Pandemi virus corona telah menyerang hampir ke seluruh dunia. Per tanggal 26 Maret 2020 telah ada total sebanyak 471.820 kasus. Kejadian ini hampir mematikan perekonomian dunia melalui masing-masing sektornya, tidak terkecuali dengan industri pariwisata yang tentunnya berdampak simetris terhadap industri pariwisata di Indonesia.
Sebelum virus corona menyebar, beberapa lembaga internasional memprediksi industri pariwisata akan mengalami peningkatan dari tahun ketahun.Â
Bahkan Indonesia sangat percaya diri bahwa pariwisata dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Namun, semua itu berubah ketika mimpi buruk virus corona datang, semua potensi lenyap dan tidak teraih.
Kehadiran virus corona (COVID-19) saat ini membuat pariwisata Indonesia lesu. Dampak terbesar diakibatkan dari adanya pembatasan seluruh penerbangan dari dan ke luar negeri oleh pemerintah Indonesia.Â
Melalui data kunjungan yang dilansir dari Kemenparekraf bahwa kunjungan wisman ke Indonesia melalui seluruh pintu masuk mengalami penurunan sebanyak 7,62% untuk periode Januari 2020 (1.272.083 kunjungan wisman) dibanding Desember 2019 (1.377.067 kunjungan wisman).Â
Lalu berdasarkan kebangsaan, Singapore menjadi negara yang memberikan penurunan kunjungan terbesar yaitu menurun 33,12% untuk periode Januari 2020 (138.625) dibanding Desember 2019 (207.263).
Penurunan jumlah kunjungan wisatawan tentunya berpengaruh terhadap tingkat penghunian kamar hotel bintang di Indonesia.Â
Dalam laporan PHRI terkait perkembangan industri hotel dan restoran dampak dari pandemic Covid-19 mencatat bahwa occupancy rate hotel di Indonesia dalam rentang waktu 1-14 Maret 2020 telah dibawah 50%, hal ini menunjukkan sektor hotel mengalami kesulitan cash flow dan kerugian.Â
Lalu untuk sektor restoran pada bulan Maret 2020 terjadi penurunan omset penjualan sebesar 25-50% dari kondisi penjualan saat normal. Â
Penurunan yang tajam ini terjadi sejak dikeluarkannya Nota Dinas dari beberapa Kementrian dan Lembaga yang memberikan instruksi untuk tidak mengadakan rapat atau acara yang mengumpulkan orang banyak, karena dapat diketahui bahwa segmen pasar pemerintah bagi sektor hotel sangat dominan diseluruh wilayah Indonesia dibanding segmen pasar wisatawan.
Belum lagi industri tour and travel yang juga ikut menjerit, hilangnya beberapa permintaan perjalanan ditambah beberapa perusahaan asuransi menolak adanya nasabah baru untuk asuransi perjalanan.Â
Kerugian yang cukup besar dirasakan dari banyaknya penundaan perjalanan yang sudah tercatat sebelumnya, mau tidak mau perusahaan tour and travel memberikan status unpaid leave bagi para karyawannya untuk menekan pengeluaran perusahaan.
Sebenarnya Indonesia telah membuat paket stimulus untuk memerangi dampak Covid-19 sebelum virus tersebut menyebar luas di Indonesia, di antaranya yaitu diskon untuk kunjungan domestik di sepuluh tujuan wisata yang dipromosikan oleh pemerintah dengan anggaran 443 miliar, diskon bahan bakar jet oleh PT Pertamina dengan anggaran 265 miliar, pemasaran dan promosi pariwisata dengan anggaran 103 miliar, insentif untuk maskapai dan agen perjalanan dengan anggaran 98.5 miliar, dan promosi wisata melalui influencer media sosial dengan anggaran 72 miliar.
Namun kemudian, beberapa stimulus tersebut ditunda dalam upaya mencegah dan menguragi penyebaran virus corona (Covid-19) yang ditandai dengan adanya Instruksi Presiden (INPRES) nomor 4 tahun 2020 yang terbit pada 22 Maret 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran, serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Namun, pertanyaannya apakah kita kemudian harus menyesali kondisi ini? Tentu tidak.
Kehadiran virus corona dapat dilihat sebagai peluang dalam industri pariwisata untuk memulai budaya pariwisata baru di Indonesia. MarkPlus Tourism memberitahukan bahwa perilaku wisatawan akan berubah sesuai krisis covid-19 ini.Â
Perubahan perilaku wisatawan untuk mengutamakan keamanan dan keselamatan ketika melakukan perjalanan. Maka, Indonesia harus memprioritaskan kesiapan destinasi dalam sistem keamanan dan pencegahan bencana dilevel destinasi.
Disamping itu, wisatawan, terutama yang berasal dari Gen-Y dan Post-Millenial akan lebih cepat mengadopsi konsep sustainable tourism, sehingga Indonesia harus segera mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan yang terdiri dari sustainability management, sosial & ekonomi, budaya dan lingkungan.Â
Karena pada dasarnya ekspektasi wisatawan ketika berkunjung ke suatu destinasi yaitu untuk mendapatkan pengalaman baru dan unik khas destinasi tersebut, sehingga sudah saatnya destinasi berubah menjadi destinasi yang berkualitas.
Untuk menjadi destinasi yang berkualitas, maka faktor safety & security, hygiene, accesibility, communication, infrastructures, public amenities & services, serta etika transparansi dan rasa menghargai kepada sesama, alam dan budaya wajib terpenuhi.Â
Dengan menerapkan konsep destinasi yang berkualitas, maka diharapkan destinasi yang sebelumnya berorientasi kepada jumlah kunjungan wisatawan dapat membuat pariwisatanya lebih berkualitas dibanding destinasi yang hanya berorientasi pada kuantitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H