Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Pesona Cinta (13)

2 Desember 2010   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:07 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku dipersilakan masuk ke ruangan paling ujung dari deretan kamar yang kuperkirakan kamar-kamar para santri itu. Sebuah ruangan yang hanya digelari karpet berwarna hijau, berjendela ke samping sedang terbuka menghadap taman kecil yang ada kolamnya. Ruang ini berukuran 3 X 4 meter dan di dindingnya digantung sebuah kaligrafi yang berbunyi, Huwallaahul khaaliqul baariul mushawwiru, lahul asmaaul husnaa, yusabbihu lahuu maa fis samaawaati wal ardhi, wahuwal ‘aziizul hakiim.*Meski sederhana, kaligrafi itu ditulis di atas karton berwarna hijau langit, tapi kaligrafi itu ditulis dengan indah sekali. Sepertinya penulisnya sudah ahli dalamkaligrafi.

“Kaligrafi itu yang menulis Kang Ruslan. Teman-teman di sini biasanya memanggilnya Abah Ruslani. Dia berasal dari Sampit, Kalimantan.”

Aku tiba-tiba tersadar bahwa aku tidak sendiri di ruangan ini. Kaligrafi itu memang bagus sekali.

“Dia pasti juara bila ikut lomba kaligrafi,” aku masih terpana dengan kaligrafi itu. “Memangnya usianya berapa kok dipanggil Abah?”

“Oh, dia masih muda. Sebutan itu disandangkan ke dia karena setiap diundang oleh masyarakat sekitar dalam rangka doa bersama acara syukuran kelahiran, menempati rumah baru, dan sebagainya, bila Kiai Zainal tidak bisa rawuh, biasanya Kang Ruslan yang ditunjuk Kiai Zainal untuk mewakili beliau, nah... entah siapa yang memulai, orang-orang itu memanggilnya Abah Ruslani. Eh, ngomong-ngomong, kita belum berkenalan nih. Saya Alaika Salam. Awalnya dipanggil Alaik, namun sering kepeleset jadi Alex,” dia mengajakku bersalaman lagi.

“Saya Hasan Abdurahman. Sering dipanggil Hasan begitu saja.”

Inilah saat pertama aku mendapat teman di Jogja. Alex memang orangnya menyenangkan. Dia adalah mahasiswa semester terakhir di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jogja ini. Menurutku, dia adalah mahasiswa yang cepat menyelesaikan kuliah, bayangkan… tiga tahun kuliah, katanya sekarang skripsi tinggal ujian. Aku jadi teringat Gus Khoirudin, tiga tahun pula ia menyelesaikan kuliah di Jogja.

Tapi, menurut Alex, kuliah lebih dari tiga atau empat tahun bukan berarti mahasiswa tersebut tidak cerdas. Banyak dari mereka lama menyelesaikan kuliah karena waktunya juga banyak tersita untuk aktif di kegiatan kemahasiswaan, nyambi bekerja, atau terlibat langsung dengan banyak kegiatan kemasyarakatan. Namun, masih menurut Alex, tidak sedikit pula para mahasiswa yang lama menyelesaikan kuliah karena tidak bisa menggunakan waktu dengan baik; menghabiskan waktu hanya dengan bermain, berpacaran, dan hura-hura.

Cerita Alex tentang kuliah sungguh membuat semangatku untuk dapat kuliah semakin membara. Sepertinya Alex sengaja memotivasiku untuk melanjutkan kuliah setelah kuceritakan kepadanya tentang tujuanku berangkat ke Jogja. Untuk masalah biaya, kata Alex, itu gampang, sebab kuliah sambil bekerja juga bukan hal yang tabu, asal pekerjaannya halal. Dan, masalah tempat tinggal, sama sekali bukan persoalan, sebab Alex mengajakku tinggal di pesantren ini.

Tapi, ini yang membuatku sedih dan sekaligus mendorongku mengambil keputusan untuk tinggal di Pesantren Raudhatush Shalihin, pesantren ini sunyi. Sepeninggal Kiai Zainal, pesantren ini sepertinya berhenti berjalan. Tepat dua hari setelah Kiai Zainal meninggal dunia, sebagian besar santri diwisuda di kampusnya. Setelah itu, mereka pulang ke daerah masing-masing.

Pesantren ini memang tidak besar, hanya mempunyai tujuh kamar yang dihuni 48 santri mahasiswa. Dan, beberapa hari yang lalu, sebanyak 43 mahasiswa diwisuda secara bersamaan. Cuma harinya saja yang berbeda, ada yang di hari Sabtu dan ada pula yang wisuda di hari Minggu, karena memang kampusnya berbeda. Kini, tinggal 5 santri mahasiswa yang tinggal di pesantren ini, yakni Alex dan empat mahasiswa lainnya yang rata-rata masih semester awal. Oh ya, karena pesantren ini adalah pesantren mahasiswa, maka santri sering disebut sebagai “santri mahasiswa”. Sebuah sebutan yang masih asing bagiku.

Santri mahasiswa yang mondok di sini memang tidak banyak bila dibanding dengan pesantren “biasa” pada umumnya. Di samping tempatnya memang agak jauh dari beberapa kampus yang ada di Jogja, juga barangkali pemilihan nama “mahasiswa” di pesantren ini membuat santri menjadi terpilih. Tapi, Kiai Zainal juga mempunyai santri yang bukan dari kalangan mahasiswa saja. Yakni, kalangan bapak-bapak yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas. Justru kelompok santri ini jumlahnya lebih banyak dibanding santri mahasiswa yang tinggal di pesantren; yakni sekitar 80 sampai 90 orang. Mereka berkumpul setiap malam Selasa dan malam Jum’at untuk mengikuti pengajian kitab al-Hikam yang dipimpin oleh Kiai Zainal. Kitab “kelas berat” karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari itu dibacakan dan diuraikan supaya lebih mudah dipahami oleh Kiai Zainal. Bila sudah khatam, akan diulang lagi dari awal, demikian seterusnya. Santri mahasiswa juga diperbolehkan mengikuti pengajian ini. Dan, Alex yang paling rajin mengikutinya. Tampak sekali dia menyukai kitab al-Hikam dari cara dia menceritakannya kepadaku.

Sepeninggal beliau, pengajian al-Hikam juga berhenti, karena tidak ada santri senior yang berani menggantikan posisi Kiai Zainal. Inilah problem utama di Pesantren Raudhatush Shalihin sekarang ini. Kiai Zainal memang termasuk kiai yang ‘alim dan karismatik. Di samping santri mahasiswa dan pengajian al-Hikam, juga banyak tamu yang mengaku sebagai santri Kiai Zainal. Hampir setiap hari selalu ada tamu yang konsultasi agama kepada beliau. Bila pengajian sedang berlangsung, para tamu itu dengan sabar menunggu. Keberadaan Kiai Zainal memang dibutuhkan banyak orang. Dan, di sinilah masalahnya, sampai meninggal dunia Kiai Zainal belum mempunyai kader, penerus, atau keturunan yang bisa melanjutkan kepemimpinan beliau di pesantren ini. Keluarga dan semua santri tidak ada yang menyangka kalau Kiai Zainal akan meninggal dunia dalam usia muda.

(Bersambung)

* Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Hasyr [59]: 24).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun