Mohon tunggu...
Akhmad Solikhin
Akhmad Solikhin Mohon Tunggu... Lainnya - Biotechnologist

Ayo Melek Sains

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Waspada Gigitan Ular Berbisa!

26 Desember 2023   08:42 Diperbarui: 27 Desember 2023   11:02 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ular merupakan hewan reptil tidak berkaki yang memiliki banyak jenis di dunia, termasuk di Indonesia. Ada sekitar 370 jenis ular di Indonesia, 77 jenis diantaranya adalah ular berbisa.

Di Indonesia, satwa liar ini banyak dipelihara oleh pecinta reptil. Bahkan, tidak sedikit yang dimanfaatkan untuk pertunjukan atau konten youtube. Maka tak jarang kasus gigitan ular kerap menimpa pemelihara atau orang yang mempergunakan ular dalam pertunjukkan.

Menurut WHO, kasus gigitan ular di dunia mencapai 5.4 juta dengan kematian 138 ribu orang setiap tahunnya. Kasus kematian tertinggi terjadi di Afrika dan Asia Selatan (India).

Bagaimana kasus di Indonesia? Menurut laporan Indonesian Toxinology Sociaty (ITS), sekitar 500-1000 orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya. Dimana 10% dari kasus tersebut dilaporkan meninggal dunia.

Gigitan ular sendiri oleh WHO dikategorikan dalam penyakit tropis terabaikan. Pada Januari 2023, penyakit tropis terabaikan yang menjadi prioritas Kemenkes yaitu Kusta, Frambusia, Kaki Gajah, Cacingan dan Demam Keong. Gigitan ular tidak masuk di dalamnya.

Meskipun demikian, pada tahun 2022 Kemenkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No HK.01.07/MENKES/1114/2022 mengenai tim pengkajian pencegahan dan pengendalian penyakit akibat hewan berbisa dan tumbuhan beracun. Gigitan ular berbisa menjadi salah satu perhatian dari Keputusan Menteri tersebut.

Sebagai tindak lanjut, Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes menyelenggarakan webinar penanganan kasus gigitan hewan berbisa pada Mei 2022. Kegiatan tersebut diikuti oleh ribuan tenaga kesehatan dari fasilitas kesehatan baik yang ada di pusat maupun di daerah.

Pada April 2023, Kemenkes juga telah menerbitkan buku pedoman penanganan gigitan, sengatan hewan berbisa dan keracunan tumbuhan dan jamur. Buku ini diharapkan dapat menjadi acuan tatalaksana bagi tenaga kesehatan dalam menangani kasus gigitan hewan berbisa, salah satunya yaitu ular.

Jenis ular berbisa di Indonesia

Keragaman biodiversitas ular berbisa tidak lepas dari letak geografis Indonesia. Di bagian Barat Indonesia (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) di dominasi jenis ular Asia. Sedangkan di Indonesia Timur (Maluku dan Papua) jenis ularnya adalah ular Australia. Beberapa ular berbisa juga ditemukan di Indonesia Tengah seperti di Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Baik di Indonesia Barat dan Tengah sama-sama ditemui jenis ular berbisa Viperidae, Elapidae dan Colubridae. Untuk Indonesia bagian Timur ular berbisa didominasi jenis Elapidae Australia.

Ular berbisa yang mudah ditemui dan banyak menimbulkan korban jiwa di Indonesia diantaranya yaitu Kobra Jawa (Naja Sputarix), Kobra Sumatra (Naja Sumatrana), Weling (Bungarus candidus), Ular Tanah (Calloselesma rhodostoma), Viper Pohon Barat (Trimeresurus albolabris), Viper Russel Siam (Daboia siamensis), Dead Adder Papua (Acanthopis laevis).

Sedangkan ular berbisa yang mudah menimbulkan kematian namun tidak mudah dijumpai di lingkungan diantaranya yaitu King Kobra (Ophiophagus hannah), Welang (Bungaru Fasciatus), Welang Kepala Merah (Bungarus flaviceps), Ular Cabe Besar (Calliophis bivirgata), Ular-Cabe Kecil (Calliophis intestinalis), Ular-Cabe Sumatera (Calliophis nigrotaeniatus), Viper-Pohon Timur (Trimeresurus insularis), Viper-Pohon Jampea (Trimeresurus fasciatus), Viper-Pohon Sabah (Trimeresurus sabahi), Viper-Pohon Sumatera (Trimeresurus sumatranus), Viper-Pohon Hagen (Trimeresurus hageni), Viper Bakau (Trimeresurus purpureomaculatus), Viper-Tanah Gunung (Craspedocephalus puniceus), Viper-Kapak Hijau (Tropidolaemus subannulatus), Viper-Kapak Wagler (Tropidolaemus wagleri), dan Viper-Kapak Sulawesi (Tropidolaumes laticinctus).

Menurut Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.Em (ketua ITS), secara umum ular berbisa dapat digolongkan berdasarkan jenis efek racun bisa yang ditimbulkan.

Pertama, jenis Elapidae memiliki efek racun berupa neurotoksik, sitotoksik, dan koagulopati. Kedua, jenis Hydropidae memiliki efek racun bisa neurotoksik, miotoksik, dan renal toksin. Ketiga, jenis Viperidae yang memiliki efek racun sitotoksik, miotoksik, dan koagulopati.

Membedakan ular berbisa dan tidak berbisa

Apa pentingnya? Membedakan ular yang berbisa dan tidak berbisa adalah indentifikasi awal guna tindakan pertolongan pertama maupun tindakan selanjutnya saat penanganan di fasilitas kesehatan.

Paduan lama mengatakan bahwa ular berbisa memiliki bentuk kepala menyerupai segitiga, memiliki agresifitas tinggi, dan bekas gigitanya hanya ada 2.

Paduan tersebut sekarang kurang tepat digunakan. Beberapa ular ditemukan dengan bentuk kepala tidak menyerupai segitiga namun tetap berbisa, seperti ular Weling (Bungarus candidus).

Kepala ular weling (sumber:ularindonesia.blogspot.com)
Kepala ular weling (sumber:ularindonesia.blogspot.com)

Sedangkan agresifitas tidak bisa menjadi acuan ular berbisa karena pada ular laut yang berbisa tidak menunjukkan agresifitas yang tinggi. Sedangkan untuk gigitan ular berbisa bisa 1 atau lebih dari 2 tusukan. 

Ular berbisa dan tidak berbisa memiliki perbedaan diantaranya yaitu: pertama, secara morfologi ular tidak berbisa memiliki sisik loreal atau sisik diantara mata dan lubang hidung sedangkan ular berbisa tidak ada.

Ilustrasi sisik loreal pada ular berbisa (sumber:Elham et al,2014)
Ilustrasi sisik loreal pada ular berbisa (sumber:Elham et al,2014)

Kedua, gigitan ular tidak berbisa menghasilkan bekas luka robek. Ini disebabkan karena bentuk gigi ular tak berbisa yang mirip mata kail. Gigitan ular berbisa berupa tusukan yang bisa berjumlah 1, 2 atau lebih dari 2. Bekas gigitan yang mirip tusukan jarum dipastikan bahwa ular tersebut jenis berbisa.

Ilustrasi gigitan ular tidak berbisa (sumber:Kemenkes 2023)
Ilustrasi gigitan ular tidak berbisa (sumber:Kemenkes 2023)

Ilustrasi gigitan ular berbisa (sumber:Kemenkes 2023)
Ilustrasi gigitan ular berbisa (sumber:Kemenkes 2023)

Tatalaksana Gigitan Ular

Pertolongan pertama (First Aid)

Kesalahpahaman masih banyak terjadi di masyarakat mengenai pertolongan pertama terhadap orang digigit ular berbisa. Ada yang bilang dengan menghisap darah, menggunakan tanaman tertentu bahkan banyak yang membawa ke dukun.

Menghisap darah adalah tindakan tidak tepat karena bisa ular menyebar melalui pembuluh limfa. Racun dapat menyebar dengan cepat melalui pembuluh limfa jika terjadi banyak gerakan pada daerah gigitan ular.

Menghisap darah biasanya diikuti dengan menyayat pada area sekitar gigitan. Tindakan keliru tersebut justru dapat memicu terjadinya infeksi pada korban karena bakteri yang berasal dari benda tajam atau mulut.

Oleh karena itu, pertolongan pertama yang dianjurkan adalah melakukan imobilisasi pada bagian tubuh yang terkena gigitan ular. Imobilisasi dapat menggunakan kayu atau bambu, kemudian dibebat menggunakan kain atau selendang.

Penggunaan tanaman tertentu yang belum jelas efek farmakologinya juga tidak disarakan. Hal ini dapat menimbulkan keparahan atau memperlama dan memperberat penaganan.

Setalah melakukan imobilisasi, maka disarankan agar segera membawa korban menuju fasilitas kesehatan terdekat. Pada kasus gigitan ular yang memiliki efek neurotoksik, jika dalam perjalanan menuju fasilitas kesehatan korban menunjukkan keparahan kondisi, obat seperti anticholinesterase memiliki peran penting dalam menyelamatkan nyawa korban.

Membawa ke dukun masih diyakini oleh masyarakat Indonesia. Bukan tanpa alasan, terkadang memang akses menuju fasilitas kesehatan tidak dekat di semua daerah. Peran pemerintah dalam menyediakan fasilitas kesehatan di setiap daerah menjadi penting.

Biasanya dukun menggunakan alat tertentu seperti keris atau batu hitam yang telah dibacakan doa, untuk ditempelkan pada bagian yang di gigit ular. Hal ini secara medis tentu tidak dibenarkan. Jika jenis ular yang menggigit adalah ular dengan efek bisa berbahaya, bukan tidak mungkin kematian yang akan terjadi pada korban tersebut.

Bahkan, beberapa orang yang sudah ditangani di fasilitas kesehatan akibat gigitan ular berbisa, setelah pulang kerumah juga tetap mendatangi dukun dalam proses penyembuahnnya. Edukasi menjadi penting bagi masyarakat terkait penanganan gigitan ular yang benar dan tepat.

Pengecekan efek bisa ular (envenomasi)

Petugas kesehatan segera melakukan pengecekan kondisi dari korban dan juga menanyakan beberapa informasi. Mulai dari mengecek jenis gigitan ular, menanyakan informasi jenis ular ke korban atau ke orang yang menolong korban.

Jika telah diketahui korban digigit ular berbisa dan diketahui pula jenis ularnya, maka pengecekan kondisi envenomasi lokal dan sistemik dapat dilakukan. Kedua efek ini berbeda-beda juga antar satu jenis ular dengan jenis lainnya.

Envenomasi lokal dapat berupa nyeri, bengkak, kemerahan pada kulit hingga nekrosis. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan observasi selama 24-48 jam. Jika kondisi semakin parah, maka lepas segera imobilisasi dan segera berikan antibisa.

Sedangkan pada envenomasi sistemik, efeknya dapat berupa kelumpuhan otot, paralisis otot-otot pernapasan, pendarahan di gusi, gagal ginjal akut, oliguria, nyeri otot, dan kencing gelap. Efek tersebut bergantung dari jenis bisa ular (neurotkosin, hematotoksin, myotoksin) yang menggigit.

Pemberian antibisa menjadi penyelamat bagi korban yang telah mengalami kondisi envenomasi sistemik. Antibisa ini bersifat spesifik sesusai dengan jenis gigitan ular.

Ketidaktepatan dalam pemberian antibisa juga dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pada korban gigitan ular berbisa. Yang perlu diingat, ketika antibisa diberikan maka imobilisasi harus segera dilepas. Ada kasus dimana korban diberikan antibisa namun imobilisasi tetap dilakukan.

Antibisa (antivenom) Ular

Anitibisa merupakan protein serum yang dibuat dengan menyuntikan bisa ular ke hewan seperti kuda. Darah kuda kemudian diambil dan dipanen serumnya untuk selanjutnya dimurnikan. Serum darah yang dimurnikan tersebut mengandung antibodi yang siap digunakan sebagai antibisa.  

Ada dua jenis antibisa yaitu movalent dan polyvalent. Antibisa monovalent dibuat dengan hanya menyuntikan satu jenis bisa ular ke hewan. Sedangkan antibisa polyvalent dibuat dengan menyuntikkan lebih dari 1 jenis bisa ke hewan.

Antibisa monovalent dapat digunakan spesifik untuk gigitan ular berbisa jenis tertentu. Sebaliknya, antibisa polyvalent dapat digunakan untuk kasus gigitan lebih dari satu jenis ular.

Penggunaan antibisa baik monovalent dan polyvalent harus memperhatikan dosis yang tertera dalam kemasan produk dengan tetap memastikan jenis gigitan ular pada korban.

Melalui Biofarma, Indonesia sudah mampu memproduksi sendiri antibisa BIOSAVE jneis polyvalent yang dapat digunakan untuk gigitan 3 spesie ular yaitu ular tanah (Caloselesma rhodostoma), ular welang (Bungarus fasciatus), dan ular kobra jawa (Naja spurtatix).

Namun sayang, ketersedian antibisa di Indonesia ternyata masih terbatas. Hal ini pernah disampaikan oleh Kemenkes bahwa antibisa belum disebar merata di seluruh fasilitas kesehatan di daerah.

Antibisa tersedia di pusat (Jakarta) dan akan di kirim ke daerah yang memiliki kasus gigitan ular berbisa tinggi. Pemerintah juga melakukan import antibisa dari Australia dan Thailand guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Akses penuh masyarakat Indonesia terhadap antibisa ular dapat menurunkan angka kematian akibat gigitan ular berbisa. Secara ekonomi, beban keungan negara juga dapat dihemat dengan menyediakan akses penuh terhadap antibisa dibandingan dengan kondisi keterbatasan seperti saat ini.

Para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan terkait perlu mengembangkan secara efektif untuk meningkatkan akses antibisa dan mengurangi beban korban gigitan ular di Indonesia. Hal ini mengingat antibisa adalah obat penyelamat nyawa yang harus dapat diakses secara universal.

Namun, meningkatkan akses terhadap antibisa tidak hanya tentang meningkatkan produksi antibisa atau membeli lebih banyak antibisa dari luar negeri, tetapi juga memperkuat seluruh sistem kesehatan untuk secara efektif menangani masalah gigitan ular di Indonesia. 

Edukasi ke masyarakat dan komunitas serta training yang terstandar kepada seluruh tenaga kesehatan menjadi kunci penanganan dan pencegahan kasus gigitaan ular di Indonesia. 

Semoga bermanfaat dan salam ayo melek sains.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun