wirawan, seorang ustadz abal-abal yang telah mencabuli anak di bawah umur menjadi sorotan masyarakat, hingga agama dan pesantren pun sedikit banyak terimbas oleh pelaku atau oknum yang melakukan perbuatan yang tidak manusiawi"Â
Kejahatannya sungguh sangatlah biadab, dengan mengatasnamakan agama sebagai topeng, namun isinya sudah seperti perbuatan hewan.
Namanya adalah ustadz Harry Wirawan, Pemilik pondok tahfidz Al ikhlas, dan boarding School Cibiru, Bandung.
Kejahatan yang terorganisir sejak tahun 2016 hingga tahun 2021, perbuatan kejinya baru terungkap, merupakan fenomena sosial yang harus mendapatkan perhatian banyak pihak.
Pasalnya dengan topeng dan legalitas agama, merupakan upaya kejahatan yang massif dan struktural dengan dalih pembenaran, bahkan di kabarkan korban pencabulan anak di bawah umur itu sudah di nikahi, yakni nikah mut'ah atau kawin kontrak.
Dikutip dari laman kumparan.com, Herry Wirawan kini ditahan di Rutan Kebon Waru Bandung sejak tanggal 1 Juni 2021. Dia didakwa pidana kurungan selama 20 tahun.
Herry Wirawan didakwa Pasal 81 ayat (1), ayat (3) juncto Pasal 76D UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo Pasal 65 KUHP. Pasal ini mengatur tentang kekerasan seksual.
Diketahui Herry Wirawan (36) tahun telah melakukan kejahatan seksual sebanyak 21 santriwati, dan 9 santri di kabarkan telah melahirkan anak, hasil perbuatan sang predator.
Cukupkah 20 tahun penjara bagi sang predator ?
Kejahatan yang dilakukan oleh seorang Herry Wirawan dengan mengatasnamakan agama, rasanya tidaklah cukup, karena perbuatannya yang sadis, jelas sudah tidak bisa di tolerir lagi, bahkan jika Herry di hukum gantung atau pun di hukum rajam misalnya, sepertinya tidak akan mampu menyembuhkan luka anak yang telah menjadi korbannya.
Luka yang di dera santriwati Sampai 21 anak, dan 9 anak melahirkan dengan rata-rata anak yang masih berumur 13 - 17 tahun itu, tidak hanya sebatas kekerasan seksual yang bersifat fisik saja, namun tekanan psikis pada korban akan tetap menjadi luka dan bayang-bayang trauma bagi anak seumur hidupnya.
Modus kejahatan dengan atas nama agama, santriwati sebagai salah satu alat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, dan bayi-bayi yang lahir di anggap sebagai anak yatim, memang merupakan modus yang efektif untuk mencari simpati untuk mendapatkan bantuan dari para dermawan.
Namun fakta yang terjadi sungguh sangatlah mengejutkan, kejahatan terhadap anak dibawah umur, merupakan kejahatan masa depan anak yang tidak bisa di tolerir, sebab hal itu bukanlah khilaf atau perbuatan yang tidak di sengaja.
Jelas bahwa perbuatan Herry Wirawan, merupakan kejahatan yang terorganisir dan dilakukan secara sengaja dan sangatkah disadari, tentu para pihak harus segera turun tangan dan terus melakukan gerakan untuk menyelamatkan masa depan anak.
Sebab hari ini yang bombastis adalah kasus kejahatan perampasan masa depan anak yang dilakukan oleh Herry yang terungkap ke media sosial secara luas, namun sangat mungkin perbuatan yang dilakukan oleh seorang Harry tersebut, juga dilakukan oleh Herry-herry yang lain dengan konsep dan modus yang sama.
Masa depan anak adalah aset bangsa, Jangan biarkan predator merampas kebahagiaan merekaÂ
Anak yang semestinya belajar dengan hikmat di asrama maupun di pondok pesantren, harus menelan pil pahit yang membuat jiwa mereka trauma seumur hidupnya karena diperlakukan tidak manusiawi.
Masa depan yang panjang harus tercoreng dan ternoda oleh perbuatan oknum, sehingga berimbas pondok-pondok pesantren yang terkesan juga ternodai oleh perbuatan satu orang saja.
Fenomena ini tentu harus disikapi oleh para pihak terutama oleh pemerintah, supaya kejadian yang serupa tidak terulang kembali.
Jika memang hukuman mati menjadi sebuah kepantasan terhadap predator seksual anak di bawah umur, mengapa tidak dilakukan, sebab perbuatan yang tidak manusiawi tersebut menjadi ancaman bagi anak-anak yang masa depannya masih cukup panjang.
Cukuplah kasus Herry Wirawan saja yang telah mencoreng agama, pondok pesantren, dan perampasan secara paksa terhadap anak di bawah umur, sehingga kedepannya hal yang serupa tidak terjadi lagi, karena anak adalah masa depan dan aset bangsa yang harus di jaga, dibimbing, diarahkan, dan diayomi, bukan lantas di ekploitasi dan diperlakukan layaknya hewan yang tak berakal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H