Namun, Yonvitner mengatakan bahwa regulasi baru ini kurang memiliki dasar ilmiah untuk mengidentifikasi lokasi penggalian potensial dan menghitung manfaat dan kerugian. Pada tahun 2021, ia menerbitkan sebuah opini menentang penambangan pasir laut, di mana ia menjelaskan risiko ekologi massif dari kegiatan tersebut, seperti kematian karang, degradasi mangrove, dan abrasi pesisir.
Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003 dan memperketat kebijakan tersebut pada tahun 2007 dalam upaya untuk melawan pengiriman ilegal, terutama ke Singapura yang telah membangun pulau-pulau utuh dari pasir Indonesia.
Sakti mengatakan bahwa penargetan penggalian pada endapan dasar laut akan membantu mengurangi lalu lintas kapal dan merehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Indonesia menjadi tuan rumah tiga jalur pelayaran komersial tersibuk di dunia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok, serta berada di persimpangan dua samudra (Samudra Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia).
"Legalisasi eksploitasi pasir laut akan semakin mengancam keberlanjutan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang saat ini sedang berjuang melawan krisis iklim," kata Susan dalam sebuah pernyataan. "Pemerintah seharusnya memberikan jaminan terhadap mata pencaharian para nelayan, perlindungan terhadap ruang produksi mereka, dan keberlanjutan ekosistem pesisir daripada merampas sumber daya alam mereka."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H