Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan yang Membebaskan Menurut Freire

23 Maret 2011   03:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan adalah proses bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Sejatinya setiap manusia diciptakan oleh Tuhan telah dianugerahi sebuah kebebasan. Dengan demikian, antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan untuk saling mengekang dan menindas.

Di sinilah sesungguhnya penting bagi setiap manusia yang terlibat dalam proses pendidikan untuk menyadari bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah membebaskan. Tidak benar jika dengan pendidikan menjadikan manusia-manusia yang terdidik justru membelenggu manusia yang lainnya dengan kekuasaan yang dimilikinya. Sama sekali tidak benar jika pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia terdidik yang tidak bisa menghargai hak kebebasan manusia yang lainnya.

Pendidikan yang membebaskan. Ya, inilah hal penting yang diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang filsuf dan ahli pendidikan berkebangsaan Brasil. Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, Brasil, dan meninggal dunia pada 2 Mei 1997 di São Paulo, Brasil. Semasa hidupnya, ia pernah diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara Bagian Pernambuco (yang beribu kota Recife). Selama bekerja itu, terutama pada saat bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire melakukan proses belajar mengajar yang belakangan oleh para ahli pendidikan disebut sebagai gerakan pendidikan yang membebaskan.

Freire memahami betul bahwa orang-orang yang miskin sangat membutuhkan pendidikan karena ia pernah mengalami secara langsung bagaimana getirnya kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar di tahun 1929. Meskipun, pria yang dikenal teguh pendirian ini pada awalnya lahir dan dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Sungguh, pengalaman langsung Freire saat bersentuhan dengan kemiskinan dan kelaparan itulah yang membangun semangatnya dalam menggerakkan masyarakat miskin agar segera terbebas melalui dunia pendidikan.

Freire belajar hukum di Universitas Recife pada 1943. Meski menjadi mahasiswa di bidang hukum, Freire juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Berkaitan dengan ilmu yang dipelajari oleh Freire ini, ada yang menarik untuk dicermati, yakni meski ia belajar dan akhirnya lulus sebagai sarjana hukum, namun ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Ketertarikannya pada dunia pendidikan membuatnya untuk menjadi guru dan mengajar di sekolah-sekolah menengah. Pada waktu itu, ia mengawali karier menjadi guru dengan mengajar bahasa Portugis. Setahun kemudian, yakni pada 1944, Freire menemukan pasangan hidup yang tepat, yakni rekan sesama guru yang bernama Elza Maia Costa de Oliveira, dan akhirnya menikah dengannya. Selanjutnya, berdua menekuni dunia pendidikan dengan lebih bersemangat.

Gagasan Freire, terutama yang terkait dengan pendidikan yang membebaskan, terutama lebih bisa ia terapkan setelah diangkat sebagai Direktur Departemen Perluasan Budaya Universitas Recife pada 1961. Selanjutnya, gagasannya semakin mendapatkan tempat untuk dikembangkan ketika pada 1962 ia mendapatkan kesempatan mengajar 300 orang buruh kebun tebu yang buta huruf untuk bisa membaca dan menulis hanya dalam waktu 45 hari. Apa yang dilakukan Freire ternyata mendapatkan hasil yang memuaskan, termasuk bagi pemerintah Brasil. Akhirnya, program dari perluasan budaya ini dikembangkan secara luas di Brasil.

Namun, apa yang menjadi gagasan Freire dalam pendidikan yang membebaskan tidak selamanya berjalan dengan mulus. Pada 1964 terjadi kudeta militer di Brasil dan Freire ditangkap kemudian dipenjarakan selama 70 hari dengan tuduhan menjadi pengkhianat. Inilah pengalaman pahit bagi Freire. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Selanjutnya Freire tinggal di Chili.

Ibarat pepatah, roda kehidupan selalu berputar; tak selamanya dalam kesulitan, sebab ada kalanya roda bergulir ke atas. Demikian juga dengan Freire yang menemukan kegembiraan pada saat buku pertamanya diterbitkan pada 1967, yakni Educaqao como Practica da Liberdade (Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan). Kegembiraan Freire ini lebih karena buku tersebut adalah himpunan dari gagasan dan idealismenya selama ini berkaitan dengan pendidikan yang membebaskan.

Buku Educaqao como Practica da Liberdade ternyata mendapatkan sambutan yang luar biasa dari banyak kalangan, termasuk dari Harvard University. Bahkan, pada 1969, perguruan tinggi ternama tersebut menawari Freire untuk menjabat sebagai profesor tamu. Sedangkan buku karya Freire lainnya yang tak kalah mendapatkan perhatian banyak pihak, terutama yang mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan, adalah Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Buku ini diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970 dan empat tahun kemudian, yakni pada 1974, buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Brasil. Atas perjuangannya yang getol dalam pendidikan yang membebaskan, Freire juga memperoleh sejumlah penghargaan dari berbagai badan internasional, seperti penghargaan dari King Baudouin International Development, dari Universitas Calgary, dan mendapatkan penghargaan PBB dalam bidang pendidikan pada 1980.

Pemikiran Paulo Freire yang paling getol diperjuangkan adalah pendidikan yang membebaskan dalam arti anti-kolonialis. Pendidikan harus menjadi cara untuk membebaskan peserta didik dari segala macam bentuh penjajahan; apalagi penjajahan dalam arti sebenarnya. Inilah yang menjadikan gagasan Freire sering berhadapan dengan penguasa atau negara yang sedang melakukan kolonialisme. Freire menganggap penting untuk memberikan pendidikan kepada penduduk pribumi dengan pendidikan yang baru, modern, dan anti-kolonial. Dengan demikian, peserta didik adalah manusia yang setara dengan manusia yang lainnya.

Gamblangnya apa yang dilakukan oleh Freire adalah pendidikan penyadaran dalam diri peserta didik menuju pemanusiaan yang sebenarnya. Pendidikan yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak manusia tanpa kecuali. Tidak ada manusia yang lebih layak untuk mendapatkan pendidikan sedangkan yang lain sengaja dijauhkan dari pendidikan karena dipandang perlu untuk menjadi kaum yang dipekerjakan. Sungguh, setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam pendidikan. Dengan demikian, proses pendidikan yang dilakukan pun harus setara antara satu dan yang lain; dan proses yang dibangun dalam pendidikan pun adalah penyadaran untuk setara dengan yang lainnya.

Berangkat dari sebuah gagasan bahwa pendidikan adalah upaya pembebasan manusia dari kolonialisme maka praktik pendidikan yang membebaskan tidak menempatkan guru pada posisi nomor satu dan murid pada nomor dua; guru adalah pihak yang memberi dan murid adalah pihak yang menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab dan berdiskusi. Jika seorang guru memberikan pelajaran kepada anak didik ini sesungguhnya tak lebih dari proses berbagi kepada sesama anak manusia perihal ilmu dan pengetahuan.

Dalam praktiknya, pendidikan yang membebaskan gagasan Freire ini memang ditujukan kepada kaum yang tertindas. Akan tetapi, tidak menempatkan kaum yang tertindas itu berhadapan secara berseberangan dengan orang-orang yang menindas. Pendidikan yang semacam ini akan menimbulkan dendam untuk suatu saat ganti menindas. Pendidikan yang membebaskan juga bukan merupakan bentuk kemurahan atau kebaikan orang-orang yang mendindas dalam memberikan pendidikan kepada orang yang ditindas, apalagi bila dilakukan untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang bukan dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Kesadaran ini sudah tentu bukan untuk menjelmakan para penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan dalam kesetaraan yang mendamaikan.

Pendidikan yang membebaskan gagasan Freire ini memang tak lepas dari keadaan sosial pada waktu itu. Itulah mengapa gagasan Freire ini sering disebut oleh para ahli di bidang pendidikan sebagai pendidikan kritis karena pendidikan yang membebaskan merupakan suatu bentuk kritisme sosial. Mengenai hal ini pun diakui juga oleh Freire bahwa pendidikan adalah momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun