Mehamami pantun sama halnya dengan memahami masyarakat asal kemunculan pantun tersebut. Novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karangan Marah Rusli penuh dengan nuansa budaya Minangkabau, tidak heran jika pantun Minangkabau erat kaitannya dengan kebudayaan yang terletak di Provinsi Sumatera Barat tersebut.
Pantun sebagai cara berbahasa suatu kebudayaan mengindikasikan cara berpikir dan bertindak dari kebudayaan tersebut. Menurut Anwar dalam bukunya yang berjudul Semantik Bahasa Minang, suku Minangkabau menggunakan pola berpikir yang bersifat metaforik yang artinya mereka dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan tidak secara terang-terangan terlebih lagi jika berkaitan dengan hal-hal sensitif tertentu.
Pantun dalam novel Sitti Nurbaya digunakan sebagai cara mengungkapkan perasaan dan pikiran baik dari maupun oleh Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Perasaan dan pikiran tersebut bisa berupa kecemasan, perasaan suka dan cinta, ataupun rasa rindu.
Bulan terang bulan purnama,
Nagasari disangka daun.
Jangan dikata bercerai lama,
Bercerai sehari rasa setahun.
(Rusli, Sitti Nurbaya, halaman 88)
Pantun di atas dipakai Samsu untuk menggambarkan perasaannya yang tidak pernah terbayangkan harus meninggalkan Nurbaya untuk merantau ke Jakarta. Ia yang sedari kecil sudah bersama Nurbaya, bertetangga, sudah seperti saudara, kini harus bercerah (berpisah) dengan jarak yang sangat jauh. Ada lebih dari 20 pantun yang tersebar di novel karya Marah Rusli ini. Ini menunjukkan kekayaan budaya Minangkabau yang begitu menghargai pantun sebagai cara pengungkapan perasaan dan pikiran.
Uniknya, dari novel ini, kita bisa mengetahui asal mula pantun “jika ada sumur di ladang” yang sangat populer tersebut. Pantun tersebut bersambung dengan pantun sebelumnya yang saling berkaitan dengan tema perpisahan dan pertemuan. Pantun tersebut sudah demikian familiar di telinga semua orang sehingga tak jarang kita pun mengenali isi dari sampiran pantun tersebut.