Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dalam Pesona Cinta (10)

11 Oktober 2010   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya, kutunaikan shalat subuh dengan berjamaah. Dan, bacaan imam setelah Surat al-Faatihah itu…, “Am hasibtum an tutrakuu walammaa ya’lamillaahul ladziina jaahaduu waminkum walam yattahidzuu min duunillaahi walaa rasuulihii walalmu’miniina waliijah, wallaahu khabiirun bimaa ta’lamuun.”* Sungguh, semakin menderaikan air mataku.

Aku ingin berlama-lama dalam berdzikir dan berdoa setelah jamaah shalat subuh ini. Tetapi, segera aku sadar bahwa aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Seusai shalat, beberapa penumpang sudah mulai memasuki bus kembali. Aku pun segera bergegas.

“Dik Hasan, turun di mana nanti?” tiba-tiba saja Pak Syamsul sudah mendampingiku saat berjalan menuju bus.

“Jogja, Pak.”

“Sama dong kalau begitu.”

Ternyata, para penumpang sudah di dalam bus semua, tinggal aku dan Pak Syamsul saja yang tertinggal. Maka, kami pun berlari kecil menuju bus.

“Maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, apakah masih ada penumpang yang belum naik?” tanya sang kondektur sebelum bus berjalan.

“Sepertinya sudah semua, Pak,” jawab seorang bapak yang duduk di bangku paling belakang.

Bus meninggalkan halaman masjid dengan pelan. Tampak beberapa pedagang yang berjualan di sepanjang gang yang berada di timur halaman masjid menata dagangannya. Hari memang masih pagi, tetapi inilah saat kehidupan dimulai. Termasuk dalam hal mencari rezeki, seperti para pedagang itu. Tidak baik setelah shalat subuh lalu tidur kembali.

“Maaf, kalau boleh tahu, Jogja mana nanti yang dituju. Saya juga tinggal di Jogja lho…,” Pak Syamsul membuka pembicaraan kembali.

“Oh, itu…, Pak, saya mau ke pesantrennya Kiai Zainal yang berada di daerah Sleman.”

“Hmm…, saya tahu itu. Saya pernah sowan ke sana. Kiai Zainal itu orangnya ramah dan baik sekali. Tetapi, sayang….”

“Sayang kenapa, Pak?” aku menjadi tidak sabar pada saat Pak Syamsul berhenti dari bicaranya.

“Orang baik kadang dipanggil oleh Allah pada usia muda.”

“Maksud Bapak?”

“Lho, apakah Dik Hasan belum tahu kalau Kiai Zainal sudah meninggal dunia seminggu yang lalu?”

Aku menggelengkan kepala. Seluruh tubuhku terasa lemas sekali. Serasa semua tenagaku tiba-tiba dilucuti oleh sepasukan entah apa itu namanya. Satu-satunya orang yang akan kutuju, Kiai Zainal, telah menghadap-Mu, ya Allah…. Ke mana lagi hendak melangkahkan kaki ini? Aku seperti menjadi orang yang kehilangan arah. Oh, bukan seperti, tetapi aku mendadak telah benar-benar kehilangan arah.

Aroma pagi menerobos ke dalam bus JS. Kegelapan malam perlahan menggeliat dan melepaskan selimutnya. Kabut pun menipiskan diri menyambut pagi hari. Demikian pula dengan para penumpang bus JS ini, seusai shalat subuh, tampak wajah mereka lebih segar dari sebelumnya. Beberapa di antaranya tampak gembira dan menyingkap tirai kaca bus untuk memandang lebih jelas deretan hutan jati yang sedang bersemi.

Tetapi, tidak demikian dengan aku. Informasi tentang meninggalnya Kiai Zainal yang disampaikan oleh Pak Syamsul seakan membuat perjalananku ini menjadi sia-sia. Seakan tak percaya, telah aku pastikan sekali lagi kepada Pak Syamsul bahwa yang dimaksud Kiai Zainal itu adalah kiai yang mempunyai Pesantren Raudhatush Shalihin, yang berada di daerah Sumbersari, ya betul, memang beliau, kata Pak Syamsul. Sungguh, aku tak bisa lagi berkata-kata. Jika tadi malam aku mempunyai harapan yang besar untuk pergi ke Jogja demi menemui Kiai Zainal, kini harapan itu benar-benar hilang sebagaimana obor malam yang mulai menyala, tapi tiba-tiba badai menyapunya tanpa aba-aba dan tanda.

Sepeninggal abah, ibu, dan adikku, Kiai Zainal adalah satu-satunya harapanku untuk bernaung dan mendapatkan sosok orang tua serta keluarga. Aku masih ingat betul betapa abah selalu antusias bercerita kepadaku tentang masa-masa ketika abah di pesantren, lebih-lebih ketika menceritakan sosok Kiai Zainal. Sejak awal di pesantren, hubungan abah dengan Kiai Zainal sudah sangat akrab sekali. Bahkan, seperti saudara. Itulah mengapa ketika aku diajak abah ke pesantrennya Kiai Zainal tiga tahun yang lalu, beliau berkali-kali minta kepadaku untuk mau tinggal di pesantrennya. Kiai Zainal sangat menginginkan keakrabannya dengan abah tidak terpisah hanya karena jarak, maka aku sebagai anaknya abah diminta untuk tinggal di pesantrennya. Dan, aku tidak keberatan untuk itu. Aku ingin belajar banyak dari sosok kiai yang lisannya seakan tak pernah berhenti dari berdzikir itu.

Kini, semua orang yang aku dapat mengikatkan diri dalam kasih dan sayang sebagaimana keluarga telah menghadap-Mu, ya Allah…. Abah, ibu, adikku, juga Kiai Zainal. Lalu, ke mana lagi kaki ini melangkah, ya Rabb…. Hendak ke mana lagi diri ini kubawa, ya Ilahi. Duh…, meski kutahan-tahan, air mata ini menetes lagi. Sebab, tidak enak bila dilihat Pak Syamsul yang berada di sampingku, atau penumpang lain. Maka, segera kuhapus air mata ini dengan punggung tanganku. Biarlah hatiku saja yang gerimis, bahkan banjir oleh karena kesedihan.

Beruntung Pak Syamsul tidak begitu memperhatikanku, karena semenjak beliau menyampaikan informasi tentang meninggalnya Kiai Zainal tadi, aku nyaris limbung dan tidak dapat menguasai diri. Segera aku dalam hati memperbanyak membaca kalimat hauqalah dan hasbalah** untuk meneguhkan jiwa ini. Dan, aku segera meminta maaf kepada Pak Syamsul untuk tidur dalam perjalanan ini karena tadi malam aku belum tidur. Tapi, sudah setengah jam lebih aku memejamkan mata, belum juga aku dapat tidur. Kini, malah air mataku ingin saja segera menetes.

Aku merasa, perjalanan ini sudah tidak ada gunanya lagi. Perjalanan ini seakan hanya membawa tubuhku semata, sementara jiwa dan pikiranku entah ke mana. Aku mau turun di sini saja, tapi ini di mana? Aku tidak punya kenalan, apalagi saudara. Aku ingin turun dan balik saja, tapi mau balik ke mana? Bukankah di daerahku sendiri aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sementara bila mau terus, Kiai Zainal juga telah tiada. Duhai…, Sang Penguasa Jagat, aku bingung sekali. Benar-benar bingung.

(Bersambung)

* “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9]: 16).

** Haqalah adalah bacaan laa haula walaa quwwata illaa billaah, sedangkan hasbalah adalah bacaan hasbiyallahu wa ni’mal wakiil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun