Nyamuk hidup tersebar di seluruh dunia dengan jumlah spesies mencapai 3.450 jenis. Di Indonesia ditemukan sekitar 457 jenis diantaranya yaitu jenis Anopeles, Culex, Mansonia dan Aedes.
Serangga satu ini memiliki kebiasaan menggigit dan menghisap darah manusia atau hewan. Tapi tahukah anda, faktanya hanya nyamuk betina yang mengigit dan menghisap darah manusia atau hewan. Sedangkan nyamuk jantan tidak melakukannya.
Nyamuk jantan hidup berkembang biak dari telur, larva, pupa, nyamuk dewasa lalu kawin dan setelah itu mati. Nyamuk jantan mendapatkan sumber makanannya dari cairan tanaman seperti nektar. Sumber gula tersebut digunakan untuk menghasilkan energi dan bertahan hidup.
Pada nyamuk betina, makanan dari darah manusia atau hewan digunakan untuk menyuplai protein guna perkembangan sel telur yang dihasilkan. Darah juga digunakan nyamuk betina sebagai sumber energi untuk beraktivitas.
Nyamuk betina dapat menghasilkan 50-100 telur dalam sekali proses bertelur. Sepanjang hidupnya, nyamuk betina dapat bertelur hingga 10 kali.
Gigitan nyamuk betina pada manusia dapat menyebarkan penyakit virus seperti malaria, demam berdarah (dangue), chikungunya, zika, radang otak, dan kaki gajah. Nyamuk menjadi vektor penyakit yang perlu diwaspadai dan dikendalikan.
Transmisi penyakit dapat terjadi ketika nyamuk yang terinfeksi menggigit orang sehat. Jika ada nyamuk yang belum terinfeksi menggigit orang yang terinfeksi kemudian nyamuk tersebut menggigit orang sehat maka orang sehat tersebut akan terinfeksi juga.
Parahnya untuk penyakit seperti dangue, sebuah studi menyatakan bahwa sekitar 76% infeksi dangue tidak bergejala. Hal ini membuat transmisi virus dangue melalui vektor nyamuk menjadi semakin meningkat jika tidak dikendalikan dengan tepat.
Menurut Kemenkes, pada akhir tahun 2022 jumlah kasus dangue di Indonesia mencapai 143.000 kasus. Ilmuwan asal Oxford University (Samir Bhatt) bersama koleganya memprediksi jumlah kasus dangue di Indonesia mencapai 7.590.213 kasus atau 50 kali lebih tinggi dari data yang terlaporkan pada akhir 2022.
Kesenjangan tersebut bisa terjadi karena diantara orang yang memiliki gejala dangue hanya sekitar 30% orang yang periksa ke layanan kesehatan. Sisanya bisa karena benar-benar tidak bergejala atau bergejala namun misdiagnosis.
Nyamuk Wolbachia
Menurut Prof. Upik dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, upaya pengendalian vektor mencakup pengendalian fisik, pengendalian biologi, pengendalian kimiawi, pengendalian genetik dan pengendalian terpadu.
Nyamuk Wolbachia merupakan salah satu contoh upaya pengendalian vektor secara biologi. Pengendalian ini dilakukan dengan melepas nyamuk Wolbachia untuk menganggu perkembangan nyamuk yang menjadi vektor penyakit seperti dangue.
Nyamuk jenis ini dibuat dengan mengintroduksi bakteri Wholbachia pipentis ke dalam sel telur. Wolbachia pipentis merupakan bakteri yang secara alamiah ditemukan di dalam tubuh serangga seperti kupu-kupu, lebah, capung, lalat dan beberapa spesies nyamuk.
Bakteri Wolbachia dinyatakan aman bagi manusia dan hewan. Menurut National Environment Agency, manusia dan hewan sudah lama terpapar oleh Wolbachia. Hal ini terjadi ketika ada kontak langsung dengan serangga, memakan serangga atau memakan buah yang terinfeksi Wolbachia. Hingga saat ini, belum ada laporan Wolbachia memberikan dampak buruk bagi manusia atau hewan.
Bagaimana nyamuk Wolbachia mengehentikan penularan penyakit?
Nyamuk Wolbachia ini dilepaskan ke lingkungan untuk mengendalikan populasi nyamuk yang berpotensi menjadi vektor penyakit berbahaya.
Nyamuk Wolbachia jantan yang kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia tidak akan menghasilkan keturunan. Telur hasil keturunannya tidak akan menetas karena mengalami inkompatibilitas sitoplasma.
Inkompatibilitas sitoplasma diduga terjadi karena ada material genetik dari bakteri Wolbachia yang terbawa sperma nyamuk jantan terinfeksi Wolbachia menghambat proses pembuahan saat bertemu sel telur nyamuk betina yang tidak terifeksi Wolbachia. Tenang saja, material genetik dari Wolbachia tersebut tidak akan berpengaruh ke manusia atau hewan.
Sedangkan nyamuk betina Wolbachia yang kawin dengan jantan Wolbachia maupun tanpa Wolbachia, semuanya menghasilkan keturuanan nyamuk Wolbachia.
Dengan demikian nyamuk Wolbachia dapat menurunkan jumlah populasi nyamuk. Sehingga menurunkan penularan penyakit seperti dangue dan lainnya.
Selain itu, Wolbachia dapat melindungi nyamuk dari infeksi virus. Hal ini membuat kemampuan nyamuk dapat berkurang untuk menularkan penyakit seperti dangue, zika, chikungunya, dan virus lainnya.
Fakta apa saja yang mendukung teknologi nyamuk Wolbachia?
Teruji hasil penelitiannya
Penelitian yang dilakukan Prof. Utarini bersama tim menunjukkan bahwa terjadi penurunan kasus dangue 77.1% di daerah intervensi di Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan pelepasan nyamuk Wolbachia di daerah yang telah ditentukan.
Penelitian yang berlangsung pada tahun 2011 hingga 2020 ini merupakan kerjasama penelitian antara Fakultas Kedokteran, Kesahatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM bersama Yayasan Tahija.
Berdasarkan informasi dari Prof. Utarini dalam sebuah wawancara di stasiun TV swasta, pemilihan kota Yogyakarta bukan tanpa alasan. Pertama karena kejadian kasus DBD di Yogyakarta cukup tinggi, kedua kerena ukuran wilayahnya yang managable, ketiga karena masyarakat dan pemda semua mendukung.
Telah dikaji risiko oleh tim independen
Kajian risiko dilakukan untuk menilai agar penelitian pengembangan nyamuk Wolbachia memperhatikan aspek keamanan dan kehati-hatian sebelum melakukan pelepasan berskala luas.
Kajian risiko melibatkan tim independ yang terdiri 19 orang pakar dengan latarbelakang perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat dan kementerian.
Berdasarkan informasi dari Kemenkes dan Germas, kajian risiko terhadap pelepasan nyamuk Wolbachia di Indonesia dinyatakan memiliki risiko sangat rendah bahkan dalam kurun waktu 30 tahun ke depan dapat diabaikan peluang peningkatan bahayanya.
Masuk dalam program Kemenkes dan direkomendasaikan WHO.
Salah satu program Kemenkes tahun 2021 yaitu strategi nasional penanggulangan dangue 2021-2025. Dalam program tersebut teknologi nyamuk Wolabchia menjadi salah satu strateginya.
Sebagai tindak lanjut, Kemenkes mengeluarkan Keputusan Menetri Kesehatan No 1341 Tahun 2022 tentang pilot project penanggulangan dangue dengan Wolbachia yang akan dilaksanakan di 5 kota yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang, serta Bali.
Teknologi pengendalian vektor penyakit menggunakan nyamuk Wolbachia juga disarankan oleh Vector Control Advisory Group (VCAG) WHO pada tahun 2019. VCGA bertugas memberikan penilaian independen terhadap alat, teknologi atau pendekatan baru untuk pengendalian vektor penyakit agar dapat memberikan saran berbasis bukti.
Sebagai penutup, teknologi nyamuk Wolbachia terbukti aman dan potensial untuk diterapkan lebih luas di Indonesia. Kemenkes dan WHO mendukung berarti pakar-pakar di bidang kesehatan baik di dalam maupun di luar lembaga tersebut setuju dan menyatakan aman terkait teknologi nyamuk Wolbachia.
Pelepasan nyamuk Wolbachia harus didasarkan persetujuan masyarakat dan pemerintah setempat. Evaluasi yang konsisten dan terukur seperti yang dilakukan di Yogayakarta dapat menjadi acuan. Oleh karena itu penting melakukan sosialisasi secara benar dan secara terbuka ke masyarakat luas.
Jika ada masyarakat yang menolak, alangkah baiknya disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya sekadar menolak dengan argumentasi yang lemah dan menyudutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H