“Apa benar pemerintah itu sama dengan negara? Studi Kasus Kampung Pulo"
Oleh: Gede Pasek (Anggota DPD/Senator Asal Prov.Bali)
------------×××------------
Â
Dibaca Gan, menarik untuk menjadi bahan diskusi dan perenungan mendalam atas tindak tanduk Ahok, sang Monster kejam abad 21
------------×××------------
Â
Pertanyaan itu menggelitik karena Pemprov DKI menegaskan warga Kampung Pulo adalah penghuni liar dan menduduki tanah negara tanpa izin. Bahkan, Ahok selaku Gubernur DKI katakan tak pantas dapat ganti rugi karena sudah tinggal tidak bayar di tanah negara. Jadi, rusun itu sudah manusiawi. Benarkah pemprov itu negara?
Posisi pemerintah provinsi atau pemprov adalah aparatur negara, bukan negara. Dengan demikian, sebagai aparatur, pemprov harus hadir bukan sebagai pemilik (owner). Meski bukan semua, mayoritas warga di Kampung Pulo sudah tinggal sebelum Kemerdekaan.Â
Jika tahu ‘negara’ akan menggusur, mereka menyesal pilih NKRI. Kakek dan nenek mereka pilih NKRI untuk hidup lebih baik. Kalau sekarang gubernur yang baru tiga tahun lalu mengusir-usir mereka seperti ngekost di Jakarta, ironis.Â
Kini, mereka pindah ke rusunawa dengan status sewa, bukan memiliki, sehingga negara hadir bukan memperbaiki masa depan mereka. Pemprov membantu dengan beban.
Sebenarnya, untuk tanah negara sudah ada aturannya. Warga negara itu punya hak atas tanah tersebut asal waktu menempati memenuhi syarat. Janganlah aparatur negara/pemprov seakan menjadi pemilik. Karena, mereka hanya aparat mewakili negara. Negara itu milik rakyat, bukan aparat.
Ada juga anomali di depan warga negara, khususnya Kampung Pulo sebagai tersangka utama penyebab banjir Ibu Kota sehingga layak disakiti. Sementara beda yang lain. Betapa banyak situ, rawa, hutan bakau, dan lain-lain diambil alih pengembang dan dilayani sertifikat. Mereka dilindungi walau baru menempati.Â
Bukankah lokasi-lokasi itu juga bisa penyangga banjir? Lalu, kalau jadi perumahan elite, penyangga banjir berkurang.Â
Galakkah aparat negara? Pertanyaan sederhana: kalau mereka liar, tersangka utama penyebab banjir, apakah mereka punya KTP? Mereka bayar PBB? Bila iya, mereka layak dilayani. Silakan direlokasi, tapi aparat negara harus bantu untuk kehidupan yang lebih baik. Kalau ganti rugi katanya tidak layak, ya, bantuan sosial diberikan.Â
Kalau membantu dana untuk Polri dan TNI, Pemprov DKI ikhlas keluarkan APBD-nya, kenapa untuk warga negaranya pelit dan galak? Jangan berdalih kalau ganti rugi itu melanggar aturan sehingga tidak bisa diberikan.Â
Warga di sana tidak memasalahkan nomenklaturnya. Mereka perlu uangnya. Sekali lagi, mereka punya KTP, ada yang bayar PBB, ada yang turun-temurun, dan mereka sudah ikhlas jadi tersangka penyebab banjir DKI.Â
Bantu mereka hidup baik. Sebab, kita semua bernegara untuk cita-cita hidup lebih baik, makin sejahtera, dan makin dimanusiakan. Tugas aparat negara membantunya.
Bila saat banjir saja pemprov membantu berbagai bantuan makanan dan lain-lain, kata Pasek lagi, kenapa pemprov pelit untuk bantuan sosial karena rumah mereka dirobohkan?Â
Bukankah Silpa anggaran Pemprov DKI begitu tinggi? Publik akan mengapresiasi bila pemprov bisa lebih santun dan membantu mereka. Kebijakan untuk kebajikan akan bijak bila dijalankan dengan bijaksana. Banjir diatasi, warganya pindah dengan diuntungkan, akan buat semua tersenyum.Â
APBD untuk rakyat. Sisihkanlah, biar mereka tidak pindah dengan hati terluka. Bahagiakan mereka yang sudah ikhlas pindah demi Jakarta bebas banjir.Â
Bukankah triliunan rupiah kerugian negara bila banjir di Jakarta? Maka, penghematan dari pencegahan mark up Proyek UPS, TransJakarta, dan lain-lain, maupun proyek-proyek lainnya untuk disalurkan untuk mereka bisa hidup lebih sejahtera.Â
Negara tidak rugi kalau rakyatnya hidup lebih baik. Semoga kebaikan datang dari segala arah. Negara ini hadir untuk warga negaranya hidup lebih baik. Tugas kita semua memperjuangkannya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H