Di tengah banyaknya profesi yang menawarkan gaji besar dan gengsi tinggi, menjadi guru tetap memiliki pesona tersendiri. Meski sering dianggap kurang menggiurkan secara materi, kebahagiaan batin yang datang dari tugas mulia (baca: mengajar dan mendidik) tidak bisa diukur dengan nominal.Â
Alasan memilih menjadi guru bukan sekedar profesi, melainkan panggilan hati. Ada rasa bangga ketika melihat murid-murid berkembang, memahami sebuah konsep, atau bahkan sekadar tersenyum karena merasa telah didukung.Â
Kebahagiaan seperti ini tidak datang dengan mudah. Sebab hadir dari perjalanan panjang penuh dedikasi dan keikhlasan. Â
Akan tetapi, menjadi guru tidak berarti langsung sempurna. Tidak ada guru baru yang sejak hari pertama berdiri di depan kelas sudah mahir dalam segala hal. Guru adalah pembelajar sejati, yang siap untuk terus memperbaiki diri sepanjang waktu.Â
Dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal 8, bahwa kompetensi seorang guru meliputi kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional. Kompetensi ini menjadi fondasi agar guru mampu menjalankan perannya dengan baik. Â
Meski demikian, era modern membawa tantangan baru. Kompetensi yang dahulu dianggap sudah cukup untuk bisa menghadapi murid dan situasi dunia pendidikan, kini harus beradaptasi dengan perubahan zaman.Â
Terlebih, saat ini banyak guru muda yang bergabung berasal dari Generasi Z, sedangkan murid-murid mereka adalah Generasi Alpha. Â
Melansir Kompas.com, Generasi Alpha adalah generasi yang lahir setelah tahun 2010 sampai 2025. Mereka tumbuh di tengah era digital dan akrab dengan teknologi sejak dini. Mereka dianggap cerdas, juga kritis, kreatif, dan memiliki gaya belajar yang unik. Â
Sementara itu, guru generasi Z adalah pendidik muda yang tumbuh bersama teknologi, media sosial, dan budaya digital. Meski mereka akrab dengan perkembangan zaman, mengajar generasi Alpha tetap membutuhkan pendekatan khusus. Â
Saat ini, di sekolah-sekolah mulai banyak guru muda atau guru gen Z. Termasuk di sekolah kami. Mereka banyak yang masih berstatus honorer. Namun, mereka juga tetap sama-sama harus bisa beradaptasi dan membawakan diri dengan baik.
Banyak orang mengatakan Gen Z itu rentan dan rapuh. Namun, bila memilih menjadi seorang guru, Gen Z harus siap untuk memperbaiki diri dan memposisikan dirinya sebagai seorang guru yang baik dan benar.
Salah satu tantangan terbesar adalah menciptakan pembelajaran yang menarik. Generasi Alpha cenderung lebih responsif terhadap pembelajaran berbasis teknologi, interaktif, dan visual. Mereka mudah bosan dengan metode konvensional misalnya ceramah. Â
Untuk itu, berikut ada beberapa hal penting yang harus dilakukan guru muda agar bisa survive di dunia pendidikan yang sudah sangat banyak tantangannya saat ini.
Menghadirkan pembelajaran yang berkesan. Guru sebagai inovator pendidikan, di sinilah guru harus memainkan perannya menggunakan platform atau aplikasi yang mendukung proses pembelajaran. Atau bahkan memanfaatkan artificial intelligence (AI) yang bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan pembelajaran yang relevan dan menarik. Sebagai pembimbing generasi Alpha, guru juga perlu mengembangkan pendekatan pembelajaran dan pendidikan yang berpusat pada siswa. Pendekatan ini memungkinkan siswa belajar secara aktif, mandiri, dan sesuai dengan minat mereka. Untuk mengembangkan ini guru bisa memahami materi-materi pelatihan mandiri di PMM, ikut bimtek PembaTIK, aktif dalam komunitas belajar (kombel). Supaya guru-guru dapat belajar bersama, saling berbagi praktik baik, dan menginspirasi satu sama lain.
Guru yang memanusiakan manusia. Guru adalah role model yang berkarakter. Aspek nilai-nilai karakter tetap menjadi hal yang penting. Apa yang guru lakukan, bagaimana mereka berperilaku, dan nilai-nilai yang mereka tanamkan akan terus diingat oleh murid-murid mereka. Guru muda kadang emosinya masih fluktuatif atau kadang suka tidak menentu. Guru juga mesti bisa menjadi contoh baik dalam penggunaan media sosial. Karena teknologi juga membawa risiko. Generasi Alpha yang akrab dengan dunia maya sering menghadapi isu seperti cyberbullying, terpapar konten negatif, dan ketergantungan pada gadget. Guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membimbing murid agar bijak dalam menggunakan teknologi. Dan yang paling penting adalah guru tidak ikut membully siswa baik dalam lisan maupun tindakan. Hati-hati dalam menasehati siswa karena mereka adalah manusia yang akan terus berproses. Mengajar di era digital juga berarti berhadapan dengan dinamika sosial yang semakin kompleks. Banyak murid yang menghadapi tekanan mental akibat ekspektasi akademik, media sosial, dan lingkungan keluarga. Guru harus memiliki empati untuk mendampingi siswa melewati masa-masa sulit. Dalam dunia yang terus berubah, guru adalah penjaga nilai-nilai kehidupan yang tidak lekang oleh waktu. Mereka memastikan bahwa generasi masa depan tidak hanya dapat diandalkan, tetapi juga berkarakter.
Guru zaman now perlu memahami pentingnya literasi digital. Tidak cukup hanya menguasai materi pelajaran, guru juga harus mampu membimbing dirinya dan siswa memilah informasi yang valid di tengah derasnya arus informasi digital. Di sisi lain, menjadi guru di era ini juga memberikan peluang besar memungkinkan guru untuk menjangkau lebih banyak siswa dan masyarakat luas melalui platform online, berbagi ilmu, dan menciptakan komunitas belajar yang inklusif. Lalu kemudian dengan pemahaman literasi digital yang memadai, guru seharusnya juga menguasai etika digital dan tanggung jawab digital dengan baik. Supaya kasus "pemerasan" guru oleh orangtua seperti yang viral itu tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Guru sebagai influencer pendidikan dan kreator konten. Kini, banyak guru juga bisa menjadi content creator yang berbagi inspirasi dan ilmu melalui media sosial. Banyak pendidik muda yang sukses membangun audiens atau memperoleh followers dalam jumlah sangat besar, tidak hanya di kalangan siswa tetapi juga masyarakat umum. Karena sudah menjadi tren guru bagi-bagi konten di platform digital maupun media sosial, maka guru harus paham aturan tertulis maupun tidak tertulis sebelum membagikan konten.
Pendidikan tidak hanya untuk membangun akademik, tetapi juga membina karakter. Guru berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai seperti kerja keras, kejujuran, dan rasa hormat kepada murid-murid mereka. Â
Menjadi guru adalah profesi yang penuh tantangan, tetapi juga penuh makna. Setiap hari membawa cerita baru, mulai dari keberhasilan kecil siswa hingga tantangan-tantangan yang mendorong guru untuk terus belajar. Â Â
Bagi sebagian orang, menjadi guru mungkin bukan pilihan yang menarik. Namun, bagi sosok-sosok yang menjalani profesi ini dengan hati, menjadi guru adalah kesempatan untuk perubahan dan membuat perbedaan nyata. Â
Perjalanan seorang guru tidak selalu mulus. Ada hari-hari dimana mereka merasa lelah, tertekan, atau bahkan meragukan diri sendiri. Tapi ada juga momen-momen indah yang membuat semua perjuangan dan usaha terasa berarti. Â
Ketika seorang siswa berhasil meraih mimpi-mimpinya, guru adalah orang pertama yang merasa bangga. Ini adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Â
Guru adalah pelita dalam kegelapan, penuntun jalan bagi mereka yang sedang mencari arah. Di tengah perubahan zaman, peran mereka tetap relevan dan tak tergantikan. Â
Jadi, apakah masih ada yang ingin menjadi guru?
Jawabannya terletak pada bagaimana seseorang memandang kebahagiaan dan makna hidup.Â
Jika itu tentang memberi, menginspirasi, dan menciptakan perubahan, profesi ini adalah pilihan yang luar biasa. Â
Menjadi guru adalah tentang bagaimana menciptakan masa depan yang lebih baik. Tidak hanya bagi murid-murid, tetapi juga bagi dunia. Karena guru bukan sekedar profesi, melainkan panggilan untuk menginspirasi. Â
Semoga ini bermanfaat..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H