Manusia merupakan makhluk ciptaan tuhan dengan bentuk yang diturunkan pada tingkatan kompleksitas yang beragam. Keberadaan manusia di dalam kehidupan di dunia seperti hembusan angin yang selalu bergerak ke arah barat, timur,utara, dan selatan sebab manusia dilahirkan tidak hanya berhenti pada satu titik saja.
Dampak dari sifat manusia yang terus mengalami perubahan mengakibatkan dunia yang berada pada genggamannya terus melaju pesat yang mengakibatkan perubahan dari setiap zaman.
Pada awalnya manusia lahir dengan penyembahan pada benda – benda yang dianggapnya memiliki kekuatan, kemudian berubah pada penyembahan petir, hujan, matahari dan segala macamnya (Soekarno, 2006).
Perkembangan manusia terus mengalami perkembangan di mana pada awalnya yang melakukan kegiatan berburu dalam kegiatan berekonomi kemudian berubah melakukan kegiatan bertani.
Kegiatan – kegiatan manusia yang mengalami kemajuan menyebabkan terbentuknya nalar manusia yang diciptakan dengan akal untuk menciptakan alat yang membantu kemudahan dalam bekerja.
Alasan itu membuat kondisi dunia yang semakin berkembang pesat menyebabkan terjadinya proses modernisasi. Proses modernisasi sendiri terbentuk pada abad ke- 15 (Setiadi, 2006). Modernisasi dapat diartikan sebagai bentuk peradaban dunia dengan munculnya teknologi dalam kehidupan manusia.
Modernisasi sendiri merupakan keadaan yang tidak dapat dibendung keberadaannya, karena pola pemikiran manusia yang bersifat dinamis. Tanda dari keberadaan modernisasi adalah terjadinya perubahan dari berbagai lini kehidupan, tidak terkecuali dalam moralitas pada setiap diri individu.
Moral sendiri menurut Chaplin adalah komponen yang menyinggung akhlak, tingkah laku, perilaku baik dan buruk, dan tataran mengenai norma yang mengatur perilaku (Reza, 2013) .
Moral masyarakat pra modern dengan masyarakat modern memiliki perbedaan sebab hal ini didasarkan dari berbagai klasifikasi. Perkembangan yang dapat dilihat dari zaman modern adalah pembagian kerja.
Pembagian kerja itu terjadi jika dilihat dari pemikiran Durkheim pembagian kerja memberikan spesifikasi pada kebutuhan kerja yang semakin spesifik (Wirawan, 2012).
Keberadaan pembagian kerja pada masyarakat modern memberikan perubahan moral pada tingkatan induvidualisnya. Kondisi masyarakat pada zaman pra modern memiliki tingkatan kesadaran tinggi akan keberadaan makna manusia di dunia sebagai satu kesatuan yang utuh untuk saling melengkapi.
Kesadaran itu mengakibatkan manusia berada pada tataran kolektif yang tinggi. Berbeda pada masyarakat modern mungkin saja semboyan yang dianut adalah “ kebebasan meraih keuntungan”. Semboyan itu diakibatkan pada konteks nilai individualitas yang dipegang teguh. Tujuan akhir dari nilai individualitas adalah persaingan secara bebas.
Persaingan itu disebabkan pada faktor pemenuhan ekonomi yang sebagai pelarian yang ditujunya. Alasan persaingan adalah perebutan sumber daya yang terus dieksploitasi demi memperoleh keuntungan.
Dasar dari alasan itu adalah orientasi marxisme yang menjadi pegangan manusia. Marxisme sendiri selalu berlandaskan materi pada jalannya kehidupan.
Posisi materi yang sudah berputar pada otak manusia memberikan efek pada pola pikir kemenangan pada dirinya sendiri daripada harus membagi nasib yang belum tentu mendapatkan keuntungan besar.
Posisi moral pada manusia modern terus mengalami pergerusan yang semakin berada pada ambang kebingungan dalam memaknai kehidupan. Kebingungan dalam pemaknaan kehidupan berkaitan pada identitas diri pada kondisi yang kalang kabut. Berdasarkan pemikiran dari Erich Fromm memahami identitas diri dengan memaknainya sebagai keberadaan (Santoso, 2019).
Identitas diri pada tataran pangkuan keberadaan memberikan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia. Kesadaran diri pada keberadaan manusia memberikan suatu efek ke pada diri seseorang untuk menjalani kehidupan secara humanis.
Kondisi yang ada saat ini manusia memahami identitas dirinya sebagai mempunyai yang berakibat pada munculnya rasa egoisme pada otak dan emosi manusia. Egoisme yang mengkar kuat menunjukan jati diri manusia sebagai makhluk yang tercipta ke dunia dengan keadaan saling menundukan.
Rasa egoisme juga memberikan pemaknaan yang buruk untuk menjadi stimulus pada diri. Penundukan itu menjelma pada aturan – aturan yang terorganisir secara rapi untuk menundukan manusia, agar individu tidak bisa membangkang pada ruang kehidupan.
Pembentukan nilai – nilai pada orientasi kehidupan sering kali membuat masyarakat menjadi tertunduk dan berakibat pada rasa pasif dalam diri seseorang.
Keserakahan manusia menjadi moralitas yang sering dipertontonkan manusia modern saat ini. Kondusifitas kehidupan damai dan saling toleransi yang selalu diimpikan manusia menjadi lepas begitu saja.
Banyak fenomena ditemukan di mana demi sebuah kekuasaan manusia rela melakukan segala cara demi menduduki tujuan tersebut. Jiwa – jiwa manusia modern mulai melepaskan diri terhadap ruang nilai – nilai agama.
Nilai agama berdasarkan Wiemans memberikan nilai hidup bermanfaat secara kemanusiaan dan efisien pencapain tujuan (Ismail, 2012). Pencapaian kehidupan manusia modern harus berpegang pada harapan rasional.
Referensi
Ismail, R. (2012). Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan Beragama). Religi, 8(1), 1–12. https://doi.org/DOI
Reza, I. F. (2013). Hubungan Antara Religiusitas Dengan Moralitas Pada Remaja Di Madrasah Aliyah (Ma). Humanitas, 10(2), 45–58. https://doi.org/10.26555/humanitas.v10i2.335
Santoso, H. T. (2019). Revolusi Harapan. Yogyakarta: IRCiS0D.
Setiadi, E. M. (2006). ilmu sosial dan budaya dasar. jakarta: kencana.
Soekarno. (2006). Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media Pressindo.
Wirawan, I. . (2012). Teori - Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Prendamedia Group.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H