Para calon kepala desa yang berkompetisi, dengan segenap jiwa, raga, financial, pikiran, serta variabel lainnya di fokuskan untuk menjadi seorang pemenang, karena itu sangat erat kaitannya dengan harga diri dan eksistensi untuk menjadi seorang pemimpin.
Maka segala macam cara akan cenderung dilakukan, mulai dari yang baik, kurang baik, bahkan jalan suram dan salah pun akan senantiasa dijalani.
Prinsipnya "menang" meski cara yang ditempuh harus mengahalalkan darah saudaranya sendiri.
Begitulah berbagai desas desus yang berkembang di warung-warung kopi di pinggir jalan.
Banyak calon kepala desa yang tidak siap kalah dalam berkompetisiÂ
Salah satu faktor yang menyebabkan chaos, dan terjadinya kerawanan sosial, disamping menjamurnya money politik, adalah faktor calon kepala desa masih belum menyiapkan mental untuk kalah.
Padahal kita ketahui bahwa dalam setiap kompetisi apapun, maka dua hal itu .harus dipersiapkan sejak awal, yakni siap menjadi pemenang sekaligus siap menerima kekalahan.
Akan tetapi fakta dilapangan tidaklah semudah konsep yang telah di ucapkan, sehingga kandidat yang tidak siap kalah, karena sama-sama memiliki banyak pendukung, sehingga pasca dinyatakan kalah pada perhitungan suara, para kandidat yang kalah itu justru memiliki kecenderungan untuk membuat ulah.
Bahkan tidak sedikit dari calon yang kalah masih melakukan gerakan proxy warr, yakni menakut-nakuti masyarakatnya yang tidak mendukung maupun yang tak memilihnya.
Mampukah Negara melaksanakan Pilkades bersih tanpa money politik ?
Kekuatan kapital untuk membeli suara, yang istilahnya di pedesaan adalah "tongket", artinya "satu suara 50 ribu" masih memiliki pengaruh yang sangat kuat.