Apakah akan menjadi persoalan dikemudian hari? Namanya hidup dan kehidupan tidak bisa kita pungkiri pasti akan menuai persoalan, karena memang hidup itu sendiri adalah persoalan yang tidak perlu kita hindari.
Fakto perjodohan sejak dini, merupakan fakta yang tak bisa dielakkan, bahkan perjodohan sejak dini ini, masih tetap berlangsung hingga sekarang, karena hal tersebut merupakan warisan budaya dari para leluhur, meskipun tidak tertulis dalam sebuah kitab.
Selama tidak menyalahi aturan syariat agama, maka perjodohan itu sah-sah saja, mulai dari tunangan sejak dini, bahkan sampai menikah di usia belia, karena bagi masyarakat Madura, terpenting tidak menyalahi syariat agama dan adat yang berkembang, serta di lestarikan.
3. Perjodohan sebagai salah satu warisan secara turun temurun.
Meski saat ini sudah masuk era modern, karena perjodohan merupakan warisan yang masih melekat, tentu saja hal itu masih tetap dilaksanakan, meski terkadang ada banyak yang menuai kekecewaan, karena perjodohan harus berakhir di meja hijau.
Seperti mata rantai yang tiada putusnya, mulai dari kakek-nenek, Bapak-ibu, sampai pada putra putri mereka masih banyak kategori menikah dengan hasil perjodohan atau hasil dari kesepakatan orang tua mereka, meski saudara kandung, bisa saja menjadi besan.
4. Perjodohan sebagai control diri untuk melakukan kemaksiatanÂ
Barangkali alasan yang cukup mendasar adanya perjodohan yang di lakukan oleh masyarakat pulau garam ini, tidak lain adalah salah satu cara untuk menghindari kemaksiatan dan perzinahan.
Bahkan anak-anak Madura terutama perempuan, masih banyak yang sudah menikah Sirri, meski mereka masih di bilang dibawah umur, karena bagi mereka menjaga kemaksiatan, jauh lebih penting, ketimbang sudah terjadi perzinahan.
5. Perjodohan untuk menjaga harkat dan martabat keluargaÂ
Ada pepatah yang mengatakan "lebih baik putih tulang dari pada putih mata", artinya lebih baik mati dari pada harus menanggung malu.
Masyarakat pulau garam ini memang sangat menjunjung tinggi harga dan martabatnya, bahkan mereka rela melepaskan nyawanya, ketimbang harga diri dilecehkan.
Barangkali hal tersebut juga menjadi salah satu alasan dari prosesi perjodohan, bahkan perjodohan itu sudah dilakukan sejak anak-anak mereka masih balita, dengan tujuan dan harapan tidak lagi dilirik oleh siapapun, karena sudah ada yang punya.
Mungkin saja di daerah luar pulau garam hal tersebut masih tabu untuk dilakukan, tapi tidak bagi masyarakat Madura yang memang merupakan adat istiadat yang sudah turun temurun.