Sebagai mahasiswa di Jogja, apalagi yang setiap hari lewat Jalan Laksda Adi Sucipto, tentu tidak asing dengan papan nama baru yang mencolok di kawasan Papringan, dekat pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ya, Rumah Makan Padang Payakumbuah milik Arief Muhammad akhirnya membuka cabang di Jogja!
Lokasinya cukup strategis, tepatnya di Jalan Laksda Adi Sucipto No. 178 Kav. 7-8, Papringan, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY. Kalau masih bingung, itu loh, pertigaan dekat kampus saya, UIN Sunan Kalijaga. Setiap hari saya lewat situ, dan papan nama restoran itu selalu sukses bikin saya kepikiran dua hal, "Wah, pengin coba makan di sana nih" dan "Eh, harga es teh Rp10 ribu? Mending skip dulu deh." Sebagai mahasiswa, saya memang masih setia dengan prinsip kaum mendang-mending. Ya, mending makan di warung nasi ayam Pring Ori atau RM Padang langganan saya, seperti Duta Minang, Sederhana, atau Al Razzaq. "Yang penting kenyang," begitu prinsip saya dan dompet saya.
Apa yang Membuat RM Payakumbuah Begitu Istimewa?
Faktanya, nama Rumah Makan Padang Payakumbuah milik Arief Muhammad sudah sangat terkenal di kalangan pecinta kuliner, terutama pecinta masakan Padang. Dengan branding yang kuat dan tampilan modern, restoran ini sukses menarik perhatian, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Tapi apakah branding saja cukup untuk membuat restoran Padang ini sukses di Jogja? Mari kita bahas.
Jogja dikenal sebagai kota dengan biaya hidup murah. Bahkan, statusnya sebagai "kota mahasiswa" membuat harga makanan di sini bersaing ketat. UMR Jogja saja masih di bawah Rp3 juta. Lalu, apakah wajar restoran dengan harga fancy entry-level buka di sini? Apakah Jogja sudah siap untuk menerima restoran Padang yang harga es tehnya saja Rp10 ribu? Kenyataannya, tetap ada pasar untuk restoran seperti ini. Setiap kali saya lewat, selalu ada mobil-mobil terparkir rapi di depan RM Padang Payakumbuah. Tapi ya memang, yang makan di sana kebanyakan "kaum bermobil".
Mengintip, Tapi Belum Berani Masuk
Sebagai mahasiswa yang sudah sangat akrab dengan aroma rendang dan gulai (meskipun yang murahan atau abal-abal), saya tentu penasaran. Tapi keinginan saya selalu kalah dengan realita isi dompet. Bayangkan, harga satu lauk di sana bisa setara dengan tiga porsi di warung Padang langganan saya. Teman saya yang orang asli Jogja bahkan berkomentar, "Wes toh, Jogja RM Padang Sederhana, Duta Minang, Padang Giwangan, Padang Andalas saja cukup."
Bagi saya, ini bukan hanya soal harga, tapi juga ironi. Ketika banyak mahasiswa seperti saya sibuk mencari paket hemat, restoran seperti Payakumbuah hadir dengan percaya diri, yakin bahwa Jogja punya pasar yang cocok untuk mereka. Apakah karena branding saja? Ataukah mereka benar-benar menawarkan sesuatu yang berbeda? Belum tahu, karena saya belum mencobanya. Mungkin kalau ada diskon mahasiswa, baru saya mampir.
Rego Nggowo Rupo, Semua Ada Segmennya
Dalam dunia kuliner, pepatah "rego nggowo rupo" (harga sesuai kualitas) memang selalu berlaku. RM Padang Payakumbuah menawarkan pengalaman makan masakan Padang dengan sentuhan modern, mulai dari suasana tempat, branding yang apik, hingga presentasi makanannya. Tentu, ini berbeda dengan RM Padang konvensional yang mengedepankan harga murah dan porsi besar.
Tapi, seperti kata teman saya, "Jogja itu sederhana. Orang Jogja kalau makan di warung Padang ya yang biasa-biasa saja." Namun, harus diakui, kehadiran restoran seperti ini memberikan warna baru dalam dunia kuliner Jogja. Jogja tidak lagi sekadar kota gudeg dan angkringan, tapi juga menjadi panggung untuk restoran berkonsep kekinian.
Apakah Payakumbuah Hanya Menang Branding?
Sebenarnya tidak salah jika restoran seperti Payakumbuah mengandalkan branding. Branding adalah senjata utama mereka untuk menarik pelanggan baru. Tapi, tentu saja, semua kembali ke selera dan daya beli masing-masing. Yang suka makan di sana, ya silakan. Yang merasa keberatan dengan harganya, ya cari opsi lain. Jogja punya banyak sekali pilihan warung Padang dengan harga ramah kantong. Lagipula, di dunia bisnis, setiap produk punya segmen pasarnya sendiri. Tidak perlu iri atau kesal. Kalau tidak cocok, ya skip saja. Seperti kata pepatah modern, "Bukan salah restorannya kalau harga nggak cocok sama kantongmu."
Jogja, Kota Semua Kemungkinan
Kehadiran RM Padang Payakumbuah di Jogja memang menarik untuk diamati. Di satu sisi, ini membuktikan bahwa Jogja terus berkembang menjadi kota dengan daya tarik kuliner yang semakin variatif. Di sisi lain, ini menjadi pengingat bahwa Jogja tetaplah Jogja. Meski restoran fancy mulai bermunculan, warung makan murah meriah tetap menjadi pilihan utama mayoritas warganya.
Jadi, apakah saya akan mencoba makan di Payakumbuah? Mungkin suatu saat, ketika saya merasa ingin menghadiahi diri sendiri (self reward) setelah selesai skripsi. Untuk sekarang, biarkan dulu restoran itu jadi tempat makan para "kaum bermobil". Saya akan tetap setia dengan warung Padang langganan yang lebih bersahabat dengan dompet mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H