Di pelosok Kebumen, tepatnya di Desa Penimbun Kecamatan Karanggayam, tersembunyi sebuah tradisi unik yang mungkin membuat Anda bertanya-tanya, mengapa para penduduk di sini pantang berjualan nasi? Tak ada aturan tertulis, namun pantangan ini tetap dipatuhi oleh warga setempat. Apa sebenarnya alasan di balik larangan ini, dan bagaimana desa ini bertahan dalam tradisi yang mungkin bagi kita tampak tak biasa?
Apa dan Mengapa Ada Larangan Berjualan Nasi di Desa Penimbun?
Desa Penimbun memiliki kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi, warganya dilarang keras berjualan nasi. Menurut Budi, seorang teman saat SMK asal desa ini, pantangan ini bermula dari cerita seorang musafir yang pernah melintasi Penimbun. Konon, musafir tersebut meminta nasi kepada warga desa saat kelaparan. Namun, warga yang pada saat itu juga tengah mengalami kesulitan pangan, tak ada yang memberinya nasi. Sang musafir kemudian mengucapkan semacam “kutukan” bahwa siapa pun yang berani menjual nasi di desa ini akan mendatangkan musibah bagi diri dan desa tersebut.
Kisah ini terus berkembang dan turun temurun dalam kehidupan warga Desa Penimbun dari generasi ke generasi. Kepercayaan tentang musibah yang akan datang jika ada yang melanggar larangan menjual nasi menjadi semacam mitos turun-temurun yang terus dijaga. Tak ada warga yang berani melanggarnya, karena ada beberapa peristiwa yang pernah terjadi memperkuat kepercayaan tersebut.
Siapa yang Menjalankan dan Mempertahankan Larangan Ini?
Seluruh warga Desa Penimbun tampaknya turut memegang teguh tradisi ini, meskipun tak ada aturan tertulis yang mengatur mereka. Tidak ada aparatur desa atau aturan resmi yang mengharuskan warga menaati pantangan ini, namun mereka menjalankan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan pada leluhur. Bahkan saat beberapa orang dari luar desa bertanya tentang aturan ini, warga tak punya jawaban lain selain “ini sudah adat”. Bagi warga asli seperti Budi, pantangan ini merupakan bagian dari identitas mereka, warisan yang tetap dihargai meski era sudah berganti.
Di Mana dan Kapan Terjadinya Peristiwa yang Menguatkan Larangan Ini?
Di masa lalu, pernah ada warga desa yang mencoba melanggar pantangan ini. Adapun cerita bahwa ada warga yang mencoba peruntungannya dengan berjualan nasi. Tak lama setelah membuka usaha itu, kabar duka datang, warga yang melanggar pantangan tersebut dikabarkan meninggal dunia. Meskipun peristiwa itu mungkin kebetulan belaka, kejadian tersebut malah semakin memperkuat kepercayaan bahwa pantangan ini tak bisa dilanggar begitu saja. Sebagai gantinya, warga memilih patuh tanpa mempertanyakan alasan di baliknya.
Bagaimana dengan Jenis Olahan Beras Lainnya?
Menariknya, meskipun ada larangan keras untuk berjualan nasi, penduduk Desa Penimbun masih diperbolehkan menjual ketupat atau lontong, meskipun bahan dasarnya sama-sama dari beras. Hal ini, menurut masyarakat setempat, disebabkan oleh perbedaan nama dan bentuk penyajian makanan. Larangan hanya berlaku untuk “nasi” saja, baik itu nasi putih biasa, nasi uduk, nasi goreng, ataupun olahan lain yang mengandung unsur kata “nasi”. Sementara itu, lontong dan ketupat, yang memang disebut dengan nama berbeda, dianggap sebagai pengecualian. Suatu hal yang menarik tentunya dibalik pantangan yang ketat.
Bagaimana Cara Warga Memenuhi Kebutuhan Nasi?
Meski ada pantangan, warga tidak kekurangan nasi di meja makan mereka. Yang dilarang adalah berjualan nasi, tetapi memberikan atau berbagi nasi secara cuma-cuma diperbolehkan. Misalnya, jika Anda mampir ke warung makan di Desa Penimbun, Anda mungkin akan diberi nasi secara cuma-Cuma, meski Anda bersikeras membayarnya, penjual tetap takkan menerima uang untuk hidangan nasi tersebut. Mereka lebih memilih mematuhi pantangan ketimbang mengambil risiko yang dianggap bisa memicu musibah bagi diri sendiri dan juga bagi desa.
Tradisi di Tengah Arus Modernisasi
Tradisi dan kepercayaan di Desa Penimbun adalah contoh bagaimana warisan budaya lokal tetap dijaga di tengah arus modernisasi yang terus berkembang pesat. Meskipun pantangan ini mungkin tak memiliki alasan logis yang jelas, bagi warga Desa Penimbun, mematuhi tradisi adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur. Larangan ini menjadi bagian dari identitas mereka yang tak bisa begitu saja diabaikan.
Dalam sudut pandang yang lebih luas, tradisi unik seperti ini bukan hanya menunjukkan sisi misterius suatu tempat, namun juga membuktikan betapa kuatnya pengaruh budaya dan kepercayaan lokal terhadap pola pikir serta gaya hidup masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H