Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Retribusi Kantin Sekolah dan Pentingnya Pengawasan Makanan

29 November 2024   13:56 Diperbarui: 30 November 2024   17:27 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adanya retribusi kantin hendaknya tidak melemahkan fungsi pengawasan. (KOMPAS/DEONISIA ARLINTA)

Kali ini, pemerintah melalui Dinas Pendidikan di beberapa daerah gencar mensosialisasikan kebijakan retribusi kantin sekolah. Aturan baru ini menjadi topik hangat terutama karena melibatkan banyak pihak. Sebelumnya pengelolaan retribusi kantin dilakukan oleh pihak sekolah maka kini pemerintah ingin mengambil alih. 

Para pedagang kantin tampaknya tidak sepenuhnya keberatan. Mereka mendukung asalkan besaran retribusi tetap terjangkau dan masuk akal. 

Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah minimnya pengawasan terhadap kantin sekolah selama ini. Padahal, kesehatan siswa sangat bergantung pada kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi di sekolah.

Siapa yang tidak mengenal minuman sachet warna-warni dengan rasa manis yang menggoda. Meski tampak biasa, minuman tersebut dapat menyimpan bahaya tersembunyi. Kandungan pemanis buatan dan pewarna sintetis seringkali melebihi ambang batas aman untuk dapat dikonsumsi siswa.

Kabar mengenai anak-anak sekolah yang harus rutin melakukan cuci darah karena gangguan ginjal semakin sering terdengar. Fenomena ini seolah menjadi alarm keras yang menyerukan pentingnya pengawasan terhadap makanan dan minuman yang masuk ke mulut anak termasuk berupa jajan yang dibeli di sekolah maupun di luar sekolah.

Retribusi tanpa pengawasan ibarat dua sisi yang tak seimbang. Mengutamakan "pendapatan" tanpa memperhatikan kesehatan siswa bisa menjadi bumerang yang merugikan semua pihak.

Anak-anak mengantre untuk menjalani tindakan cuci darah Ruang Dialisis, RSCM, Jakarta Pusat. (KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO)
Anak-anak mengantre untuk menjalani tindakan cuci darah Ruang Dialisis, RSCM, Jakarta Pusat. (KOMPAS/STEPHANUS ARANDITIO)

Orangtua memainkan peran penting dalam menentukan apakah anak-anak mereka boleh membeli makanan di kantin. Jika pengawasan ketat diterapkan maka orangtua akan merasa lebih aman dan percaya terhadap kantin sekolah.

Bayangkan jika setiap kantin sekolah menjual makanan sehat yang terstandar. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan siswa tetapi juga pada citra positif lembaga pendidikan yang peduli terhadap generasi muda.

Pemerintah memiliki peluang untuk menerapkan kebijakan retribusi ini sejalan dengan kebijakan berbasis kesehatan. Dengan mengintegrasikan pengawasan ketat dan tegas maka tujuan finansial dan kesehatan dapat berjalan seimbang.

Kantin sekolah juga bisa menjadi sarana edukasi. Dengan menjual makanan sehat dan bergizi maka siswa diajarkan sejak dini untuk memilih asupan yang baik bagi tubuh mereka.

Ketika orangtua melarang anak-anak mereka jajan di kantin karena ragu terhadap jaminan kesehatan maka dampaknya langsung dirasakan pedagang kantin. Penurunan omset tentu berimbas pada kesulitan membayar retribusi.

Masalah kantin sekolah harus diselesaikan dengan melibatkan berbagai pihak dalam pengawasan kantin. Misalnya, audit berkala oleh lembaga terkait.

Sekolah dan pemerintah harus berjalan beriringan. Pemerintah menetapkan aturan dan sekolah bertanggung jawab memastikan aturan tersebut dijalankan di lapangan dengan baik.

Alih-alih hanya menjadi objek retribusi maka pedagang kantin seharusnya dianggap sebagai mitra strategis dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat.

Sejalan dengan aturan retribusi maka pemerintah dapat kembali memperkenalkan program sertifikasi kantin sehat. Tidak semua pedagang memiliki pengetahuan tentang standar makanan sehat. Oleh karena itu, pendampingan dan pengawasan menjadi langkah penting yang juga harus dilakukan.

Fungsi pengawasan ini juga memiliki dampak jangka panjang. Dengan meningkatkan kualitas makanan di kantin sekolah maka risiko penyakit kronis pada generasi mendatang bisa diminimalkan.

Stakeholder dan komunitas sekolah termasuk orangtua dan komite dapat dilibatkan dalam pengawasan kantin. Misalnya, dengan membentuk tim kesehatan sekolah yang rutin memeriksa kantin.

Tentu saja kesehatan siswa bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau sekolah semata tetapi juga tanggung jawab kolektif dari semua pihak.

Pemerintah juga harus transparan dalam penggunaan dana retribusi. Karena dengan demikian, masyarakat akan lebih mendukung kebijakan ini.

Ilustrasi kantin di sekolah di luar negeri. (Image from CGTN via jogja.tribunnews.com)
Ilustrasi kantin di sekolah di luar negeri. (Image from CGTN via jogja.tribunnews.com)

Ya, Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan terkait. Misalnya, Jepang yang terkenal dengan keberhasilan program kantin sekolah sehatnya.

Kebijakan ini pasti akan melewati perjalanan panjang. Keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dan kolaborasi semua pihak.

Kebijakan retribusi kantin sekolah ini seharusnya juga dapat menjadi langkah mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan peduli terhadap apa yang mereka konsumsi. 

Jika diterapkan dengan benar, semua pihak akan merasakan manfaatnya..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun