Barang rongsokan selalu identik dengan hal-hal yang kotor, kumuh dan cenderung termarjinalkan. Posisinya pun dipandang remeh, membuat benda-benda bekas pakai yang terbuang itu ibarat sesuatu yang patut dimusnahkan. Padahal, ada banyak sisi positif yang bisa diambil dari banyaknya barang rongsokan tersebut.
Saya waktu itu bertemu dengan kakek kakek bernama Pak Dahri , kini menjalani hidupnya dengan memulung barang-barang bekas di Kendal, Jawa Tengah. Beberapa sosok sukses, juga banyak yang bermunculan berkat barang rongsokan yang kerap dianggap 'haram' bagi sebagian orang. Ah, masa sih?
Mungkin banyak yang bilang barang rongsokan tidak membawa manfaat? Bagi kaum berduit, hal tersebut bisa jadi benar. Namun bagi mereka yang peduli dan mau memanfaatkan, sebenarnya ada banyak celah peluang keuntungan yang dapat dinikmati. Beberapa contohnya adalah memberikan peluang kerja kepada orang lain sebagai pemulung, serta adanya lahan bisnis yang menguntungkan untuk menjual kembali barang rongsokan tersebut. Bisa dibilang, barang rongsokan mungkin tidak berharga di mata orang-orang kaya yang notabene lebih mampu secara ekonomi. Namun, keberadaan benda tersebut ibarat 'emas' bagi mereka yang membutuhkan. Â
Dikutip dari laman https://www.boombastis.com/ yang saya baca ada bukti sukses berkat barang rongsokan adalah keberadaan Mall Rongsok di Depok. Bak toserba, tempat tersebut menjual segala jenis barang rongsok yang masih layak pakai. Sang pemilik, Nurcholis Agi, bahkan telah membuka cabang hingga ke Cinere, Bogor, Solo, dan Tegal. Dikutip dari megapolitan.kompas.com, pengusaha asal Banyuwangi itu saat ini mempunyai omzet senilai Rp 1,5 milyar dan sekitar 30 ribu item dagangan.
Selain keberadaan Mall Rongsok dengan omset milyaran di atas, beberapa dari benda-benda bekas tersebut juga mempunyai nilai jual yang tinggi. Salah satunya adalah bisnis besi bekas (scrap). Karena permintaan yang begitu tinggi di antara kalangan pelaku industri besi baja nasional, keberadaan benda tersebut kerap dicari karena menjadi salah satu pasokan bahan baku. Laman finance.detik.com menuliskan, terbatasnya besi kasar yang menjadi komoditas utama, membuat para pengusaha melirik besi tua yang masih bisa digunakan. Tentu saja, hal ini bisa menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.
Bagi Bapak Dahri, barang-barang bekas atau rongsokan merupakan berkah tersendiri bagi dirinya. Dengan modal keuletan dan semangatnya, pria yang ber umur sekitar 54 tahun tersebut mampu mencari dan memulung barang barang bekas dari benda-benda seadanya. Pak Dahri berhasil mencari dan mengumpulkan rongsokan ataupun mulung juga dari barang-barang bekas. " Saya mulung rongsokan terus saya jual kembali kepengepul rongsok, saya seminggu dapat kira kira Rp 300.000,00 sampai Rp 400.000,00 dan beberapa untuk saya tabung ke Bank BRI seminggu sekali," ujar Bapak Dahri yang saya temui dan wawancara langsung kepadanya.
Bapak dahri ini juga sempat berkata kepada saya bahwa dia juga pernah diwawancarai oleh Bupati Kendal. Waktu saya mewawancarai Bapak Dahri, ternyata beliau ini bukan asli orang Kendal, namun beliau pernah mempunyai seorang istri yang berasal dari Kendal dan akhirnya Pak Dahri ikut dengan istri tinggal di Kendal. Beliau ini sebenarnya asli orang Magelang dan berasal dari Magelang, Â sekrang ini Pak Dahri hidup sendiri setelah istrinya dibawa kabur atau pergi dengan orang dan tidak pernah kembali lagi, " Saya pernah punya istri, namun belum mempunyai anak dan istri saya pergi meninggalkan saya sendirian dan juga tidak pulang" Kata Pak Dahri.
