Di situlah hati DPS mulai bimbang dan ragu, satu sisi ia tidak ingin melepas teman curhatnya, disisi yang lain perjodohan dengan HR terus berlanjut.
Dalam kondisi yang rumit itu DPS sulit menentukan sikap, melepas teman curhatnya ia begitu berat, dan menerima HR, hatinya masih belum ada cinta yang bersemi, meski sudah berulang kali digoda.
Hari-hari terus berlalu, ketika DPS tidak menemukan solusi untuk memutuskan hal itu, teman curhat yang sekaligus menjadi Isi hati DPS, akhirnya dengan lapang dada, bahwa DPS harus berusaha untuk mencintai HR, karena dialah yang mendapatkan restu kedua orang tuanya.
Dan teman curhat DPS itu akhirnya kembali lagi pulang ke kampung halaman dengan membawa hati yang patah berkeping-keping.
Sebelum pulang keberangkatan, DPS pun masih memaksa untuk ikut, dan hendak menikah dengan teman curhatnya dikampung halaman, namun semua dirayu, dinasehati bahwa tanpa restu kedua orang tua, tidaklah mungkin kita bahagia, begitu kira-kira yang di sampaikan pada DPS.
Luka dan air mata adalah bagian dari perjalanan cinta, meski hati sudah saling terpaut, dua jiwa saling mencintai, namun ketika masih belum jodoh yang digariskan, semuanya tinggal sebuah kenangan yang tak terlupakan.
DPS sekarang sudah menjadi mantan yang indah, dan hidup bahagia dengan HR, bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak lepas dari kehendak Tuhan yang maha kuasa.
Dari pengalaman tersebut menjadi kenangan sekaligus pelajaran yang sangat berharga dalam hidup, bahwa cinta adalah kebahagiaan, meski ada luka yang menyesakkan, tak perlu sedih, sedu, sedan itu, karena dalam setiap hati, Tuhan telah menanamkan benih cinta meski tidak harus memiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H