Dengan dipercaya untuk memimpin atau diamahi kekuasaan oleh rakyat, dengan harapan mampu memberikan yang terbaik dan mensejahterakan rakyat, akhirnya kekuasaan dijadikan sebuah alat untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Mengapa hal tersebut terus terjadi, laksana gurita yang menjadi satu dalam diri manusia yang berkuasa, dengan menggenggam kekuasaan, menjadi lupa akan batas kewenangannya.
Bahwasanya seni akrobatik dalam kancah kekuasaan dengan alat kebijakan, merupakan terbentuknya sistem yang masif, struktural, dinamis, dan kerapkali penguasa berlindung atas nama kebijakan dan aturan, sehingga tidak heran, jika masih cukup banyak pejabat dalam intaian KPK.
Kedua Nilai Kost Politik yang cukup tinggi untuk meraih kekuasaanÂ
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kost politik sangatlah tinggi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Contoh saja, untuk menjadi kepala desa saja, harus mengeluarkan uang dengan nilai yang fantastis, mulai dari puluhan, ratusan, bahkan milyaran rupiah pun harus keluar dari kantong besar para pejabat.
Tingginya kost politik ini, masih menjadi problem yang menggurita, tanpa uang dan modal politik, maka jangan pernah berharap untuk menjadi seorang penguasa, mulai dari level Rukun Tetangga (RT) sampai pada tingkat presiden.
Tidak sedikit dalam akrobatik politik untuk merebut kekuasaan harus menjual harta benda yang dimiliki, bahkan sampai rela berhutang ke bank dengan menggadaikan sertifikat tanah untuk memenuhi ambisinya sebagai penguasa.
Dengan harapan setelah berkuasa bisa menggarong uang negara demi mengembalikan modal dan bayar hutang, serta sebagai alat politik untuk berkuasa pada periode selanjutnya, jika tidak tertangkap oleh KPK, jika sudah tertangkap ya Wassalam.
Kekuasaan Pun Terkesan Sebagai Rutinitas BelakaÂ
Jika niat dan tujuan berkuasa hanya sebagai rutinitas, hobi, dan mencari kekayaan semata, maka jangan pernah berharap banyak dari pemerintah yang demikian adanya.