Bapak Dahri ini lahir di Magelang tahun 1968, yang pada awalnya dia diajak orang berjualan jamu di Pasar Kendal. Sekarang dia hidup sendirian sebatang kara menggantungkan hidupnya dengan memulung dan mencari rongsokan di daerah Kendal dan sekitarnya untuk makan dan kehidupan sehari hari. Pak Dahri juga sempat bercerita tentang pelajaran hidup dari pengalamannya " Â Dunia ini berputar kita menjalani hidup harus dengan sabar dan prihatin" ujar Pak Dahri kepada saya.
Dikutip dari laman yang sama Bagi etnis Madura, menggeluti profesi sebagai pengusaha besi tua atau rongsokan adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Banyak dari mereka kini telah sukses di Ibukota dengan pundi-pundi kekayaan yang melimpah. Menurut Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, Masduki Baidlowi yang dikutip dari x.detik.com, orang Madura mulai banyak yang hijrah ke Jakarta pada 1960-an. Mereka kemudian berbisnis rongsokan atau barang bekas dan besi tua, yang oleh orang lain tak dianggap berarti. Salah satunya adalah H Muhamad Rifai, sosok sukses yang menjalankan usaha besi tua dan aneka barang bekas.
Ada banyak sekali hal hal dari sebuah barang rongsokan yang bisa diambil hikmahnya dalam hidup ini. Keberadaannya yang terbuang, sejatinya memaksa kita untuk berfikir keras. bagaimana agar benda-benda itu bisa mendatangkan manfaat. Bukan sekedar untuk tujuan menghasilkan lembaran rupiah semata, namun juga memberikan nilai lebih terhadap kehidupan seseorang dan lingkungan sekitar.
Awal tahun 2000-an sampai sekitar tahun 2012-an, ibu-ibu di kampung termasuk di desa saya dan ibu saya memiliki jadwal rutin "membersihkan" barang-barang tak terpakai yang sengaja dikumpulkan dan telah menumpuk di sudut rumah. Bagaimana cara membersihkannya? Dibuang ketempat sampah atau ke sungai? Tidak. Dibakar di pekarangan? Bukan itu jawabannya. Barang-barang yang sudah tidak terpakai itu diserahkan kepada tukang rongsok.
Tukang rongsok biasanya akan lewat keliling kampung setiap seminggu sekali. Menggunakan sepeda onthel dengan keranjang bambu berisi rongsokan di bagian kanan dan kerupuk di bagian kiri ataupun berjalan kaki dan menggunakan becak onthel, tukang rongsok menyuarakan bunyi-bunyian yang menjadi pertanda kehadirannya. Ibu-ibu sudah hafal betul, di hari apa mereka harus mempersiapkan barang-barang bekasnya. Wujudnya beraneka ragam, mulai dari baskom plastik yang sudah pecah, botol sirup lebaran tahun lalu, hingga sepatu yang sudah berlubang di bagian jempol dan juga jerigen bekas yang sudah rusak ataupun berlubang pun menjadi barang incaran tukang rongsok.
Dari barang-barang bekas tersebut, bukan uang yang akan didapatkan oleh ibu-ibu itu, melainkan kerupuk. Seingat saya Tidak ada timbangan, tidak ada takaran, atau pun ukuran tertentu untuk menilai barang-barang bekas tersebut. Baik tukang rongsok maupun ibu-ibu kampung bisa saling memahami hingga mencapai kata sepakat, seberapa banyak kerupuk yang akan menjadi teman makan siang bersama anak dan suaminya. Dulu saya pas waktu masih SD senang sekali menukar barang bekas dengan krupuk ke tukang rongsokan itu, karena saya juga suka dengan rasa krupuknya yang biasanya tidak di goreng dengan minyak namun dengan pasir.
Begitulah pelajaran hidup yang saya dapat dari Pak Dahri, Tukang Rosok dan Barang rongsokan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H