Kenapa Warung Kopi Cetol Tetap Bertahan?
Ada banyak alasan. Pertama, lokasinya strategis dan mudah diakses. Kedua, layanan "unik" yang ditawarkan jelas menjadi daya tarik utama. Ketiga, aturan tidak memakai pakaian seksi yang terlalu mencolok membuat warung ini tampak seperti warung kopi biasa bagi masyarakat awam. Bahkan keberadaan masjid di depannya tak cukup untuk memunculkan resistensi yang berarti. Viral di TikTok? Itu hanya bonus. Fenomena ini juga menjadi cerminan bagaimana bisnis semacam ini bisa bertahan dalam sistem sosial kita. Dengan harga kopi yang murah dan layanan tambahan yang dianggap "ramah kantong," warung ini berhasil memikat berbagai kalangan, dari pekerja hingga pelajar.
Fenomena Warung Kopi Cetol bukan hanya soal kopi atau layanan plus-plus. Ini adalah gambaran dari bagaimana nilai-nilai moral, tekanan ekonomi, dan pengaruh media sosial berinteraksi dalam satu ruang yang kecil. Jika pemerintah setempat tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin warung seperti ini akan berkembang lebih banyak di daerah lain.
Bagi masyarakat, fenomena ini seharusnya menjadi alarm untuk lebih peka terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Bukankah kita punya tanggung jawab bersama untuk menjaga ruang publik tetap sehat dan bermartabat? Sementara itu, untuk pelajar yang menjadi pelanggan setia, mungkin ini saatnya kita bertanya, apa yang salah dengan sistem pendidikan dan pengawasan kita?
Warung Kopi Cetol Gondanglegi bukan hanya tentang secangkir kopi murah. Ini adalah cerminan kompleksitas sosial yang kita hadapi hari ini. Di satu sisi, kita bisa memuji kreativitas bisnisnya. Di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa ada sesuatu yang salah ketika warung kopi berubah menjadi ladang eksploitasi moral. Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab? Anda, saya, atau kita semua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H