Kekerasan di sekolah seharusnya menjadi isu yang ketinggalan zaman tetapi nyatanya berita-berita memilukan tentang bullying dan kekerasan masih terus mencuat ke permukaan. Ironisnya, lingkungan pendidikan yang kita dambakan sebagai rumah kedua justru bisa berubah menjadi arena yang mencekam bagi siswa.
Sekolah, yang seharusnya menjadi zona nyaman dan aman bagi anak-anak untuk belajar dan bertumbuh kini berubah menjadi tempat yang menyimpan ancaman tak kasat mata. Setiap insiden bullying yang terjadi tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga menghancurkan jiwa korban bahkan ada yang harus meregang nyawa.
Generasi muda saat ini berada di tengah badai perubahan sosial yang besar. Pengaruh teknologi, media sosial, tekanan akademik, hingga persoalan keluarga membuat banyak anak cenderung melampiaskan emosi mereka secara tidak terkendali. Dampaknya terhadap interaksi dengan teman yang seharusnya menyenangkan malah bisa berubah menjadi tindakan kekerasan.
Guru mungkin mengenal siswa di kelas sebagai anak-anak yang sopan, patuh, dan ramah. Namun, ketika di luar pengawasan terutama saat jam istirahat atau setelah jam sekolah di momen menunggu jemputan orangtua malah perilaku siswa bisa berubah drastis. Keseruan bermain tanpa batas seringkali berakhir dengan insiden yang tidak diinginkan.
Guru yang juga memiliki tanggung jawab administratif dan personal terkadang tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengawasi seluruh aktivitas siswa di luar kelas. Saat guru berada di kantor untuk menyelesaikan tugas atau menyiapkan materi pembelajaran ternyata situasi di luar kelas bisa menjadi rawan.
Di sinilah konsep "mata-mata" atau pemantau aktivitas siswa menjadi sangat relevan. Guru dapat menunjuk siswa tertentu yang dianggap bijak dan bertanggung jawab untuk membantu memantau aktivitas teman-temannya di lingkungan sekolah.
Siswa yang ditunjuk sebagai "mata-mata" ini bukanlah pengintai dalam arti negatif melainkan pelopor keamanan yang mampu memberikan informasi kepada guru jika mendapati tanda-tanda kekerasan atau bullying.
Mengapa siswa korban kekerasan malah seringkali enggan melapor? Rasa takut, malu, atau khawatir dianggap lemah mungkin menghalangi mereka untuk menyampaikan apa yang dialami kepada guru atau orangtua. Padahal tindakan pelaporan ini sangat penting untuk mencegah dampak yang lebih serius.
Kasus yang terjadi di Subang, Jawa Barat, menjadi contoh nyata. Seorang siswa yang awalnya terlihat baik-baik saja tiba-tiba jatuh sakit setelah mengalami kekerasan. Sayangnya, kondisi ini baru menjadi perhatian setelah korban dilarikan ke rumah sakit yang tak lama akhirnya meninggal dunia. (Kompas.id)
Tindakan kekerasan sekecil apapun itu tidak boleh dianggap remeh. Bahkan insiden yang terlihat sepele bisa memicu trauma jangka panjang. Guru dan orangtua harus sigap dalam merespons setiap tanda-tanda kekerasan pada anak.
Selain menunjuk siswa sebagai pengawas tentu sekolah juga sudah lebih dulu memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu. Pemasangan CCTV di area sekolah dapat membantu guru memantau aktivitas siswa dengan lebih efektif dan akurat.
Namun, sebenarnya yang sangat penting adalah membangun budaya sekolah yang menjunjung tinggi rasa saling peduli dan empati. Anak didik perlu diajarkan untuk menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik secara sehat.
Di sisi lain, guru perlu melatih kemampuan manajemen konflik dan memahami tanda-tanda bullying dan kekerasan. Dengan pengetahuan ini, guru dapat bertindak lebih cepat sebelum situasi menjadi lebih buruk.
Tidak kalah penting, sekolah harus memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta prosedur yang jelas dalam menangani kasus kekerasan. Baik pelaku maupun korban harus mendapatkan perhatian yang tepat termasuk bimbingan konseling untuk memulihkan kondisi psikologis siswa.
Orangtua wajib membangun komunikasi yang terbuka dengan anak supaya membuat mereka merasa aman untuk berbagi cerita tentang apa yang terjadi. Jangan menyepelekan setiap informasi yang disampaikan anak.
Menanamkan nilai-nilai kebaikan di rumah adalah langkah untuk menciptakan generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab. Bisa kita buktikan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang cenderung lebih mampu mengendalikan emosi.
Ada pepatah dalam Bahasa Inggris mengatakan, "It takes a village to raise a child". Ini berarti, dibutuhkan kerja sama semua pihak ---guru, orangtua, masyarakat, bahkan pemerintah--- untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.Â
Tidak ada anak yang dilahirkan sebagai pelaku kekerasan. Perilaku mereka hanyalah cerminan dari lingkungan tempat mereka tumbuh.Â
Jangan biarkan satu insiden kekerasan menjadi noda yang mencoreng dunia pendidikan kita. Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan rasa aman.
Pendekatan berbasis kasih sayang dalam menciptakan sekolah yang benar-benar aman memerlukan kerja keras dan komitmen dari semua pihak. Ini adalah alur untuk mencetak generasi yang lebih baik.
Mari kita jadikan sekolah sebagai tempat dimana mimpi-mimpi terbangun, bukan dihancurkan. Karena masa depan anak-anak kita terlalu berharga untuk dirusak oleh kekerasan...
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H