Desa Perigi, yang kini diketahui masyarakat sebagai desa yang bertipologi perbukitan ini sesungguhnya memiliki sejarah yang pasti berbeda dari desa-desa lain yang berada di Gumi Lombok Timur. Sejarah tersebut, menjadi alasan dan cikal bakal terbentuknya nama "Perigi".
Dahulu, daerah yang saat ini dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Perigi adalah hutan belantara yang disebuah bukit dan ditumbuhi pohon-pohon besar serta semak belukar yang berbentuk duri-duri tajam. Sehingga untuk membabat hutan tersebut sangatlah sulit, dikarenakan pada saat itu sandal dan sepatu sebagai alas kaki pun bahkan belum ada.Â
Tetapi pada waktu itu, ada seorang tokoh masyarakat yang terkenal sebagai perambah hutan yang hebat. Walaupun tanpa alas kaki, Ia bahkan tidak tertusuk duri sekalipun. Maka mulailah Ia membabat hutan-hutan tersebut untuk dijadikan lahan pertanian dan lahan perkampungan. Setelah bertahun-tahun lamanya, mulailah orang-orang datang untuk membuat rumah sederhana yang berdinding tanah dan beratapkan ilalang (yang dikenal sebagai rumah adat hingga sekarang).
Tahun berganti tahun, perkembangan penduduk semakin meningkat sehingga berdirilah gubuk-gubuk kecil yang kemudian menjadi sebuah perkampungan. Kampung tersebut dinamakan Kampung Limbungan yang dipimpin oleh tokoh adat setempat. Di kampung inilah dahulu penjajah Belanda pernah ditentang oleh masyarakat Adat Limbungan agar tidak membayar upeti atau pajak hasil bumi mereka. Sehingga para penjajah Belanda sangat geram dan tidak terima.
 Akhirnya terjadilah penyerangan terhadap masyarakat Limbungan. Peperangan ini pun oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Siat Limbungan("Siat"yang berarti Perang, dan "Limbungan" yang berarti Kampung Limbungan), dipimpin oleh tokoh-tokoh adat atau yang lebih dikenal sebagai pepadu-pepadu Limbungan. Diantaranya adalah Patih Darwasih, Penganten Ratnayu, dan Guru Kepak.Â
Dalam Siat Limbungan ini, pepadu-pepadu tersebut hanya bersenjatakan alat sederhana yaitu parang dan bambu sedangkan para penjajah Belanda memiliki alat perang yang berupa senapan canggih. Sehingga masyarakat Limbungan dapat dikalahan oleh para penjajah Belanda dan semua pepadu-pepadu serta tokoh-tokoh Limbungan yang ada disekitarnya ditangkap kemudian dibuang ke Sumatera bahkan dibuang ke Aceh.
Sejalan dengan perkembangan zaman, Kampung Limbungan berganti nama menjadi Bukit Durian. Alasan pergantian nama tersebut dikarenakan letak geografis dan demografis yang berbukit-bukit serta memiliki kemiringan tanah yang dapat berpotensi bencana longsor ketika musim hujan datang.Â
Melihat keadaan tersebut, maka masyarakat setempat berbondong-bondong dan bergotong-royong untuk mengumpulkan batu-batu yang berserakan di sungai untuk dipasang secara beraturan guna menahan tanah dari bencana longsor. Pemasangan batu inilah yang dikenal dengan istilah Perigi. Perigi yang berarti "pembatas". Dari kejadian tersebutlah yang akhirnya membuat Desa Perigi terbentuk hingga saat ini, yang dikenal sebagai salah satu desa yang berada di kawasan Gumi Lombok Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H