Mohon tunggu...
Akbar MuhammadLuthfi
Akbar MuhammadLuthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya memiliki ketertarikan mendalam terhadap dinamika global, diplomasi, serta kebijakan internasional yang membentuk interaksi antarnegara. Saya tertarik untuk memahami berbagai isu politik, ekonomi, dan sosial yang memengaruhi hubungan antarbangsa, baik itu dalam konteks perdamaian, keamanan, maupun konflik internasional. Studi saya mencakup analisis terhadap teori-teori hubungan internasional, serta penerapan konsep-konsep tersebut dalam permasalahan dunia nyata. Saya juga sangat tertarik dengan peran lembaga internasional, hak asasi manusia, serta kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara-negara besar dalam mengatasi isu-isu global. Sebagai bagian dari komunitas akademis ini, saya terus mengembangkan kemampuan analitis dan kritis, serta meningkatkan pemahaman saya tentang bagaimana negara-negara merespons tantangan global yang semakin kompleks.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

New Report Selandia Baru dan Peran Lembaga Non-Pemerintah dalam Implementasi Hukum Humaniter Internasional

11 Januari 2025   09:03 Diperbarui: 11 Januari 2025   09:03 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penerapan hukum humaniter internasional (HHI) merupakan elemen penting untuk menjaga martabat manusia di tengah konflik bersenjata. HHI, yang sering disebut juga sebagai hukum konflik bersenjata, mengatur batasan tentang bagaimana perang dapat dilakukan. Aturannya melindungi mereka yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, seperti warga sipil, tawanan perang, dan tenaga medis. Konvensi Jenewa 1949 menjadi landasan utama hukum ini, mengatur standar perlindungan minimum selama perang. Namun, tantangan terbesar penerapan HHI adalah memastikan negara-negara patuh, terutama di tengah konflik yang kompleks. Tidak seperti perjanjian kemanusiaan lainnya, Konvensi Jenewa tidak mewajibkan laporan rutin atau pertemuan tahunan untuk mengevaluasi penerapannya. Langkah ini membuat kepatuhan terhadap HHI sangat bergantung pada inisiatif masing-masing negara. Sejak 2011, upaya global untuk menciptakan kerangka kerja sukarela dalam meninjau penerapan HHI terus menghadapi hambatan politik. Sebagai alternatif, pada tahun 2019, Konferensi Internasional Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mendorong pendekatan berbasis laporan nasional sukarela. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan transparansi dan berbagi praktik terbaik antarnegara tanpa menciptakan tekanan politik berlebihan.

Di tengah upaya ini, Selandia Baru menjadi salah satu negara yang proaktif dengan menerbitkan laporan nasional sukarela tentang penerapan HHI. Laporan ini diluncurkan bersamaan dengan peringatan 75 tahun Konvensi Jenewa 1949, yang menegaskan kembali komitmen Selandia Baru untuk melindungi martabat manusia selama konflik bersenjata. Dalam laporan tersebut, Selandia Baru memetakan kewajibannya berdasarkan HHI dan bagaimana kewajiban itu diterapkan dalam hukum serta kebijakan domestik. Salah satu poin penting dalam laporan ini adalah keterlibatan berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah dalam penerapan HHI. Misalnya, Departemen Pertahanan, Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, serta Palang Merah Selandia Baru memainkan peran signifikan. Palang Merah secara aktif menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi siswa dan masyarakat umum untuk meningkatkan pemahaman tentang hukum perang dan nilai-nilai kemanusiaan. Langkah kolaboratif seperti ini menunjukkan bagaimana lembaga nonpemerintah dapat menjadi mitra penting dalam memastikan penerapan HHI yang efektif.

Dalam laporan ini, Selandia Baru mencatat beberapa celah dalam penerapan HHI. Meski Selandia Baru memiliki catatan baik dalam meratifikasi perjanjian internasional dan mengadopsinya ke dalam hukum domestik, negara ini belum memiliki rencana aksi komprehensif yang melengkapi laporan tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat negara seperti Swiss telah melangkah lebih jauh dengan menyusun rencana aksi publik untuk memperkuat kepatuhan terhadap HHI. Kasus seperti Operasi Burnham di Afghanistan menjadi refleksi terhadap Selandia Baru dalam menangani dugaan pelanggaran oleh pasukan militernya. Penyelidikan atas operasi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap hukum perang. Langkah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi negara lain yang ingin meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam operasi militernya.

Laporan Selandia Baru mengenai penerapan Hukum Humaniter Internasional (HHI) menggambarkan langkah positif negara ini dalam memastikan perlindungan martabat manusia selama konflik bersenjata. Dengan meluncurkan laporan nasional sukarela, Selandia Baru menunjukkan komitmennya untuk memenuhi kewajiban yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Konvensi ini mengatur perlindungan bagi individu yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, termasuk warga sipil, tawanan perang, dan tenaga medis. Namun, di balik komitmen ini, terungkap juga bahwa penerapan HHI memerlukan pengawasan lebih mendalam agar negara-negara dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan yang terkandung dalam hukum tersebut.

Penerapan HHI di Selandia Baru mencakup pengakuan terhadap kewajiban hukum internasional dan upaya pengintegrasian hukum tersebut ke dalam kebijakan domestik. Selandia Baru telah meratifikasi sebagian besar perjanjian internasional utama terkait HHI dan mengimplementasikannya melalui peraturan-peraturan domestik. Misalnya, Selandia Baru mengadopsi aturan-aturan yang mengatur tentang perlindungan tawanan perang dan perlindungan terhadap warga sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Adanya aturan ini menunjukkan bahwa Selandia Baru telah berupaya sebaik mungkin untuk memastikan bahwa hukum internasional diikuti dengan memadai di tingkat domestik. Keterlibatan lembaga pemerintah, seperti Departemen Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, dalam menegakkan hukum ini menjadi bukti bahwa penerapan HHI bukan hanya tugas satu lembaga, tetapi harus melibatkan seluruh elemen pemerintahan untuk memastikan integritas hukum tersebut.

Peran lembaga nonpemerintah, seperti Palang Merah Selandia Baru, juga sangat penting dalam memperkuat penerapan HHI. Melalui kegiatan pendidikan dan seminar yang diselenggarakan, lembaga ini berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan institusi pendidikan tentang prinsip-prinsip hukum perang dan kemanusiaan. Inisiatif ini tidak hanya membantu memperluas pemahaman, tetapi juga membentuk budaya penghormatan terhadap hak-hak manusia dan standar-standar hukum internasional yang harus diikuti dalam situasi perang. Keterlibatan lembaga nonpemerintah ini menunjukkan bahwa penerapan HHI tidak dapat sepenuhnya bergantung pada pemerintah saja, melainkan memerlukan kolaborasi antara sektor publik dan masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan yang lebih sensitif terhadap isu-isu kemanusiaan. Oleh karena itu, model yang diadopsi Selandia Baru, yang melibatkan lembaga nonpemerintah dalam pendidikan dan advokasi, patut dicontoh oleh negara-negara lain yang ingin memperkuat penerapan HHI.

Laporan Selandia Baru tidak hanya memuat upaya pemenuhan kewajiban internasional, tetapi juga mengakui adanya celah dalam implementasinya. Meskipun negara ini memiliki rekam jejak yang baik dalam meratifikasi konvensi internasional, laporan ini mengidentifikasi pentingnya menyusun rencana aksi untuk mengatasi kesenjangan dalam penerapan HHI. Ini menjadi langkah penting, mengingat bahwa negara-negara lain, seperti Swiss, telah terlebih dahulu merumuskan rencana aksi untuk memperkuat kepatuhan terhadap HHI. Penyusunan rencana aksi ini akan memberikan arah yang jelas bagi Selandia Baru untuk melangkah lebih jauh dalam upaya penerapan HHI dan memberikan standar bagi negara-negara lain dalam menanggapi tantangan serupa. Melalui rencana aksi yang lebih terstruktur, Selandia Baru dapat memperbaiki aspek-aspek yang masih kurang dalam penerapan hukum ini, misalnya dalam hal pengawasan dan penegakan hukum terhadap individu yang melanggar ketentuan HHI.

Salah satu contoh konkret dari upaya perbaikan yang dilakukan Selandia Baru adalah respons terhadap Operasi Burnham, yang melibatkan pasukan Selandia Baru di Afghanistan. Penyelidikan atas dugaan pelanggaran oleh pasukan NZSAS dalam operasi ini menunjukkan komitmen Selandia Baru untuk menegakkan prinsip-prinsip HHI dalam praktik. Penyelidikan tersebut mengarah pada serangkaian rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam operasi militer. Langkah ini memberikan contoh yang sangat baik bagi negara-negara lain, terutama yang terlibat dalam operasi militer internasional, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan dan praktik yang ada. Penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang kebal terhadap hukum, dan semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata harus mematuhi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang telah disepakati secara internasional.

Meskipun tantangan terbesar dalam penerapan HHI adalah mengatasi kendala politik dan ketidaktertarikan sebagian negara dalam melakukan pelaporan atau mengikuti mekanisme evaluasi internasional, laporan Selandia Baru memberikan contoh yang berbeda. Melalui penerbitan laporan nasional sukarela, negara ini tidak hanya menunjukkan komitmennya terhadap HHI tetapi juga memberikan teladan bagi negara-negara lain yang mungkin enggan melakukan langkah serupa. Laporan nasional ini memungkinkan Selandia Baru untuk berbagi praktik terbaik dan memberi inspirasi kepada negara lain untuk menerapkan HHI secara lebih transparan dan terbuka. Pendekatan ini, meskipun bersifat sukarela, memperlihatkan bahwa negara yang berkomitmen terhadap HHI dapat tetap melakukan evaluasi terhadap penerapannya sendiri dan melakukan upaya perbaikan yang diperlukan tanpa adanya paksaan dari negara lain.

Secara tidak langsung laporan yang diterbitkan oleh Selandia Baru tentang penerapan HHI menunjukkan komitmen kuat negara terhadap perlindungan hak asasi manusia di tengah konflik bersenjata. Keterlibatan berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta kesadaran akan adanya celah dalam penerapan hukum menunjukkan bahwa penerapan HHI memerlukan upaya berkelanjutan dan kolaborasi lintas sektor. Model yang diadopsi Selandia Baru ini memberikan harapan bagi negara lain untuk mengikuti jejak tersebut dan memperkuat penerapan HHI di tingkat nasional. Melalui langkah-langkah yang lebih terstruktur dan kolaboratif, negara-negara dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum humaniter internasional tetap dihormati dan ditegakkan dalam segala kondisi, sehingga martabat manusia tetap terlindungi dalam setiap konflik bersenjata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun