Mohon tunggu...
Akbar Ramadhan
Akbar Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Periset dan Content Writer Validnews.id

Akbar Ramadhan merupakan lulusan S1 Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga. Saat ini, bekerja di Validnews.id sebagai Periset dan Content Writer.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture dalam Skandal Perundungan Anak Figur Publik

23 Februari 2024   10:39 Diperbarui: 23 Februari 2024   10:39 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, sedang viral kasus perundungan yang diduga melibatkan anak seorang seniman dan presenter berita kondang, yakni Vincent Rompies dan Arief Suditomo. Tagar bertuliskan "Binus" dan "Vincent" menjadi dua isu teratas di Twitter pada tanggal 21 Februari 2024. Isu ini pertama kali diangkat oleh seorang warganet di media sosial Twitter.

Pasca berita perundungan ini viral, kolom komentar akun Instagram milik Vincent Rompies selaku orang tua dari salah satu terduga pelaku perundungan, ramai dikomentari warganet. Sementara itu, akun Instagram milik Arief Suditomo saat ini terpantau dalam mode private.

Munculnya berbagai sentimen negatif yang melanda Vincent dan Arief tak lepas dari adanya faktor "cancel culture" yang semakin melekat pada masyarakat, khususnya di negara demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Lantas, apa yang dimaksud dengan "cancel culture"? Simak penjelasannya, seperti berikut ini.

Makna Dari Cancel Culture

Menyitir dari Britannica, cancel culture atau bisa juga disebut callout culture merupakan pembatalan dukungan terhadap individu dan karya public figure karena pendapat atau tindakan mereka ataupun orang yang berkaitan dengan figur publik tersebut yang dianggap tak menyenangkan dan melanggar norma bagi banyak pihak.

Orang-orang tersebut biasanya pertama kali dipanggil di media sosial untuk memperbesar pengetahuan publik tentang dugaan pelanggaran yang mereka lakukan, yang kemudian diikuti dengan kampanye pembatalan. 

Pembatalan ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, termasuk memberikan tekanan pada organisasi untuk membatalkan penampilan publik atau ceramah seseorang . Bila pada kasus bisnis yang dianggap tak etis, maka kampanye yang dilakukan dapat berupa mengorganisir boikot terhadap produk mereka.

Cancel Culture di Indonesia

Selebriti, pejabat, dan aparat sering kali menjadi sasaran pembatalan kampanye. Sebelum kasus perundungan yang melibatkan anak seorang public figure, terdapat beberapa kasus yang menyeret seorang pejabat dan aparat. Misalnya, kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh Mario Dandi dan teman-temannya.

Isu tersebut kemudian viral, bahkan seluk beluk keluarga pelaku terungkap di media massa, yang ternyata seorang anak dari  pejabat di Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Buntut dari kasus tersebut dan banyaknya kecaman yang dilontarkan wargenet menyebabkan Rafael mengundurkan diri dari jabatannya. Tak hanya itu, kasus gratifikasi yang melibatkan dirinya akhirnya ikut mencuat pasca kasus yang melibatkan anaknya viral.

Kemudian, kasus penembakan terhadap seorang polisi bernama Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang didalangi oleh perwira polisi sekaligus pimpinan korban, yakni Ferdy Sambo.

Awalnya, kematian Brigadir Yosua disebutkan karena insiden saling tembak dengan Bharada Richard Eliezer. Saling tembak itu dipicu dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir Yosua terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi. Tetapi, karena diduga banyak kejanggalan dan banyaknya desakan warganet untuk mengusut ulang kasus ini, diketahuilah bahwa sebab kematian Brigadir Yosua bukan karena peristiwa tembak-menembak, melainkan aksi penembakan yang didalangi oleh Ferdy.

Atas kejahatannya, Ferdy diberhentikan secara tidak hormat dari kepolisian dan dikenakan hukuman penjara seumur hidup.

Cancul culture tak hanya menjerat seseorang, tetapi juga suatu entitas bisnis. Misalnya, kasus yang menyeret usaha kelab malam, Holywings atas kegiatan promosi minuman alkohol gratis bagi mereka yang bernama "Muhammad" dan "Maria". Buntut dari promosi tersebut menyebabkan outlet-outlet Holywings di beberapa kota ditutup oleh otoritas daerah.

Selain itu, isu viral yang melanda usaha restoran "Babiambo", yang menyajikan menu makanan khas Minang dengan daging babi. Restoran tersebut banyak dicibir warganet di media sosial sehingga menjadi isu yang kontroversial.

Banyaknya cibiran dari warganet, membuat Sergio selaku pemilik restoran Babiambo terpaksa menutup usahanya yang baru berjalan sekitar empat bulan.

Sisi Positif dan Negatif Cancel Culture

Seperti kebanyakan budaya, cancel culture memberikan pro dan kontra bagi banyak pihak.

Keberadaan cancel culture memberikan tiga hal positif bagi pihak yang pro terhadap budaya ini. Pertama, memungkinkan masyarakat yang terpinggirkan untuk mencari keadilan ketika sistem peradilan gagal. Kedua, memberikan suara kepada orang-orang yang kehilangan haknya atau kurang berkuasa. Ketiga, dapat menjadi sebuah bentuk boikot baru dan taktik yang dijunjung tinggi dalam gerakan hak-hak sipil untuk membawa perubahan sosial.

Sisi negatif dari cancel culture setidaknya meliputi dua hal. Pertama, budaya tersebut sama saja dengan intimidasi secara online serta dapat memicu kekerasan dan ancaman yang bahkan lebih buruk daripada pelanggaran yang dilakukan oleh si pelaku/ tokoh yang diintimidasi. 

Kedua, cancel culture mengarah pada intoleransi dalam masyarakat demokratis karena masyarakat secara sistematis mengecualikan siapa pun yang tak setuju dengan pandangan mereka.

Berdasarkan berbagai hal telah diulas sebelumnya, cancel culture dalam kasus perundungan yang melibatkan anak public figure, di satu sisi merupakan suatu hal yang positif. Adanya berbagai pihak yang mengangat isu ini, menjadi sebuah bentuk dukungan moral masyarakat terhadap korban perundungan.

Akan tetapi, tetap diperlukan sikap yang bijaksana dari warganet pada kasus perundungan ini. Jangan sampai, tindakan yang awalnya positif berubah menjadi negatif dengan adanya berbagai intimidasi dan hujatan yang dilayangkan kepada pelaku perundungan dan keluarganya.

Referensi:

https://www.britannica.com/story/pro-and-con-is-cancel-culture-good-for-society

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun