Mohon tunggu...
Akhmad Basori
Akhmad Basori Mohon Tunggu... -

Direktur JOSS Leadership Center Supervisor Beasiswa Aktivis Dompet Dhuafa Kandidat Master Strategic Leadership Pascasarjana Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akomodatif VS Integrity

11 Juni 2012   17:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:06 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Integrity Style

Mencoba keluar dari vicious circle ini, presiden bisa berkaca diri. Boleh jadi kalangan yang mengkritik wamen ini tentang pemborosan anggaran memang benar adanya. Presiden juga harus berani mengakui jika salah. Bilamana wamen itu malah memperunyam masalah. Entah dari sisi konstitusi, fungsi, atau posisinya yang masih simpang siur antara jabatan karier atau kabinet.

Presiden yang sering menekankan hidup sederhana, tidak boros, dan menjunjung profesionalitas, harusnya juga diterapkan di inner circle-nya. Termasuk dalam hal ini  adalah kabinet yang hak sepenuhnya ada di tangan Presiden (termasuk wamen). Kabinet yang ramping, tidak memboroskan anggatan dan diisi oleh orang-orang yang capable dengan sendirinya membuat integritas presiden naik. Namun jika sebaliknya, maka akan kontradiktif dan membuat nilai integritasnya turun.

Integritas style disini dalam bahasan singkatnya adalah satunya kata dan perbuatan. Boleh jadi ujiannya adalah apa yang diputuskan presiden akan banyak dicemooh, dikritik, dicaci karena tidak populer. Tapi yakinlah itu hanya sementara. Selama presiden yakin dengan apa yang diputuskan dan tetap dipegang teguh dengan segala risikonya sampai terwujud nyata, maka disitulah pelan-pelan integritasnya akan terbangun. Hal ini memang butuh waktu dan bukan proses instan.

Integrity style untuk presiden saat ini lebih cocok dari akomodatif melihat situasi yang ada. Rakyat yang jenuh, DPR yang sering mengeluh, dan juga pencitraan negatif dari media yang sudah penuh, seakan menjadi pertanda bahwa presiden harus bisa menjelaskan dengan tegas bukan dengan kata-kata tetapi dengan tindakan nyata berupa kebijakan-kebijakan yang mengena. Jangan sampai rakyat mudah berprasangka dan kemudian presiden ngambek dan jengah.

Speak Up

Sekarang, momen wamen ini bisa menjadi sarana presiden untuk belajar komen. Komen yang cerdas, komen yang bertanggung jawab, dan komen yang berani meminta maaf jika memang benar-benar salah. Jangan sampai Indonesia yang dari dulu terkenal sebagai bangsa besar yang berjiwa besar ini dipimpin oleh orang yang tidak cerdas, suka lari dari tanggung jawab, dan susah meminta maaf.

Sekarang juga saatnya presiden untuk belajar lebih berani menjadi orang yang memiliki high integrity dengan banyak mendengar suara hati. Bukan hati bimbang dan ragu-ragu karena mengakomodasi kepentingan sana-sini yang berujung membuatnya jadi tidak percaya diri dengan keputusannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun