Mohon tunggu...
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah AI

“Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli”

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Tomira, Culture Shock di Tengah Perjalanan Kebumen-Jogja

23 November 2024   22:56 Diperbarui: 26 November 2024   15:39 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbelanja di Tomira, Toko Milik Rakyat | SHUTTERSTOCK.com/THAMKC via Kompas.com

Sebagai perantau dari Kebumen yang kuliah di Jogja, perjalanan bolak-balik Kebumen-Jogja sudah seperti ritual wajib yang tidak bisa dihindari. Setidaknya sebulan sekali atau asal ada libur, saya melintasi jalanan yang membentang dari barat ke timur, melewati ring road, jalanan mulus, jalanan kurang mulus, hingga melintasi Kulon Progo. Nah, kalau sudah sampai Kulon Progo, ada satu hal yang selalu bikin saya culture shock, yaitu tidak ada Alfamart atau Indomaret!

Iya, coba saja perhatikan. Saat daerah lain penuh plang biru-merah atau hijau-merah yang menjamur di setiap samping kanan kiri jalan, Kulon Progo punya sistem yang beda banget. 

Di sana, mini marketnya bernama Tomira, singkatan dari Toko Milik Rakyat. Awalnya saya pikir ini proyek unik ala pemerintah daerah yang benar-benar memberdayakan UMKM lokal. Tapi, setelah saya usut-usut (rasan-rasan), ternyata ceritanya nggak seindah itu.

Apa Itu Tomira?

Tomira adalah hasil dari kebijakan Bupati Kulon Progo kala itu, Dr. Hasto Wardoyo. Tujuannya mulia, melindungi pelaku UKM lokal dari persaingan berat dengan toko modern berjejaring seperti Alfamart dan Indomaret. Supaya toko kelontong masyarakat tetap hidup, setiap mini market yang jaraknya kurang dari 100-500 meter dari pasar tradisional (koreksi kalau salah) diwajibkan bertransformasi menjadi Tomira.

Tomira, Toko Milik Rakyat | Sumber: menpan.go.id
Tomira, Toko Milik Rakyat | Sumber: menpan.go.id

Tomira ini ibarat "Alfamart rasa rakyat." Di luar, plangnya jelas beda, tanpa logo perusahaan besar yang mencolok. Di dalamnya, barang-barang UMKM lokal ikut dijual, melengkapi produk-produk standar toko modern. Sistem manajemennya? Kerja sama dengan Koperasi Unit Desa setempat. Ide ini terdengar idealis, bahkan visioner, setidaknya di atas kertas.

Realitas di Lapangan

Nah, pas saya mampir ke Tomira untuk beli minuman dingin karena haus setelah perjalanan jauh, saya jadi tahu realitanya. Meski disebut Toko Milik Rakyat, mayoritas barang yang dijual tetap saja produk-produk mainstream dari perusahaan besar. Produk UMKM lokal? Ada, tapi sekadar pemanis etalase.

Tomira pun tak luput dari kritik. Banyak masyarakat Kulon Progo yang menganggap konsep ini hanya "akal-akalan branding." Dengan alasan melindungi UKM, sebenarnya keberadaan Tomira malah dianggap mematikan toko kelontong kecil. Warung-warung tradisional sulit bersaing karena toh Tomira tetap menawarkan kenyamanan toko modern, seperti AC dingin, rak barang yang tertata rapi, dan akses parkir luas. Kalau sudah begini, siapa yang mau repot-repot ke warung kecil di pojok kampung?

Tomira: Toko Milik Rakyat atau Pejabat?

Timbul pertanyaan besar, apakah Tomira benar-benar milik rakyat? Atau hanya proyek yang terlihat ramah UKM tapi sebenarnya hanya memberikan nama baru pada Alfamart dan Indomaret? Faktanya, Tomira tetap bekerja sama dengan dua raksasa minimarket tersebut. Jadi, kalau Anda melihat Tomira, sebenarnya itu adalah Alfamart atau Indomaret yang "berganti kostum."

Meski ada niat baik di balik kebijakan ini, dampaknya ternyata tidak semanis slogannya. Banyak yang merasa Tomira lebih mirip Toko Milik Pejabat daripada Toko Milik Rakyat. Bukan karena ada korupsi atau semacamnya, tapi karena keberadaannya justru dianggap lebih menguntungkan pihak besar ketimbang benar-benar memberdayakan rakyat kecil.

Culture Shock di Tengah Perjalanan

Buat saya, Tomira ini jadi semacam kejutan budaya. Di Kebumen, Alfamart dan Indomaret adalah raja jalanan. Di Jogja, mereka ibarat pasangan sejoli yang selalu ada di setiap lampu merah. Tapi di Kulon Progo, mereka menghilang seperti ditelan bumi, digantikan oleh Tomira.

Namun, di balik semua itu, Tomira adalah pengingat bahwa tidak semua daerah harus mengikuti arus kapitalisme yang sama. Kulon Progo mencoba melawan, meskipun perjuangan ini tak sepenuhnya mulus.

Pelajaran dari Tomira

Perjalanan saya melintasi Kulon Progo selalu memberi banyak pelajaran. Salah satunya, tentang pentingnya melindungi produk lokal dan tradisional di tengah gempuran pasar modern. Meski Tomira bukan solusi sempurna, ide ini tetap mengajarkan bahwa perubahan harus dimulai dari langkah kecil.

Di sisi lain, masyarakat juga butuh lebih dari sekadar simbol. Kalau memang ingin memberdayakan UKM, perlu kebijakan yang lebih konkret, misalnya memberikan ruang lebih luas untuk produk lokal atau mengatur harga supaya lebih kompetitif.

Jadi, kalau suatu hari nanti anda melewati Kulon Progo dan merasa heran karena tidak menemukan Alfamart atau Indomaret, jangan bingung. Singgahlah di Tomira. Nikmati culture shock-nya, sambil belajar sedikit tentang bagaimana sebuah kabupaten kecil mencoba mempertahankan identitas di tengah dunia yang semakin seragam.

Artikel ini adalah hasil perjalanan bolak-balik Kebumen-Jogja dengan sedikit banyak lamunan di tengah jalan. Kalau Anda punya cerita serupa, silakan berbagi di kolom komentar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun