Small is beautifull
Dulu, pas pertama kali masuk S1 FEUI 2004, kuliah perdana yang dibawakan oleh dosen senior yang terngiang sampai sekarang adalah “small is beautifull”. Saat itu pembahasan lebih berfokus bagaimana resizing organization akan dapat meciptakan efisiensi dan efektifitas. Ternyata untuk KIB II (Kabinet Indonesia Bersatu) saat ini malah tidak berlaku. Jumlah pos menteri semakin gendut dengan jabatan pos wakil menteri yang seakan diobral.
Wamen, sebuah polemik dan pro kontra. Karena kehadirannya yang tiba-tiba dijatah separo lebih dari jumlah menteri (20 dari 34 menteri mempunyai wakil). Jumlah yang belum ada sebelumnya. Apalagi mereka itu rata-rata profesional yang seakan membentuk zaken kabinet. Padahal yang ada hanyalah zaken kabinet yang semu dikarenakan pos utama menteri masih berisi orang-orang partai yang kadang masih diragukan kapabilitasnya (survey LSI 2011 menyatakan 44,7% tidak puas dengan kinerja KIB II).
Fenomena ini tidak terlepas dari leadership style Presiden sendiri yang memilih gaya akomodatif dalam menanggapi situasi saat ini. Semua ingin disenangkan, semua ingin dirangkul, semua ingin diperhatikan padahal itu tidaklah mungkin bisa. Lincoln pernah berujar, “you can’t please all of the people of the time.”
Accomodatif Style
Pakar ilmu pemerintahan dari IPDN, I Nyoman Sumaryadi (2009) jauh hari sudah menyarakan agar Presiden mendorong terciptanya postur pemerintahan yang ramping dan efektif dengan membuat struktur kabinet yang ramping. Titik fokusnya dengan maksimalisasi peran pejabat teknis seperti dirjen yang akan melibatkan banyak kalangan teknokrat, akademisi, dan profesional yang berkompeten di bidangnya. Bukannya dengan menambah jabatan wamen.
Hal ini harus serius diperhatikan mengingat jumlah menteri dalam KIB II sudah terhitung banyak. Bandingkan dengan Malaysia (27 menteri), Thailand (19 menteri), dan rata-rata negara Asia yang hanya 24. Bahkan, negara maju yang permasalahannya lebih kompleks malah menterinya lebih sedikit (rata-rata negara Organization for Economic and Development / OECD hanya 15)
Presiden harusnya berani act out of the box sedari awal. Mengingat jumlah menteri semenjak Orde Baru trend¬-nya berkisar 30-40 menteri dan terus dilanjutkan. Maka catatan ke depan, siapapun presidennya harus berani melakukan penyederhanaan walaupun jalan likuidasi harus diambil sebagai breaktrough. Inipun butuh keberanian ekstra mengingat resistensi dari parpol yang sudah mengkapling beberapa pos kementrian. Sebenarnya juga bukan hal yang sulit karena mantan presiden Gus Dur pernah membubarkan dua pos menteri (Depsos dan Deppen).
Style presiden yang ingin mengakomodasi ini justru menjadi sumber masalah serius. Seringkali untuk melakukan apapun, presiden terlalu lama wait and see. Akibatnya, kebijakan terkesan setengah-setengah dan banci. Bahkan beberapa akhirnya berlarut-larut dan batal terjadi.
Meskipun style ini punya sisi kelebihan namun harus segera dikoreksi. Karena style yang membuat posisi nyaman ini jika dianut berlebihan bisa menciptakan banyak masalah. Seperti diketahui, style ini seringkali menunda keputusan dengan membuat komisi-komisi untuk menyelesaikan permasalah. Dan parahnya, kadang komisi ini tumpang tindih dan seperti macam ompong yang terbatas power-nya. Karena ujung-ujungnya, Presiden lagi yang menjadi penentu akhir dan ini artinya sebuah kelambatan keputusan.
Takutnya akan terjadi untuk kasus wamen juga. Pengangkatan wamen yang serentak untuk 13 kementrian yang sebelumnya sudah ada di 7 kementrian bisa jadi akan diturunkan serentak pula. Padahal sangat disayangkan mengingat mereka adalah orang-orang yang competence dan boleh jadi merekalah the real minister jika menterinya memang benar-benar tidak capable.