Agama merupakan keyakinan yang membahas segala sesuatu tentang bagaimana manusia berinteraksi secara vertikal dan horizontal. Interaksi vertikal tertuju kepada Tuhan Sang Pencipta sedangkan interaksi horizontal tertuju kepada baik sesama manusia maupun makhluk lainnya.
Sedangkan moralitas merupakan suatu aturan tak tertulis yang menjadi acuan bagi manusia untuk bertindak. Moralitas digunakan untuk menentukan apakah manusia bertindak benar atau salah dan baik atau buruk. Secara definisi, agama lebih universal dan moralitas adalah salah satu yang diajarkan dalam agama.
Moralitas tanpa agama (morality without religion) menjadi topik yang diangkat dalam acara TEDx 2011 di Peachtree, Amerika Serikat. Dr. Frans de Waal, seorang ahli biologi primata menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Mulanya, saya heran ketika pertama kali melihat judul materi yang disampaikan oleh ahli primata dari Belanda ini. Pikiran singkat saya mengatakan, "Ini pasti orang yang pro-ateis, atau orang yang ingin mempertentangkan antara ilmu pengetahuan dan agama".
Namun setelah menyaksikan keseluruhan vidio dalam acara tersebut, akhirnya saya mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh ahli primata tersebut. Menurut Dr. Frans, pilar dari moralitas ada dua, yaitu keadilan (fairness) dan kepedulian (compassion/emphaty).
Keadilan merupakan kualitas dalam membuat keputusan yang terlepas dari adanya diskriminasi. Sedangkan kepedulian adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan terhadap yang lain.
Dr. Frans menyimpulkan bahwa beberapa hewan juga mempunyai moralitas. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan hewan coba simpanse, gajah, dan monyet.
Percobaan yang dilakukan pada simpanse menunjukkan adanya perilaku kooperasi. Dua simpanse saling membantu untuk menarik suatu tempat berisi makanan. Hal ini merupakan bukti bahwa beberapa hewan mempunyai rasa kepedulian.
Sedangkan percobaan yang menunjukkan pilar keadilan dilakukan dengan monyet caphucin. Percobaan ini dilakukan oleh Dr. Sarah Brosnan dari Georgia State University.
Dua monyet dalam kandang terpisah diberi pakan yang berbeda. Satu monyet diberi pakan mentimun dan monyet lainnya diberi pakan anggur. Pakan akan diberikan ketika monyet telah memberikan tanda berupa lemparan batu kepada pemberi pakan.
Monyet A secara terus menerus diberi pakan mentimun sedangkan monyet B diberi pakan anggur. Proses tersebut dilihat oleh masing-masing monyet. Pada pemberian pakan berikutnya monyet A tidak mau memakan pakan mentimun dan bahkan melemparnya. Monyet A ingin mendapatkan pakan anggur seperti monyet B. Berulang kali pakan mentimun yang diberikan monyet A dibuang.Â
Penjelasan di atas memberikan penegasan bahwa beberapa hewan pun mempunyai moralitas. Meski mereka hanya dikaruniai nafsu tanpa akal budi. Maka tepat jika Dr. Frans mengatakan moralitas tanpa agama pada kasus hewan, karena hewan tidak beragama.
Apakah moralitas pada hewan sama dengan moralitas pada manusia? Kalau acuannya adalah keadilan dan kepedulian seperti yang diungkapkan dalam percobaan Dr. Frans dan Dr. Sarah, mungkin bisa kita katakan sama. Keadilan dan kepedulian juga merupakan bagian dari moralitas manusia.
Perlu digarisbawahi bahwa hewan tidak memiliki akal budi seperti manusia. Akal yang merupakan hasil kinerja otak dapat dimiliki oleh hewan juga. Namun, tidak untuk budi, yang merupakan hasil kinerja hati/nurani/qolbu.
Simpanse yang menarik tambang untuk mendapatkan makanan adalah bentuk digunakannya akal oleh hewan. Begitu pula dengan contoh pada monyet chapunci. Keadilan menurut monyet chapunci adalah ketika makanan yang diberikan tidak berbeda dan tidak ada diskriminasi.
Perilaku menarik tambang pada simpanse dapat pula kita artikan sebagai kinerja otak yang direspon oleh kondisi lapar. Hanya saja disini, situasi untuk mendapatkan makanan dilakukan dengan manarik tambang secara bersamaan.
Bahkan, kita bisa mengartikan perilaku salah satu monyet chapunci yang melemparkan pakannya (karena melihat monyet lain diberi pakan berbeda) adalah bentuk keserakahan. Sedangkan kita tahu keserakahan adalah bentuk dari nihilnya akal budi. Nafsu menjadi dorongan utama hewan dalam berperilaku.
Disisi lain, ada pernyataan Dr. Frans yang membuat saya cukup kaget. Dia mengatakan dalam sebuah siaran youtube Big Think, "..our human morality is older than religion so instead of saying morality comes from God or religion gave us morality. For me that's a big no-no..".
Ahli primata ini meyakini bahwa keberadaan moralitas sudah ada sejak lama sebelum agama muncul. Bahkan dia juga menyatakan bahwa kita bisa bermoral tanpa beragama. Menurutnya, ada banyak orang ateis (tidak berkeyakinan) yang hidup tapi masih bisa bermoral.
Meski demikian, Dr. Frans mengungkapakan bahwa dia tidak 100 persen percaya bahwa agama tidak dibutuhkan. Hal ini dikarenakan belum adanya percobaan yang mengungkapkan bahwa tidak ada masyarakat yang hidup dimana agama benar-benar absent (tiada).
Jadi, benarkah moralitas bisa berdiri sendiri tanpa agama? Menurut saya tidak bisa (dalam konteks manusia) dan bisa (dalam konteks hewan). Setiap ajaran agama manusia yang ada di dunia mengajarkan tentang moralitas.
Bagaimana kita saling menghargai, bagaimana kita menjunjung tinggi keadilan, bagaimana kita peduli terhadap orang lain dan sebagainya. Namun jika masih ada manusia yang berperilaku di luar moralitas, itu karena kurangnya pemahaman terhadap agamanya.
Kalaupun ada manusia yang tidak beragama namun tetap bermoral, itu adalah kehendak Tuhan. Dalam keyakinan saya, yang demikian adalah orang yang mendapatkan sifat Maha Pengasih dari Tuhan. Akal dan budinya senantiasa tergerak dalam koridor kebaikan dan kebenaran.
Lalu, bukankah setiap orang yang beragama itu pasti bermoral, dan begitu sebaliknya? Menurut saya tidak benar. Orang beragama bisa kita katakan juga tidak bermoral ketika pemahaman terhadap agamanya tidak menyeluruh dan keliru.
Mungkin ada orang yang rajin beribadah tapi suka mencela orang lain, suka berbohong dan sebagainya. Ini adalah bukti bahwa masih ada yang menjadikan agama sebagai identitas semata dan tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Sebaliknya, ada pula orang yang bermoral tapi dia ateis.
Namun kita tidak ada yang tahu. Mungkin saja hewan juga menunjukkan kepatuhannya kepada Sang Pencipta meskipun mereka tidak beragama. Kita tidak pernah tahu cara mereka menyembah dan memuji Sang Pencipta.
Manusia harusnya bisa belajar dari cipataan Tuhan yang lain. Sedihnya, terkadang perilaku manusia yang beragama maupun yang tidak, lebih rendah dari moralitas hewan. Dikarunia akal budi dan nafsu membuat manusia lupa untuk senantiasa bermoral sekaligus dekat dengan Tuhannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H