Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Filosofi Slow Living dalam Dunia Pendidikan

29 Desember 2024   11:50 Diperbarui: 30 Desember 2024   14:22 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami terlebih dahulu prinsip slow living dalam filosofi pendidikan sebelum mencari kota ideal. (Dok. AKBAR PITOPANG)

Di tengah derasnya arus modernisasi dan kemajuan teknologi banyak orang mulai mencari cara untuk hidup lebih santai, lebih sadar, dan lebih bermakna. Slow living, sebuah gaya hidup yang menekankan kualitas hidup kini menjadi pilihan banyak individu yang merasa lelah dengan ritme kehidupan yang serba cepat.

Fenomena ini sebenarnya bukan sekadar tren melainkan respons terhadap tekanan zaman yang menuntut segalanya berjalan instan. Dalam slow living kita diajak untuk menikmati setiap momen, menghargai proses, dan melepaskan diri dari belenggu rutinitas yang melelahkan.

Bagi sebagian orang, slow living berarti melarikan diri ke tempat-tempat tenang seperti desa, pegunungan, pantai yang sepi, atau kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk. Namun, esensinya tidak sekadar tentang lokasi dan situasi, melainkan tentang pola pikir yang menghargai keseimbangan antara aktivitas dan ketenangan.

Apakah slow living hanya cocok untuk mereka yang masuk masa pensiunTentu tidak. Semua orang termasuk anak muda dan anak-anak membutuhkan momen slow living untuk merefleksikan hidup dan menemukan kembali energi serta semangat.

Bagi generasi muda yang seringkali terjebak dalam tekanan sosial dan karir, slow living menjadi cara untuk keluar dari lingkaran "kerja terus-menerus" atau “kerja bagai kuda” yang malah bikin “jompo dini”. Mereka diajak untuk menyadari bahwa istirahat dan menikmati waktu adalah kebutuhan bukan kemewahan.

Sebagian orang berpikir bahwa slow living adalah gaya hidup eksklusif. Faktanya slow living bisa dimulai dengan langkah sederhana. seperti mengurangi penggunaan gadget, menikmati waktu bersama keluarga, atau bahkan sekadar duduk di taman dan menikmati angin dan pemandangan.

Orangtua di kota-kota besar sering merasa sulit menerapkan slow living karena ritme kehidupan yang cepat. Namun, justru di lingkungan seperti inilah slow living dapat memberikan manfaat besar baik bagi orangtua maupun anak-anak.

Dalam konteks keluarga, slow living memberikan kesempatan untuk mempererat hubungan antar anggota keluarga. Orangtua dapat meluangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak, memasak bersama, atau sekadar bercerita sebelum tidur tanpa gangguan gadget.

Mengapa slow living dan pendidikan harus sejalan

Salah satu kekhawatiran utama orangtua dalam mengadopsi slow living adalah pendidikan anak. Bagaimana memastikan mereka tetap mendapatkan pendidikan yang baik sambil menikmati ritme hidup yang lebih santai?

Pendidikan dalam slow living tidak hanya menyinggung aspek akademik tetapi juga pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kecerdasan emosional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun