Sebagai mahasiswa semester tiga, saya pikir sudah mulai memahami alur dunia perkuliahan. Namun, mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif (Metopen) mengajarkan saya sebaliknya. Alih-alih mempelajari metodologi penelitian secara mendalam, saya malah terjebak dalam kekacauan akibat dua dosen yang memiliki pandangan, cara menjelaskan, dan penilaian yang berbeda.
Siapa yang Menyangka Metopen Bisa Serumit Ini? Metopen Rumit Banget Men!
Sejak awal, saya sudah memperkirakan bahwa Metopen kuantitatif akan menjadi mata kuliah yang menantang serta sulit di semester ini. Alasannya jelas, memahami metode penelitian memerlukan pemahaman yang mendalam, terutama di aspek-aspek seperti menentukan landasan teori, menentukan variabel, teknik pengumpulan data, dan analisis penelitian. Ini bukan materi yang bisa dikuasai hanya dalam waktu singkat. Tetapi, kesulitan terbesar bukanlah hanya dari materi itu sendiri, melainkan perbedaan antara dua dosen yang mengajar mata kuliah ini.
Dua Dosen, Dua Pendekatan, dan Kebingungan di Satu Mata Kuliah
Di sinilah masalah sebenarnya dimulai. Mata kuliah Metopen kuantitatif diajarkan oleh dua dosen yang memiliki gaya mengajar berbeda. Dosen pertama cenderung sangat teknis dan detail, sedangkan dosen kedua lebih santai, sering menggunakan analogi sederhana untuk menjelaskan konsep yang sulit. Secara teori, variasi metode pengajaran bisa menguntungkan. Namun, dalam praktiknya, perbedaan ini malah memunculkan kebingungan. Misalnya, ketika menentukan judul untuk tugas penyusunan proposal serta selanjutnya yaitu pembuatan artikel ilmiah, satu dosen menerima apa yang sudah saya dan kelompok saya tentukan, sementara dosen lain menyatakan apa yang telah kelompok saya tentukan tidak diterima. Kami, sebagai mahasiswa, merasa terjebak di antara pandangan yang berlawanan, yang mana penilaian terhadap tugas menjadi berbeda. Saya pernah merasa yakin sudah mengikuti instruksi dosen pertama, hanya untuk kemudian mendapat kritik dari dosen kedua karena dianggap keliru.
Mengapa Harus Ada Perbedaan?
Perbedaan ini menjadi tantangan terbesar dalam mengikuti mata kuliah ini. Pandangan dan penilaian yang tidak selaras membuat kami merasa seperti bermain di dua lapangan dengan aturan yang sama sekali berbeda. Bagi mahasiswa yang membutuhkan kepastian dan bimbingan, situasi ini sangat menguras energi.
Contohnya, ketika menyusun proposal penelitian, dosen pertama memberikan panduan yang sangat rinci mengenai struktur proposal, dari latar belakang hingga metodologi. Namun, ketika hasil apa yang kami sudah tentukan ini kami ajukan ke dosen kedua, kami malah dikritik. Kebingungan semacam ini akan sering kali terjadi. Lalu, sebagai mahasiswa, apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini? Apakah sebaiknya kami mengikuti satu dosen dan mengabaikan yang lain, atau mencoba menggabungkan dua pendekatan yang tampak saling bertentangan?
Apa yang Harus Dilakukan?
Sebagai mahasiswa, kami tidak memiliki kuasa untuk memilih dosen. Dosen A maupun dosen B, keduanya adalah otoritas di bidangnya, dan kami seharusnya bisa belajar banyak dari mereka. Namun, ketika instruksi yang diberikan tidak selaras, kebingungan kami sebagai mahasiswa semakin menjadi-jadi.
Sebaiknya, jika ada dua dosen yang mengajar satu mata kuliah, mereka perlu menyamakan persepsi, atau setidaknya memberikan penjelasan kepada mahasiswa tentang perbedaan pendekatan yang mereka gunakan. Tanpa adanya koordinasi, kami hanya akan terjebak dalam kebingungan yang tidak perlu.