Politik uang di setiap perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) terutama Pemilu Legislatif sudah lumrah terjadi dan biasa disaksikan  berlangsung di tengah masyarakat. Politik uang oleh sebagian besar politisi masih diyakini sebagai cara paling instan dan realistis mendapatkan suara masyarakat.Politik uang masih tetap tumbuh subur, karena sebagian besar Caleg partai Politik (Parpol) yang ikut dalam setiap kontestasi Pemilu legislatif masih didominasi Caleg yang muncul secara instan, karena permainan uang, bukan berdasarkan latar belakangan dan pengalaman. Rekrutmen Caleg yang dilakukan secara serampangan turut serta mendukung banyaknya bermunculan Caleg karbitan yang terbiasa memainkan politik uang.
Termasuk prilaku sebagian masyarakat yang cenderung pragmatis setiap suksesi Pemilu Legislatif berlangsung, karena kurangnya pendidikan politik. Uang masih menjadi alasan memilih calon legislatif (Caleg) daripada program kerja dan gagasan perubahan ditawarkan, tidak peduli rekam jejak, kapasitas dan pengalaman Caleg bersangkutan.
Kapasitas, rekam jejak, gagasan maupun program ditawarkan, seperti tidak mempan mempengaruhi pilihan masyarakat. Sikap pragmatis dan krisis kepercayaan terhadap para Caleg menjadikan sebagian masyarakat terkadang kehilangan rasionalitas dalam menentukan pilihan. Itulah menjadi alasan mengapa politik uang lebih menggiurkan dalam menentukan pilihan politik
Â
Politik uang juga telah melahirkan politisi karbitan yang ketika mendapatkan kesempatan menduduki jabatan sebagai anggota dewan, tidak bisa diharapkan membela dan menyuarakan aspirasi masyarakat, melalui kebijakan dan program pembangunan dijalankan pemerintah daerah.
Selain memang tidak faham mengenai program dan kebijakan pembangunan, politisi yang lahir dari politik uang akan lebih disibukkan mencari cara, bagaimana mengembalikan dana besar dikeluarkan selama Pemilu, meraih suara kemenangan di daerah pemilihan.
Politik Tanpa Uang.
Tumbuh suburnya politik uang dalam kenyataannya, menjadikan 'nyali' sebagian politisi, terutama politisi berlatar belakang aktivis NGO yang tidak cukup memiliki modal secara finansial, ciut ikut serta berkompetisi memenangkan Pemilu legislatif dan tetap abadi sebagai oposisi, tanpa bisa berbuat banyak dalam menentukan kebijakan anggaran maupun pembangunan.
Uang masih diyakini menjadi penentu kemenangan. Padahal keyakinan tersebut tidak sepenuhnya jadi jaminan. Pemilu legislatif 2019 menjadi pembuktian, banyak Caleg menghabiskan anggaran ratusan hingga miliar rupiah memainkan politik uang, justru mengalami kekalahan.
Bahkan tidak sedikit Caleg petahana tumbang menelan kekalahan, karena gagal menjaga kepercayaan konstituen selama lima tahun diberikan kepercayaan duduk sebagai anggota dewan. Pemenang Pileg 2019 justru banyak dihiasi wajah baru.
Beberapa diantaranya merupakan politisi muda, mantan aktivis NGO yang kapasitas tidak diragukan lagi, karena telah malang melintang melakukan kerja - kerja pemberdayaan sosial kemasyarakatan. Dengan kerja politik yang sungguh - sungguh, mampu menang dan terpilih sebagai anggota DPRD NTB, tanpa politik uang
Kemenangan diraih sekaligus meruntuhkan keyakinan banyak politisi yang memandang politik tanpa uang sebagai 'mitos'. Bahwa memenangkan hati rakyat bisa dilakukan melalui kerja politik, didukung tim pemenangan yang solid, turun langsung, meyakinkan masyarakat melalui program kerja, termasuk pendidikan politik, bagaimana menjadi pemilih cerdas serta melawan politik uang
Tampilnya sejumlah anak muda NTB progresif dengan latar belakang aktivis NGO sebagai pemenang pada Pemilu legislatif 2019 dan bertumbangannya Caleg petahana membuktikan, bahwa modal uang besar tidak selalu memberikan kemenangan tanpa disertai kerja dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Bertumbangannya caleg petahana termasuk caleg yang memainkan politik uang bisa menjadi pembelajaran bagi politisi lain, termasuk masyarakat, bahwa politik uang tidak selalu memberikan jaminan meraih kemenangan, tanpa disertai kerja politik secara sungguh - sungguh meyakinkan masyarakat.
Bahwa seorang politisi layak dipilih  mendapatkan mandat sebagai anggota dewan, karena memang bisa diharapkan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Karena jabatan sebagai anggota dewan sejatinya sebagai jalan memperjuangkan kemaslahatan masyarakat, bukan sekedar mencari jabatan dan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H