Mohon tunggu...
Akhmad Yunianto
Akhmad Yunianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Praktisi Human Resource Development

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saatnya Buruh Sejahtera

16 Januari 2014   11:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2,690,688.00

Sektor I

(Sumber : Data diolah dari Kepgur Jabar No. 561/Kep/1636-Bangsos/2013& Pergu DKI No 123/2013)

Rata-rata kenaikan upah di wilayah 3 propinsi penyangga (Jabodetabek) berkisar 17% dan menyentuh angka 2,4 juta. Adakah dengan kenaikan upah ini buruh menjadi sejahtera?

Sebagaimana kita ketahui bersama, penentuan upah dilakukan dengan musyawarah di dalam Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/kota), yang terdiri dari 29 orang anggota; 14 orang perwakilan pemerintah, 7 orang perwakilan pengusaha, dan 7 orang perwakilan pekerja, serta 1 orang dari kalangan akademisi.

Penentuan upah secara legalnya masih mengacu pada KHL 60 item (Kepmenaker No. 13 / 2012). Depekab/kota melakukan survei selama setahun dalam setiap bulan untuk memantau pergerakan harga-harga yang mencakup 60 item standard KHL tersebut.

Berdasarkan hasil survei tersebut dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan outlook pertumbuhan, maka disepakati upah minimum di Depekab/kota yang akan direkomendasikan ke Bupati untuk direkomendasikan ke Gubernur dan disahkan sebagai upah minimum kabupaten/kota.

Selalu dan hampir setiap tahun terjadi diskusi yang alot dan panjang dalam penentuan upah minimum ini. Di satu sisi perwakilan pekerja menginginkan kesejahteraan dengan adanya kenaikan upah. Di sisi yang lain pengusaha menginginkan kenaikan yang tidak memberatkan overhead cost. Dengan adanya kenaikan upah, sudah barang tentu pengusaha akan berfikir bagaimana supaya produknya tetap laku untuk menjaga kelangsungan perusahaan yang juga berdampak pada pengusaha, pekerja dan masyarakat. Pilihannya ada dua yaitu menaikkan harga produk, dengan konsekuensi penerimaan konsumen / pasar akan menurun dan beralih ke produk yang lebih murah, atau dengan menjaga stabilitas harga produk dengan melakukan efisiensi di seluruh proses produksi secara internal perusahaan. Pilihan efisiensi ini cukup dilematis, karena tidak menutup kemungkinan dilakukan dengan cara penurunan standard mutu atau otomatisasi proses produksi (meminimalisir pelibatan SDM dalam proses produksi). Pilihan terakhir yang tidak kita inginkan bersama, karena akan memunculkan pengangguran yang memiliki potensi rawan.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mencoba di tengah keterbatasan wawasan & pengetahun yang saya miliki, untuk berbagai mencari jalan alternatif yang mengantarkan buruh menuju kesejahteraan. Bicara tentang peningkatan kesejahteraan pasti identik dengan terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Dan untuk itu membutuhkan uang / materi. Akan tetapi upaya pencapaian kesejahteraan tersebut tidak harus identik dengan kenaikan upah. Sampai disini, sudah pasti pernyataan ini akan menimbulkan polemik yang panjang.

Kita harus realistis juga. Terciptanya lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan invenstasi dan industri yang ada. Kalau yang ada setiap tahun adalah tuntutan kenaikan upah terus, suatu saat industri terutama yang dari modal asing bisa hengkang dari Indonesia, yang pada akhirnya masyarakat dan kita semua akan mengalami dampaknya. Kenaikan upah buruh secara menyeluruh pada akhirnya akan diikuti dengan kenaikan biaya produksi, logistic, material, yang ujung-ujungnya harga kebutuhan di pasaran juga akan mengalami kenaikan. Sebab, hampir semua produk yang kita gunakan adalah hasil produk industri. Kenaikan upah jika diikuti dengan kenaikan harga barang di pasaran,  tidak menjadikan buruh menikmati kesejahteraan dengan kenaikan upah itu sendiri.

Jadi, perlu kita pikirkan untuk peningkatan kesejahteraan buruh dari alternatif yang lain yang mungkin bisa dioptimalkan. Yang pertama, Saya cenderung berpikir untuk kembali kepada UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang telah mengamanatkan di pasal 100 & 101, bahwa untuk peningkatan kesejahteraan buruh dapat dilakukan dengan cara : pasal 100 ayat 1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan; 2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusa­haan. 3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 101 ayat 1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan, 2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dari kutipan ayat tersebut di atas, pengusaha dan buruh bisa bekerja sama dalam upaya untuk peningkatan kesejahteraan buruh dengan kopersai atau usaha-usaha produktif di perusahaan. Dalam konteks ini, perusahaan harus bersedia dan menyediakan buruh untuk berkreasi dan berusaha dalam meningkatan kesejahteraannya. Biasanya yang sudah berjalan adalah koperasi. Di Indonesia, ada contoh pengelolaan koperasi dari suatu induk perusahaan yang mampu menaungi anak perusahaannya dan memiliki aset triliunan rupiah serta mendapatkan perhatian yang baik dari perusahaan dengan penempatan sumber daya yang kompeten dalam mengelola koperasi tersebut. Sebut saja Koperasi ASxxx, yang saya tahu bahkan mampu memberikan pinjaman lunak kepada buruh sampai di anak perusahaannya dengan nilai yang cukup besar. Bicara koperasi sebenarnya tidak hanya bicara tentang simpan pinjam, tapi juga bicara bisnis dan usaha. Di perusahaan kita tahu sudah pasti perlu office supplies, kantin, kendaraan jemputan karyawan, consumable supply yang sudah barang tentu memiliki nilai yang tidak kecil. Jika seandainya pengadaannya dilakukan oleh koperasi dengan mengambil margit profit beberapa persen, cukup lumayan untuk menambah pendapatan buruh dengan adanya pembagian sisa hasil usaha di akhir tahun buku. Pengelolaan koperasi yang baik bukanlah utopia, meskipun pada prakteknya, banyak terjadi penyimpangan & korupsi kecil, yang akhirnya membuat koperasi tidak produktif karena ulah pengurusnya.Tapi, menurut saya hal ini bukan berarti kita terus antipati dengan koperasi. Yang penting penempatan orang-orangnya yang kredibel yang bisa menjalankan kepengurusan dengan baik.

Yang kedua adalah distribusi kepemilikan saham terhadap perusahaan untuk buruh.Untuk yang ini saya pikir memang agak sulit. Tapi juga bukan sesuatu yang utopis dan butuh kebesaran hati para pemilik saham untuk bersedia berbagi sedikit atas kepemilikan saham kepada buruh. Dan untuk meraih hati para pengusaha agar bersedia berbagi untuk keberanian untuk berbicara dan negosiasi. Karena sebenarnya uang iuran buruh yang dikutip untuk organisasi serikat buruh jika dikumpulkan dapat digunakan untuk membeli saham dengan jumlah prosentase tertentu. Atau bilamana perlu buruh mempunyai wadah badan usaha yang legal yang dapat memayungi aksi-aksi bisnis korporasi dengan persetujun perusahaan. Misalnya dengan kepemilikan saham di anak perusahaan atau kepemilikan saham pada perusahaan yang menjadi supplier terhadap perusahaan tersebut.

Pengusaha perlu merubah mindset atas kepemilikan perusahaan. Pada dasarnya toh yang mengoperasikan perusahaan adalah buruh/karyawan. Apalagi perusahaan asing, sudah pasti yang menjalankan roda kegiatan perusahaan adalah buruh/karyawan lokal. Upaya aksi korporasi seperti ini kebetulan ada celah hukum yang memungkinkan buruh mendapatkan payung hukum, yaitu PP 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Perusahaan PMA, yang disebutkan di Pasal 2 ayat 1)Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a. patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia: atau
b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing.
Ayat 2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.
Pasal 7 ayat 1) Perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal dalam negeri.
Ayat 2) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak mengubah status perusahaan.

Pengalihan saham ke orang/badan hukum lokal akan memiliki multiple efek positif. Salah satunya adalah muncul sense of belonging (rasa memiliki) yang tinggi para buruh/karyawan terhadap perusahaan.Daripada saham dijual kepada segelintir orang, lebih baik dijual ke buruh/karyawan dengan payung koperasi, tentunya yang sudah berbadan hukum dan memiliki manfaat yang banyak.

Nah, jalan alternatif di atas akan dapat terlaksana dengan butuh kebesaran jiwa para pihak yang terkait, buruh, pengusaha dan pemerintah dalam berusaha untuk mencari celah-celah peningkatan kesejahteraan buruh. Sebab semuanya memiliki rantai keterkaitan yang erat. Perusahaan longlife sustainable dan terus berkelanjutan, maka lapangan kerja terjaga dan buruh dapat terus bekerja mendapatkan penghasilan dan merencanakan kehidupan bersama keluarga. Di sisi lain, masyarakat sekitar juga akan menikmati dengan kelangsungan perusahaan tersebut, mulai jasa kost/kontrakan, angkutan, maupun penyediaan barang jasa yang lain. Bagi pemerintah, ketika masyarakat mengalami peningkatan kesejahteraan dengan adanya peningkatan pendapatan, sudah pasti akan menambah pemasukan dari sektor pajak. Baik pajak perorangan maupun pajak badan usaha. Sehingga kelangsungan pembangunan dan perbaikan dapat terpelihara.

Pada akhirnya yang kita harapkan dampak positif dari ini semua adalah bukan hanya buruh sejahtera. Tapi juga seluruh lapisan masyarakat yang dapat menikmati stabilitas industri dan kelangsungan pembangunan pemerintah.

Semoga bermanfaat dan menjadi wacana yang positif & produktif.

Bekasi, Januari 2014

Akhmad Yunianto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun