Download Paper: http://sphinxsai.com/2016/ch_vol9_no12/2/%28529-533%29V9N12CT.pdf
Referensi: Tahya  AM,  Zairin  MJr,  Boediono  A,  Artika  IM,  Suprayudi  MA.  2016.  Important role of mandibular organ in molting, growth, survival of mud crab Scylla olivacea. IJ Chemtech Resear. 9(12):529-533
Molting merupakan fenomena biologis yang menjadikan krustasea berganti karapas. Karapas lama akan digantikan oleh karapas baru dengan ukuran yang lebih besar. Fenomena ini terjadi karena adanya kebutuhan untuk bertumbuh, regenerasi, reproduksi dan stres akibat lingkungan. Salah satu spesies dari krustasea yang memiliki nilai jual tinggi adalah kepiting bakau. Kepiting bakau menjadi salah satu primadona dan menjadi pilihan yang tepat bagi para pembudidaya di Indonesia untuk mengisi lahan tambak yang kosong agar lebih produktif. Kepiting bakau di Indonesia terdiri dari beberapa spesies yakni Scylla serrata, S. paramamosain, S. transquebarica, dan S. olivacea, yang semuanya memiliki nilai ekonomis penting dan prospek dikembangkan. Munculnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengkonsumsi makanan dari hasil-hasil perairan menjadi salah satu faktor meningkatnya permintaan terhadap komoditi perikanan, termasuk kepiting dan krustasea lainnya. Untuk memenuhi permintaan terhadap kepiting, para pembudidaya dituntut untuk melakukan pengembangan kegiatan produksi.
Dalam kegiatan akuakultur, fenomena molting dimanfaatkan untuk menghasilkan kepiting lunak. Pemotongan anggota badan merupakan salah satu pendekatan untuk menginduksi kepiting untuk berganti karapas. Penghilangan kaki jalan berhasil menginduksi kepiting untuk melakukan pergantian karapas (Chang dan Mykles 2011; Karim 2007). Pada kepiting raksasa (Paralithodes camtschaticus) penghilangan duri dapat mempercepat munculnya premolt (Dvoretsky dan Dvoretsky 2012). Begitupun dengan ablasi tangkai mata pada Oziotelphusa senex senex (Sainath dan Reddy 2010). Belakangan pendekatan tersebut dinilai tidak ramah terhadap organisme dan menghasilkan mortalitas yang tinggi. Selain itu pemotongan kaki jalan mengakibatkan bentuk dan ukuran menjadi tidak proporsional setelah molting.
Pendekatan fisiologis hormonal merupakan salah satu terobosan yang dapat dilakukan dalam akuakultur. Secara fisiologi jalur stimulasi organ penghasil hormon molting memungkinkan untuk dikaji dan diaplikasikan. Salah satu organ potensial, namun kajiannya masih terbatas adalah Organ Mandibular (OM). Pada krustasea, OM pertama dikemukakan oleh Le Roux (1968). Awalnya faktor kedekatan secara anatomis dan kemiripan histologi antara OM dan organ Y (OY) menyulitkan identifikasi, namun saat ini kedua organ tersebut sudah dapat dibedakan dengan baik berdasarkan kandungannya (Nagaraju et al. 2004).
Kajian OM pada kepiting bakau masih sangat terbatas, sementara pengetahuan terkait organ tersebut sangat dibutuhkan. Kajian sebelumnya telah berhasil mengidentifikasi keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase(FAMeT) dalam OM pada spesies S. olivacea (Tahya et al.2016; Sunarti et al. 2016), sehingga menjadi pembuka kajian-kajian yang berkaitan dengan OM dan peranannya dalam proses molting. Kajian OM diharapkan menjadi terobosan dalam teknologi pemoltingan kepiting bakau, sehingga berkontribusi sebagai jalan keluar atas permasalahan yang ada. Oleh karenanya kajian terhadap peranan OM dalam menstimulasi molting, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup sangat penting untuk dilakukan.
Respon Molting terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular
Hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap respon molting kepiting bakau.
Penyuntikan ekstrak OM menghasilkan persentase molting yang beragam. Persentase molting pada perlakuan 1-O/7 yang jauh lebih tinggi mengindikasikan peranan OM sebagai stimulan bagi hormon molting. Menarik untuk dicermati bahwa pada beberapa perlakuan memiliki pengaruh yang sama berdasarkan hasil uji lanjut, sedangkan penyuntikan yang digunakan adalah dosis ekuivalen yang berbeda. Pemberian dosis penyuntikan dengan konsentrasi tinggi tidak berhasil meningkatkan persentase molting, demikian pula pada konsentrasi yang lebih rendah.
Adanya rentang masa laten yang panjang pada beberapa kelompok kepiting mengindikasikan bahwa perlakuan tidak mampu memberikan stimulasi terhadap molting. Kecepatan molting yang dihasilkan pada kepiting perlakuan kontrol, 1-O/1, 1-O/2, dan 1-O/3 belum dapat dijadikan indikator keberhasilan stimulasi, oleh karena kepiting bakau tidak menunjukkan keserentakan molting. Kepiting dalam kelompok perlakuan 1-O/7 mengalami molting pada rentang waktu 26 hingga 35 hari. Jika dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lebih tinggi, maka dapat dikatakan bahwa perlakuan 1-O/7 dan beberapa dosis rendah lainnya mengalami molting yang relatif lebih lama.
Masa laten yang lama pada perlakuan 1-O/7 dapat diasumsikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh metil farnesoat (MF) untuk bekerja sebagai stimulan OY. Masa laten yang berlangsung selama 26 hingga 35 hari tersebut dapat memberikan gambaran kemajuan stimulasi hormon kepada organ penghasil hormon. Sebagaimana dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang melaporkan kemampuan stimulasi oleh MF kepada OY. Misalnya percepatan molting pada udang Caridina denticulata(Taketomi et al. 1989), Cherax quadricarinatus (Abdu et al. 2001), O senex senex(Reddy et al. 2004).