Mohon tunggu...
Faisol
Faisol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Jember - Jawa Timur, Anak ke 2 dari enam bersaudara.

Instagram : akhmadf_21 Twitter : @akhmadf21

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hubungan dengan Tuhan dan Manusia sebagai Fenomena Mengolah Rasa Menjadi Buah Karya

27 Mei 2021   21:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   21:02 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa terjajah, terdiskriminasi, dan diperlakukan tidak manusiawi, menjadikan para pahlawan bangsa memiliki rasa persatuan dan kesatuan untuk merdeka, dibawah tekanan Belanda dan Jepang, ini merupakan fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri.

Kembali lagi dalam konstek rasa, dimana kita dalam hidup dalam kondisi sosial yang memiliki ragam kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. Dalam konstek hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain, menjadikan rasa yang muncul dengan berbagai macam variaannya. 

Rasa benci, rindu, sakit hati, bahagia, derita tiada Tara, dan rasa-rasa yang lain, merupakan fenomena sosial yang lumrah terjadi, bagaimana rasa kita kepada Tuhan? 

Setiap makhluk yang ada dimuka bumi ini, mempunyai sistem keyakinan dan kepercayaan yang juga sangat beragam dalam manifestasinya berTuhan, namun kembali pada hati yang memiliki sistem merasakan, tentu selalu ingin menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah dan pergerakan, karena hubungan manusia dan Tuhan merupakan hubungan yang absolut. 

Manusia dengan kekuatan metafisiknya, ia akan selalu merasakan hadirnya Tuhan dalam setiap helai nafas, sehingga banyak para sufi, seperti Ibnu Arabi, imam Al Ghozali, Jalaluddin Rumi dan para tasawwuf lainnya mampu menghasilkan karya dengan rasa, karena melalui jalur rasa, kita bisa mengenal diri kita sendiri.

Contoh Imam Al Ghozali dengan rasa derita yang di alaminya, beliau mampu menciptakan karya yang sangat fenomenal, Al Ghozali ini menulis kitab Ihya Ulumuddin, ketika beliau dalam situasi di penjara yang penuh derita, namun karyanya cukup fenomenal dan bahkan menjadi rujukan para ulama dimasa kekinian.

Mungkin secara umum orang lebih banyak menginginkan rasa bahagia, tetapi lain halnya dengan para sufi dan pujangga, justru bahagia hanya akan membunuh ide dan kreatifitas, sehingga ada yang mengatakan "Derita adalah duka yang nikmat". Artinya dengan duka lara yang menyayat jiwa, dan rasa pedih itu akan menjadi olahan yang nikmat, untuk di sajikan pada tamu-tamu penikmat rasa.

Barangkali sedikit ulasan tentang hubungan Tuhan dan Manusia sebagai fenomena untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa dilihat, di baca dan di rasa, sehingga racikan rasa dengan bumbu senyum Dan air mata, menjadi racikan yang penuh makna dalam hidup dan kehidupan kita. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun