energi semakin gencar digaungkan di dunia, tak lepas juga Indonesia. Polusi yang semakin parah, yang salah satunya disebabkan oleh emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTU Batu bara, mendorong semua negara untuk lekas mengembangkan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Isu mengenai transisiBelakangan ini, pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya untuk mengembangkan energi alternatif, yakni pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang ramah lingkungan dengan membentuk tim pembangunan PLTN, Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) yang beranggotakan Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Menteri/kepala Lembaga terkait, anggota DEN, serta Ketua Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN). Tim tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif bertugas sebagai ketua harian.
Sebenarnya, upaya untuk mengembangkan energi nuklir telah dilakukan sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno. Lantas, bagaimana upaya pengembangan energi nuklir di Indonesia, sejak dulu hingga saat ini?
Era Orde Lama
Pada era perang dingin antara blok barat dan blok timur, penggunaan nuklir menjadi semakin masif, baik untuk pengembangan peralatan militer maupun sumber energi. Oleh karena itu, Presiden Soekarno memandang bahwa nuklir merupakan teknologi penting yang wajib dikuasai dan dikembangkan di Indonesia demi tujuan-tujuan damai, yakni sebagai sumber energi.
Kemudian, guna merealisasikan pemikiran Presiden Soekarno, maka dibentuklah Panitia Penyelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PRRTA) pada 23 November 1954 berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 230 Tahun 1954. Lembaga itu kemudian berganti nama menjadi Lembaga Tenaga Atom pada 5 Desember 1958 dan lanjut berganti nama menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada Maret 1965. Guna mendukung kinerja BATAN, maka ditetapkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Era Orde Baru
Pasca lengsernya Presiden Soekarno, ambisi bangsa Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir tetap dilanjutkan oleh Presiden Soeharto.
Pada 1978, muncul wacana untuk menjadikan nuklir sebagai pembangkit Listrik di tanah air. Kala itu, ilmuwan tanah air yang membuat kajian ilmiah terkait energi nuklir.
Nahasnya, kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl di Uni Soviet pada 26 April 1986 membuat semangat untuk mengembangkan energi nuklir nasional pun menurun. Selain itu, peristiwa tersebut juga menyebabkan sentimen negatif di masyarakat terhadap penggunaan energi nuklir.
Pada rentang 1991-1996, muncul kembali wacana untuk mengembangkan energi nuklir. Niat itu semakin kuat, ketika pemerintah menginstruksikan untuk melakukan studi kelayakan di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Selain itu, juga diterbitkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran.