Menembus Seribu Bulan
15.15
Ku buka password telpon genggamku. Ada 3 missed call dari istriku. Aku tahu dia mengkhawatirkanku. Begitu juga kedua anakku. Mereka pasti sedang menanti dan bertanya kepada ibunya mengapa aku tidak kunjung pulang. Apalagi di sepuluh hari dipenghujung Ramadhan seperti saat ini. Selepas mandi sore, keduanya biasa duduk dikursi depan rumah, menenteng Al Qur’an dan Juz Amma, dengan raut muka penuh harap menanti kedatanganku dari tempat kerja. Seiring suara sepeda motorku yang semakin mendekat, riuh suara mereka juga pecah. Sejurus kemudian keduanya saling berebut naik ke sepeda motorku. Kami bertiga ngabuburit, mencari takjil untuk buka puasa.
Usai sholat maghrib, anak-anakku tidak pernah kekurangan energi untuk mengajakku melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Bagiku, mereka adalah malaikat yang dikirim Allah agar aku terus mengingat-Nya. Sepertiga malam bulan Ramadhan selalu menjadi kenangan tersendiri bagi kami. Bertadarus dimalam-malam itu. Beriktikaf bersama. Aku yakin mereka merindukan malam-malam ini. Begitu juga aku.
“Wa alaikum salam…akhirnya ayah video call juga,” sambut istriku dengan raut mukanya yang bersinar. Begitu juga jerit dua buah hatiku kegirangan dibelakangnya.
“Kapan ayah pulang?” teriak Aisha, anak keduaku, disebalik ibunya.
“Sebentar lagi ayah pulang ya nak….tunggu ayah ya,” kerinduanku terasa semakin memuncak melihatnya. Ingin segera kembali pulag dan menghabiskan waktu bersamanya.
“Yah…Adam dan Aisha kangen cerita Nabi…segera pulang yah, kami ingin dengar cerita Nabi!” teriak anak pertamaku sambil mencoba meraih telpon genggam ibunya. Istriku membiarkan keduanya berbicara dengan ku.
“Hmm…cerita Nabi ya? Bukannya sudah ayah ceritakan ya? Eh…tapi masih ada sih cerita lainnya…ada cerita tentang sahabat Nabi bernama Bilal bin Rabbah, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, seeruuu sekali. maauu?”
“Maauuu!” seru keduanya riang.
“Alhamdulillaaah…kita doakan agar ayah segera pulang ya?” Istriku menyela diantara keduanya.