Mohon tunggu...
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah AI

“Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli”

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Culture Shock Soto Jogja: dari Perdebatan Ini Soto atau Sop, hingga Menu Sarapan atau Makan Malam?

13 Desember 2024   18:23 Diperbarui: 13 Desember 2024   18:23 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soto (Sumber: https://pin.it/1D7IFYgEs / https://id.pinterest.com/halimazahraaa/)

Sebagai perantau yang sedang menimba ilmu di Jogja, saya sudah cukup terbiasa dengan segala budaya dan keunikan daerah ini. Tapi, soal makanan, ada satu hal yang bikin saya terdiam sejenak sambil bertanya dalam hati, "Ini serius?" Dan itu adalah soto. Lebih tepatnya, Soto Jogja. Saya bukan pakar kuliner, tapi sebagai manusia biasa yang cukup sering makan soto di daerah asal (Kebumen), rasanya wajar jika saya merasa ada yang "aneh" saat pertama kali menikmati soto Jogja. Dari luar memang terlihat seperti soto pada umumnya, mulai dari ada suwiran ayam, tauge, daun bawang, kuah panas, serta beberapa tambahan lain. Tapi begitu suapan pertama masuk, pikiran saya langsung penuh dengan tanda tanya besar. Kenapa begini?

1. Nasi Dicampur, Kok Nggak Dipisah?

Pertanyaan pertama saya adalah, "Kenapa nasinya langsung dicampur di mangkok?" Di kampung halaman saya, kebiasaan memisahkan nasi dari kuah seakan seperti harga mati. Tapi di Jogja, mereka menyajikan nasi di dalam mangkok, terendam dan basah kuyup oleh kuah beningnya. Awalnya, saya merasa seperti makan bubur yang gagal. Tapi setelah beberapa suapan, saya mulai memahami, mungkin ini strategi untuk menghemat tempat, biar nggak banyak piring kotor. Namun, sebagai orang luar daerah, saya tetap merasa ini langkah yang cukup revolusioner. Kalau di Kebumen, nasi yang terendam kuah seperti ini biasanya disebut soto banjir, alias soto dengan kuah ekstra banyak, bukan standar penyajian. Tapi di Jogja? Ya inilah standarnya.

2. Kuahnya Bening, Itu Soto atau Sop?

Nah, ini yang bikin saya makin bingung. Di Jogja, sotonya kuahnya bening banget. Kalau dilihat sekilas, saya hampir salah sangka, "Ini sop ayam, bukan?" Di daerah lain, terutama di Kebumen, soto sering punya kuah yang lebih kental karena tambahan bumbu seperti kunyit atau santan. Bahkan di daerah seperti Lamongan, Semarang, atau Pekalongan, soto bisa punya rasa yang lebih tajam karena kuahnya diperkaya dengan koya atau bahkan sambal kacang. Tapi Jogja? Kuahnya seakan bilang, "Santai, Bro. Nggak usah terlalu ribet." Rasanya ringan, nggak terlalu banyak rempah yang menonjol. Mungkin ini cerminan kepribadian orang Jogja yang dikenal kalem dan nggak suka yang berlebihan.

3. Lontong dan Kupat? Ahh Lupakan Saja

Kalau di daerah-daerah lain seperti daerah asal saya Kebumen, serta Solo atau Cirebon, soto sering disajikan dengan lontong atau kupat, namun biasanya warung-warung soto yang ada tersebut juga menyediakan nasi bagi yang ingin pakai nasi. Tidak langsung dicampur dengan sotonya, pilihan lontong, kupat, atau nasi bisa dipilih untuk melengkapi soto, bisa dipisah atau langsung dicampur, sebenarnya di Jogja warung-warung soto juga sudah memberikan pilihan untuk langsung dicampur atau dipisah, namun itupun kalau anda inisiatif request atau memang biasanya ditanya dulu, serta memang sudah tertulis di menu.  Tapi di Jogja, jangan harap menemukan soto yang menyediakan lontong atau kupat, kecuali kamu eksplisit minta atau datang ke warung yang spesifik menyediakannya. Di sini, nasi adalah raja. Dan meski nasi itu dimasukkan langsung ke dalam kuah (seperti yang sudah saya bahas di poin pertama), ya tetap nasi itu menjadi bagian yang tak terpisahkan.

4. Sambal Kacang? Nggak Ada, Mas

Di daerah tertentu seperti Kebumen, Tegal atau Pekalongan, soto sering disajikan dengan sambal kacang yang memberikan sensasi gurih manis pedas. Biasanya, sambal ini bahkan sudah bercampur dengan kerupuk sehingga langsung tersedia sebagai satu paket komplet bersama kerupuk sebagai pelengkap. Tapi di Jogja? Sambal kacang itu seperti mitos. Di sini, sambal hanya sambal biasa yang pedas. Tidak ada elemen kacang-kacangan yang bikin lidah bergoyang ala soto daerah lain. Lagi-lagi, mungkin ini cerminan kesederhanaan Jogja yang lebih mengutamakan rasa asli daripada eksperimen yang terlalu ribet. Tapi bagi saya yang suka sambal kacang? Agak sedih.

5. Tehnya yang Manis Banget

Soto Jogja tidak bisa berdiri sendiri. Ia selalu datang bersama teh manis yang legitnya bikin kaget. Kalau di tempat lain, teh manis biasanya hanya sekadar manis. Tapi di Jogja, rasanya seperti air gula dengan tambahan teh. Saya sampai mikir, ini teh atau jus gula? Saking manisnya, saya sering merasa teh ini lebih cocok jadi dessert ketimbang pendamping makanan utama. Namun, setelah beberapa kali makan, saya mulai memahami kenapa teh Jogja begitu manis. Mungkin ini adalah cara mereka untuk memberikan pelipur lara setelah makan soto yang kuahnya too basic to be true. Jadi, ada semacam harmoni antara soto yang ringan dan teh yang "berat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun